ChanelMuslim.com- Salah satu kewajiban seorang muslim untuk saudaranya yang muslim adalah berta’ziyah atau belasungkawa.
Hal ini sudah diajarkan dan dicontohkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Begitu pun generasi sesudah beliau, sebagai bentuk pengamalan sunnah yang harus terus dihidupkan hingga akhir zaman.
Namun, adakalanya, sebagian kita belum memahami seperti apa sunnah yang diajarkan Nabi dalam berta’ziyah atau belasungkawa ini. Karena itu perlu arahan yang benar agar yang kita lakukan bernilai ibadah.
Hal-hal berikut ini merupakan panduan bagaimana berta’ziyah yang benar. Setidaknya, bisa memberikan kita gambaran secara umum.
- Dianjurkan untuk ta’ziyah (belasungkawa) terhadap keluarga yang tertimpa musibah (kematian).
Lafazh ta’ziyah yang paling utama yang berasal dari Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
اِصْبِرْ وَاحْتَسِبْ فَإِنَّ ِللهِ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلَّ شَيْءٍ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مَسَمًّى.
“Bersabarlah dan berharaplah pahala dari Allah, sesungguhnya adalah hak Allah mengambil dan memberikan sesuatu, segala sesuatu di sisi-Nya ada batas waktu yang telah ditentukan.” [HR. Al-Bukhari dan Muslim]
- Tidak selayaknya berta’ziyah dengan ucapan turut berduka cita di koran, surat kabar, majalah dan media informasi lainnya.
Hal itu tidak pantas karena termasuk pemberitahuan kematian yang dilarang oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam karena maksud dari ta’ziyah tersebut untuk menyebarkan, mempublikasikan dan mengumumkan kematiannya.
- Diperbolehkan untuk melakukan safar dalam rangka untuk ta’ziyah bagi orang yang sangat dekat hubungannya dengan si mayit, ditambah apabila dia tidak pergi untuk berta’ziyah akan dianggap memutuskan silaturrahmi.
- Tidak mengapa mengabarkan kepada khalayak ramai bahwa seseorang telah meninggal dan akan dishalatkan di tempat tertentu. Hal ini sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitahukan kematian an-Najasy (Raja Najasyi) dan beliau memerintahkan para Sahabatnya supaya keluar ke tanah lapang kemudian mereka menshalatkannya.
- Tidak disyari’atkan mengucapkan doa istiftah pada shalat jenazah karena shalat jenazah adalah shalat yang dikerjakan atas dasar sifat yang ringkas dan cepat sehingga shalat tersebut tidak ada do’a istiftahnya.
- Apabila salah seorang keluarga terdekat mayit mengetahui bahwa si mayit tidak shalat maka tidak boleh meminta kaum Muslimin untuk menyalatkannya karena ia telah memberikan orang kafir kepada kaum Muslimin untuk dishalatkan.
Di samping itu shalat yang dilakukan kaum Muslimin tidak akan bermanfaat bagi mayit tersebut. Dan juga tidak boleh menguburkan mayit tersebut di pekuburan kaum Muslimin.
- Shalatnya seorang perempuan atas mayit di dalam rumahnya itu lebih baik daripada menyalatkannya di masjid, jika ia termasuk salah satu anggota keluarga mayyit tersebut. Namun tidak mengapa apabila ia keluar rumah dan menyalatkannya bersama kaum Muslimin.
- Dianjurkan untuk menyegerakan mengurus mayit berdasarkan hadits:
أَسْرِعُوْا بِالْجَنَازَةِ فَإِنْ تَكُ صَالِحَةً فَخَيْرٌ لَهُ فَخَيْرٌ تُقَدِّمُوْنَهَا، وَإِنْ تَكُ سِوَى ذَلِكَ فَشَرٌّ تَضَعُوْنَهُ عَنْ رِقَابِكُمْ. “Bersegeralah dalam mengurus jenazah, karena jika ia baik maka engkau telah melakukan suatu kebaikan dan jika tidak, maka engkau telah membuang suatu kejelekan dari lehermu.” [HR. Al-Bukhari no. 1315 dan Muslim no. 944]
Tidak sepatutnya menunda-nunda dalam mengurus jenazah hanya dengan alasan agar sebagian anggota keluarga dapat menghadiri pemakaman si mayit, kecuali jika hanya sebentar.
Apabila keluarganya datang terlambat setelah dikubur maka boleh menyalatkannya di kuburannya. Hal ini sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika menyalatkan seorang wanita (yang biasa membersihkan masjid Nabi) di kuburannya, dimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak diberi tahu tentang kematian wanita tersebut, maka beliau berkata (kepada para Sahabatnya):
دُلُّوْنِيْ عَلَى قَبْرِهَا، فَدَّلُوْهُ فَصَلَّى عَلَيْهَا.
“‘Tunjukkan padaku makamnya.’ Lalu mereka menunjukkannya kemudian beliau menyalatkannya di kuburannya.” [HR. Al-Bukhari no. 458 dan Muslim no.956]
- Bukan termasuk Sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan bukan pula termasuk sunnah Khulafaur Rasyidin melakukan do’a berjama’ah di sisi kuburan yang dipimpin oleh satu orang dan diaminkan banyak orang.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya memberikan petunjuk kepada orang-orang (yang mengantar jenazah) untuk memintakan ampunan bagi mayyit dan memohon baginya keteguhan dan hal tersebut dilakukan sendiri-sendiri bukan secara bersama-sama.
- Dianjurkan dengan dasar kesepakatan para ulama untuk menutup jenazah perempuan dengan mantel atau kain yang tebal ketika menurunkannya ke liang lahat supaya tidak terlihat orang, karena bisa jadi apabila tidak memakai mantel atau kain penutup ketika menurunkan ke liang lahat, kain kafannya lepas sehingga auratnya dapat tersingkap.
- Tidak disyari’atkan untuk mengkhususkan berpakaian tertentu ketika berta’ziyah seperti mengkhususkan warna hitam, bahkan ini termasuk perbuatan bid’ah dan terkadang hal tersebut dapat menyebabkan manusia tidak rela terhadap apa yang telah ditakdirkan Allah.
- Tidak diperbolehkan berta’ziyah kepada ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) atau orang kafir lainnya ketika ada keluarga mereka yang meninggal, tidak boleh menghadiri jenazahnya maupun mengiringinya ke kubur.
- Diperbolehkan untuk menerima ta’ziyah dari ahlul Kitab (Nasrani dan Yahudi) atau orang kafir lainnya ketika seorang muslim meninggal dunia dan mendo’akan mereka agar mendapatkan hidayah.
Ditulis oleh: Syaikh ‘Abdul Hamid bin ‘Abdirrahman as-Suhaibani (terjemahan).
(Lihat Fataawaa at-Ta’ziyah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah).
[Mh]
Sumber: https://almanhaj.or.id/4012-adab-adab-taziyah-bela-sungkawa-shalat-jenazah-dan-tata-cara-penguburannya.html