ChanelMuslim.com – Globalisasi Wedus Gembel, oleh: Emha Ainun Nadjib
Covid-19 bukan virus sangat kecil yang tidak kasat mata. Coronavirus adalah raksasa super yang bulatan bumi digenggam di tangannya. Seluruh bumi seutuhnya. Sebulat-bulatnya. Semua penghuni bumi harus bersembunyi dan berlindung di dalam liang-liang bawah tanah.
Kalau Gunung Merapi utara Yogya meletus, meleleh dari mulut vulcanonya lahar panas, lahar dingin dan wedus gembel.
Wedus itu kambing. Gembel itu rambut putih memenuhi tubuhnya. Wedus gembel, jutaan kambing berbulu putih, tumpah dari mulut Merapi, meluncur baramai-ramai dengan kecepatan 300 km/jam ke segala arah sesuai dengan hembusan angin, dengan suhu di atas 200 derajat Celcius.
Baca Juga: Peran Milenial dalam Menyebarkan Seni Budaya Islam di Era Globalisasi
Globalisasi Wedus Gembel
Kalau lahar ada petanya, ada aturannya, ada birokrasinya, ada jalur-jalurnya. Tetapi kalau wedus gembel tidak bisa diantisipasi oleh manusia kecuali lari dan sembunyi. Mbah Marijan almarhum, juru kunci Merapi, sehabis shalat Isya, telinganya beliau yang tengèn mendengar gemuruh dari arah utara, yang jenis bunyinya beliau hapal itu adalah wedus gembel.
Mbah Marijan bukan hanya peka terhadap jenis gemuruhnya, tetapi mampu memperkirakan jaraknya. Baliau tahu bahwa tak bisa kakinya menang lomba melawan speed wedus gembel. Beliau berlari dari Masjid menuju rumahnya, langsung ke dapur dan mengambil Kendi tampat air. Beliau meminum air kendi dengan kesadaran bahwa itu adalah momentum terakhir hidupnya. Maka setelah meminum air kendi, beliau bersujud menghadap Kiblat di lantai dapur.
Arus wedus gembel tiba-tiba menggerus rumah dan apa saja seluruhnya di tempat itu. Mbah Marijan tubuhnya tergeser dan berubah arahnya, sujudnya jadi menghadap ke Selatan (beberapa hari kemudian Mbah Marijan dituduh menyembah Nyi Roro Kidul. Yang menuduh pastilah pemegang Sertifikat Resmi dan Syar’i dari Allah dan sekaligus Panitia Sorga). Tidak ada tembok, batu, kayu, pepohonan dan benda apapun termasuk masjid yang tidak menjadi debu. Semua luluh lantak, menjadi serbuk berwarna kelabu.
Kecuali Mbah Marijan. Rambut putihnya pun tidak terbakar. Badannya utuh. Baju batiknya hanya kusut dan kumuh. Anak-anak saya SAR DIY menemukan beliau dalam posisi bersujud. Dan ketika evakuasi, lekuk tubuh sujud beliau tidak bisa diluruskan karena kaku sedemikian rupa sebagaimana lazimnya jenazah. Rumah Mbah Marijan 12 km di bawah puncak Merapi. Berikutnya saya menemani anak-anak saya SAR naik sampai 2 km di bawah puncak untuk mencari satu jenazah lagi atas laporan penduduk.
Wedus gembel bisa menembus tembok lockdown, bisa menelusup ke balik dinding PSBB. Wedus gembel menyelimutkan kepekatan dan kegelapan di depan matamu ketika mengarah ke mana pun. Wedus gembel membuatmu tidak bisa melihat apapun, membuat semua orang tidak bisa menentukan sedang berpapasan dengan Covid-19 atau tidak. Dan di antara serbuk nano wedus gembel itu kalau ada makhluk yang lebih lembut dan tidak kasat mata yang bernama Izrail, maka berlakulah ketetapan Allah “ainama takunu ya`ti bikumullahu jami’an”. Di mana pun engkau bersembunyi. Di rumah saja, “stay inside” saja, lockdown, PSBB, Malaikat Allah tetap bisa mendatangimu, mengambil satu persatu untuk dikumpulkan di Alam Barzakh.
Saya jadi romantik ingat kata-kata Wyatt Earp (diperankan Kurt Russel), dengan hati yang saya letakkan pada diri derita melihat ulah makhluk manusia yang “yufsiduna fil ardli wa yusfiqud dima’”. Si Lurah penegak hukum dalam film legendais “Thombstone”, sesudah adiknya terbunuh dan kakaknya buntung tangannya oleh pokal para Cowboys, yang membuat Wyatt Earps cancut tali wanda mateg aji perang total melawan bandit-bandit Cowboys, ditemani Doc Holiday (diperankan Val Kilmer) sahabat karibnya yang pemabuk, berteriak lantang: “Saya datang! Saya datang untuk menghancurkan kalian! Dan Neraka datang bersama saya! The hell is coming with me!”. Kemudian berlangsunglah pertempuran liar di area “OK Coral”.
Tetapi saya juga sekaligus berada pada sisi derita manusia yang lemah tak berdaya. Dalam film “Poseidon Adventure” tentang kapal yang terbalik, tertelungkup, sehingga penumpangnya mati-matian mencari jalan untuk menyelamatkan diri mencari permukaan laut. Pendeta Reverend Scott (diperankan Gene Hackman) yang memimpin pencarian jalan kaluar itu tetapi pengikutnya mati satu persatu, ia berteriak lantang kepada Tuhan: “Kamu mau berapa nyawa lagi wahai Tuhan? Untuk memuaskan takdir-Mu?”
Sekarang semua orang, juga bangsa Indonesia berdebar-debar setiap sore tatkala Jubir penanganan Corona Pak Achmad Yurianto mengumumkan perkembangan sebaran Covid-19. Yang paling diidam-idamkan adalah minimal penambahan jumlah kasus yang grafiknya turun, syukur Nol, tidak ada lagi tambahan keterpaparan penduduk Republik ini oleh Covid-19. Tetapi sampai hari ini grafiknya belum landai, masih saja curam naik. Ketika saya tulis ini jumlah yang terjangkit di antara saudara-saudara kita ada 5.923 orang.
“Mau berapa lagi Engkau ya Allah? Masih akan Engkau ambil berapa saudara kami lagi ya Allah? Kenapa bukan yang dhalim-dhalim saja yang Engkau ambil ya Allah? Kebanyakan rakyat Negeri ini adalah madhlumin, orang-orang yang ditindas, ditekan, dihimpit, tidak memperoleh kepemimpinan dan kesejahteraan yang layak menjadi hak mereka, ya Allah. Rakyat Negeri ini tidak hebat, tetapi sangat ber-Tuhan.”
“Tidak saleh-saleh amat, tetapi cukup rajin shalat lima waktu. Tak patuh-patuh amat kepada hukum-Mu, tetapi mereka bukan Kafirun, Musysrikun, Munafiqun dalam kadar yang layak untuk mengundang murka-Mu.”
“Terang benderang di pandangan-Mu yang Maha Lembut siapa saja yang dengan segala kekurangannya namun tetap menghamba kepada-Mu. Juga siapa saja yang berperilaku yang mencerminkan bahwa mereka menolak untuk menjadi hamba-Mu. Mereka menghamba kepada ambisinya sendiri, menuhankan kepentingannya sendiri. Ya Allah kenapa tidak ada ketetapan-Mu bahwa yang dijangkiti Covid-19 hanyalah kaum Dhalimin (yang menindas) sedangkan yang Madhlumin (yang ditindas) engkau hindarkan darinya.”
“Ya Allah kami ini fakir miskin di hadapan-Mu. Kami ini bodoh dan dungu di hadapan-Mu. Kami tidak mampu mengerahkan tingkat tinggi kecerdasan yang diperlukan untuk memahami qadla dan qadar-Mu. Ya Allah kami sedang dikepung oleh wedus gembel ujung api Neraka. Tetapi kami tidak sanggup memahaminya. Ini semua ghaib ya Allah. Sedangkan Engkau mengatakan bahwa Perkara yang ghaib itu urusan Allah dan hanya ada di tangan-Nya. Jadi kami harus bagaimana, ya Allah?”
Kanjeng Nabi Muhammad Saw junjungan kami panutan kami teladan kami menuturkan peta: “Ya Rasulullah! Siapakah yang paling berat ujiannya? Beliau menjawab, Para Nabi kemudian orang-orang yang semisalnya, kemudian orang yang semisalnya. Seseorang akan diuji sesuai kadar (kekuatan) agamanya. Jika agamanya kuat, maka ujiannya akan bertambah berat. Jika agamanya lemah maka akan diuji sesuai kadar kekuatan agamanya.”
“Jadi, ya Allah, apakah kami harus memperlemah kadar atau kualitas keagamaan kami, agar ujian dari-Mu menjadi lebih ringan dan tidak seberat ini?”
Dan Engkau menjawab: “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (Al-Baqarah).
Sedikit ketakutan, kelaparan dan kekurangan harta. Ya sih. Trauma Corona ini sama sekali tidak semenakutkan badai es di zaman Nabi Hud, gempa total di untuk masyarakat Luth atau banjir bandang sepertiga bumi seperti yang menimpa ummatnya Nabi Nuh. Sekarang ini masih bisa shalat dengan tenang, bahkan lebih khusyu’. Masih bisa bercengkerama guyon-guyon dengan istri, suami dan anak-anak. Masih bisa rembug keluarga setiap hari.
Masyarakat masih bisa bernapas lapang panjang, hati tenang dan pikiran lebih tertata. Malah sekarang ini peluang yang luar biasa untuk membenahi batin, menata hati, menjernihkan pikiran. Pantas jargonnya Maiyah adalah “Menata Hati, Menjernihkan Pikiran”. Jangan-jangan pedoman itu yang menyebabkan virus Corona datang untuk rekonfirmasi keteguhan hati dan jernihnya pikiran kita semua.
Tidak bisa ke Mal, tapi kan tidak ada satu saja dari 25 Rasul yang pernah ke Mal. Tidak bisa ke warung atau restoran. Tapi Nabi siapa yang dulu hobinya “marung” atau “andok jagongan di warung”. Tidak bisa pengajian akbar, Maiyahan massal. Tetapi kan juga tidak ada Nabi Rasul siapapun yang Sinau Bareng massal, pakai workshop-workshop dll. seperti Maiyahan selama ini.
Mungkin besok atau lusa mulai berlaku stratifikasi kaya-miskin yang populer dalam Sosiologi Indonesia. Sekarang sudah tidak bisa “makan di mana”, tapi masih bisa “makan apa”, meskipun lewat GoFood atau perangkat online lainnya. Kemudian kalau Corona tidak pamit-pamit juga, masyarakat akan tiba pada level “apa makan.” Hari ini masih ada celengan untuk beli makan. Tapi kalau besok tidak ada makanan yang bisa dibeli gimana?
Nanti kalau tiba waktu bahwa ummat manusia sedunia benar-benar merasakan kesengsaraan, para Khalifatudunya, para pemimpin yang bertanggung jawab atas kehidupan dunia, harus memperjelas: Coronavirus ini peristiwa alam, adzab Tuhan, ataukah hasil ulah manusia sendiri?
Yang mana: “Demikian itu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri. Sesungguhnya Allah sekali-kali tidak menganiaya hamba-Nya.” (Al-Anfal). Ataukah: “Maka pastilah putusan (adzab) Tuhan kita menimpa atas kita; sesungguhnya kita akan merasakan (adzab itu).” (As-Shaffat).
Kalau sejak hari ini hingga sebulan lagi tidak ada kejelasan “Wedus Gembel Global” ini siapa produsernya, maka sungguh manusia memang tidak bisa diandalkan.[ind]