BANYAK sekali pertanyaan yang harus dijawab oleh para ulama dari kelompok pendapat yang kedua untuk membuktikan kebenaran penafsiran mereka, di antaranya: Tidak dapat disangkal bahwa Allah mengusir iblis dari hadapan-Nya ketika iblis menolak perintah-Nya untuk bersujud kepada Adam.
Lalu iblis diperintahkan untuk keluar dari surga dan turun ke bumi. Namun perintah ini bukanlah perintah syar’i, karena perintah syar’i itu dapat (bisa jadi) dilanggar, tapi perintah Allah kepada iblis itu merupakan perintah takdir yang tidak mungkin dilanggar ataupun diacuhkan.
Baca juga: Buah yang Dimakan Oleh Adam
Iblis Diusir dari Hadapan Allah
Oleh karenanya dalam surat Al-A’raf disebutkan, “Keluarlah kamu dari sana (surga) dalam keadaan terhina dan terusir!” (Al-A’raf: 18), dan disebutkan pula, “Maka turunlah kamu darinya (surga); karena kamu tidak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya.” (Al-A’raf: 13), dan dikatakan pula, “(Kalau begitu) keluarlah dari surga, karena sesungguhnya kamu terkutuk.” (Al-Hijr: 34).
Dan dhamir (haa) pada kata “minhaa” bisa kembali pada kata “jannah” (surga), atau “samaa” (langit) atau “manzilah” (kedudukan). Tapi pada kata apapun dhamir itu kembali namun tetap saja setelah itu iblis sudah tidak diperbolehkan lagi untuk datang ke tempat yang dijauhkan atau terusir darinya, tidak untuk menetap dan tidak juga untuk sekadar berlalu atau mampir saja.
Seperti diketahui bahwa Al-Qur’an telah menyebutkan iblis itu membisikkan kata-katanya kepada Adam atau berbicara kepadanya, contohnya; “Wahai Adam! Maukah aku tunjukkan kepadamu pohon keabadian (khuldi) dan kerajaan yang tidak akan binasa?” (Thaha: 120), atau juga, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasehatmu,” dia (setan) membujuk mereka dengan tipu daya.” (Al-A’raf: 20-22).
Ayat-ayat ini menunjukkan bahwasanya iblis berada bersama Adam dan Hawa di surga tempat tinggal mereka saat itu.
Lalu para ulama yang mengusung pendapat kedua menjawab pertanyaan ini dengan mengatakan, bahwasanya tidak menutup kemungkinan bahwa iblis mendatangi Adam dan Hawa di surga hanya untuk sekadar melewatinya saja, bukan untuk menetap di sana. Atau bisa jadi ia membisikkan kata-katanya itu di depan pintu surga, atau di bawah langit. Namun tentu saja ketiga kemungkinan ini masih dapat diperdebatkan. Wallahu a’lam.
Adapun di antara dalil yang digunakan oleh para ulama yang berpendapat bahwa surga yang ditinggali oleh Adam dan Hawa itu terletak di bumi adalah riwayat Abdullah bin Ahmad dalam Kitab “Az-Ziyadat”,” dari Hadbah bin Khalid, dari Himad bin Salamah, dari Humaid, dari Hasan Basri, dari Utai (yakni Ibnu Dhamrah As-Sa’di), dari Ubay bin Kaab, ia berkata, “Ketika Nabi Adam tengah menghadapi saat-saat terakhirnya, ia mengungkapkan kepada anak-anaknya bahwa ia ingin sekali merasakan buah anggur dari surga untuk terakhir kalinya.
Baca juga: Hawa Diciptakan dari Tulang Rusuk Adam
Maka anak-anaknya pun berusaha untuk mencarinya. Lalu dalam perjalanan ada beberapa malaikat yang menyapa mereka dan menanyakan, “Wahai anak-anak Adam, hendak kemanakah kalian?” Mereka menjawab, “Ayah kami sangat menginginkan buah anggur dari surga.” Lalu para malaikat berkata, “Kembalilah kalian, kami akan mendapatkannya untuk kalian.” Maka setelah Nabi Adam memakan buah itu ia pun wafat.
Lalu anak-anaknya segera memandikannya, menghiasinya (dengan wewangian), mengkafaninya, lalu dishalatkan dengan diimami oleh malaikat Jibril dan dimakmumi oleh para malaikat lain dan seluruh anak-anak Nabi Adam, kemudian mereka pun menguburkannya. Lalu para malaikat berkata, “Inilah tata cara yang harus dilakukan terhadap jenazah.” Insya Allah sanad dari hadits ini dan matannya secara lengkp akan kami sampaikan ketika membahas tentang hari kematian Nabi Adam
Para ulama tadi melanjutkan, “Kalau saja untuk mendapatkan buah anggur yang terletak di dalam surga tempat kediaman Adam terdahulu itu tidak mungkin dicapai, maka tidak mungkin pula anak-anak Adam akan mencarinya. Maka hal ini menunjukkan bahwa surga tersebut berada di bumi, bukan di langit.” Wallahu a’lam.
Para ulama ini juga menjawab dalil dari jumhur ulama yang mengusung pendapat pertama, mereka mengatakan, “Berdalil bahwasanya alif lam pada kata “al-jannah” pada firman Allah, “Wahai Adam! Tinggallah engkau dan istrimu di dalam surga,” tidak didahului dengan keterangan yang dapat menerangkannya, lalu dianggap hanya dapat dikenali dengan akal, ini adalah dalil yang memang dapat diterima,
namun dikenali dengan petunjuk dari gaya bahasa yang digunakan dalam kalimat tersebut. Yakni, bahwa Adam itu diciptakan dari tanah (bumi) dan belum pernah ada pernyataan atau keterangan bahwa ia diangkat ke atas langit, apalagi ia memang diciptakan untuk berada di bumi sebagaimana difirmankan oleh Allah kepada Malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.”
Para ulama melanjutkan, “Kata “al-jannah” yang digunakan pada ayat di atas tadi sama seperti kata “al-jannah” pada firman Allah, “Sungguh, Kami telah menguji mereka (orang musyrik Makkah) sebagaimana Kami telah menguji pemilik-pemilik kebun,” yang mana alif lam pada kata “al- jannah” pada ayat ini juga bukan bersifat umum,
dan tidak ada keterangan pendahuluan agar bisa dikenali secara lafazhh, maka tentu saja kata ini juga hanya dapat dikenali secara akal yang dapat diartikan melalui gaya bahasa yang digunakan pada kalimat tersebut, dan makna dari kata “al-jannah” pada ayat ini adalah “kebun”.
Lalu para ulama tadi juga membantah dalil lainnya, mereka mengatakan, “Penyebutan kata “hubuth” (turun) tidak selalu bermakna turun dari langit. Lihat saja kata yang sama pada firman Allah, “Difirmankan, “Wahai Nuh! Turunlah dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan dari Kami, bagimu dan bagi semua umat (mukmin) yang bersamamu. Dan ada umat-umat yang Kami beri kesenangan (dalam kehidupan dunia), kemudian mereka akan ditimpa adzab Kami yang pedih.” (Hud: 48).
Pada ayat ini diterangkan, bahwa ketika air bah telah surut dari muka bumi dan kapal Nabi Nuh telah berlabuh di atas Gunung Judiy, ia diperintahkan untuk turun dengan membawa semua yang ada di kapal tersebut dengan selamat sejahtera dan penuh keberkahan atas mereka semua.
Kata “hubuth” juga disebutkan dalam firman Allah, “Pergilah ke suatu kota, pasti kamu akan memperoleh apa yang kamu minta.” (Al- Baqarah: 61), juga pada firman Allah, “Dan ada pula yang meluncur jatuh karena takut kepada Allah.” (Al-Baqarah: 74). Dan banyak pula disebutkan dalam hadits ataupun syair, namun tidak berarti turun dari langit.
Lalu para ulama ini melanjutkan, “Kami tidak menyanggah (bahkan setuju) bahwa surga yang ditinggali oleh Adam dan Hawa kala itu lebih tinggi dari rata-rata muka bumi, memiliki pohon, buah, ternaungi, penuh kenikmatan, serta dihiasi kesenangan dan kebahagiaan, sebagaimana difirmankan Allah, “Sungguh, ada (jaminan) untukmu di sana, engkau tidak akan kelaparan dan tidak akan telanjang.” (Thaha: 118),
yakni bagian dalammu tidak akan terhina dengan merasa kelaparan dan bagian luarmu tidak akan terhina dengan ketelanjangan, “Dan sungguh, di sana engkau tidak akan merasa dahaga dan tidak akan ditimpa panas matahari.” (Thaha:119), yakni bagian dalammu tidak akan tersentuh dengan panasnya rasa haus dan bagian luarmu tidak akan tersentuh dengan panasnya sinar matahari. Karena kesamaan itulah dua kata yang berbeda sifatnya pada kedua ayat tersebut dipersatukan.
Lalu ketika Adam memakan buah dari pohon terlarang maka ia diturunkan ke bumi yang dipenuhi dengan kesengsaraan, keletihan, kerja keras, kesuraman (ketidakbahagiaan), ikhtiar, kesulitan dalam hidup, cobaan, ujian, musibah, berbeda-beda agamanya, perilakunya, pekerjaannya, maksudnya, keinginannya, perkataannya, dan perbuatannya. Sebagaimana firman Allah, “Dan bagi kamu ada tempat tinggal dan kesenangan di bumi sampai waktu yang ditentukan.” (Al-Baqarah: 36).
Namun demikian, (disebutkannya kata “al-ardh”/bumi) tidak berarti bahwa mereka sebelumnya berada di atas langit. Seperti juga disebutkan pada firman Allah, “Dan setelah itu Kami berfirman kepada Bani Israil, “Tinggallah di bumi ini, tetapi apabila masa berbangkit datang, niscaya Kami kumpulkan kamu dalam keadaan bercampur baur.” (Al-Isra: 104), dan tentu saja dapat dipastikan bahwa Bani Israil sebelumnya bukan tinggal di langit.
Akan tetapi, pendapat ini sama sekali tidak terkait dan tidak ada hubungannya dengan pendapat mereka yang mengingkari adanya surga dan neraka sekarang ini. Pasalnya, setiap ulama yang menyatakan pendapat tersebut, baik dari kalangan salaf (ulama terdahulu) ataupun khalaf (ulama kontemporer), mereka sama-sama menegaskan keyakinan adanya surga dan neraka sekarang ini, sebagaimana banyak ditunjukkan dari dalil ayat Al-Qur’an ataupun hadits shahih, yang akan kami uraikan seluruhnya pada pembahasannya tersendiri. Wallahu a’lam bish-shawab.
Sumber: Kisah Para Nabi – Imam Ibnu Katsir
[Vn]