ChanelMuslim.com – Berlari dari Rasa Bosan, oleh: Isti Prihandini (Ibu Rumah Tangga)
“Gimana rasanya #dirumahaja?”
“Bosen, bosen banget”
Tampaknya itu cuplikan dialog yang melimpah di masyarakat kita selama masa pandemi. Bosan, bosan, dan bosan.
Masyarakat yang patuh pemerintah, berarti sudah sebulan lebih berdiam di rumah. Keluar hanya untuk kebutuhan darurat agar dapur tetap ngebul. Itupun hanya orang dewasa yang keluar.
Baca Juga: Jangan Bosan Meneladani Nabi
Berlari dari Rasa Bosan
Sementara anak-anak, di rumah berputar-putar dengan tugas online, game online, tugas online, dan game online.
Bosan, bosan, dan bosan.
Namun, jangan khawatir. Kita tak sendiri menanggung rasa bosan itu. Begitu massal yang menanggung rasa bosan di dunia ini, saat ini.
Satu hal yang hampir pasti, wabah akan berakhir, masa karantina akan berakhir. Sesuatu yang bermula, pasti akan berujung. Kapan? Tidak ada yang tahu pasti.
Namun yang membedakan adalah bagaimana “rupa” orang-orang yang menderita bosan ini akan keluar di akhir masa karantina. Sama-sama mendapat durasi hidup 24 jam sehari di rumah, namun sangat beraneka ragam “produk” akhirnya. Sebagian melakukan kegiatan ini itu untuk “membunuh” waktu, sehingga waktu pun berlalu bagai bangkai; sia-sia. Sebagian melakukan hal-hal yang “menghidupkan” waktu, sehingga waktu pun berlalu bagai pohon; kelak ada buah dan rindang daun yang bisa dinikmati.
Tak begitu jauh di belakang kita, seorang Syaikh At Tarbiyah, KH Rahmat Abdullah sudah mengingatkan kita dengan nasihat puitisnya: Teruslah berlari, hingga kebosanan itu bosan mengejarmu.
“Berlari” dapat dimaknai berbagai bentuk. Sejarah telah mengukir dengan tinta emas karya-karya penulis yang terpuruk di penjara; sebuah tempat di mana kebosanan bercengkerama dengan penderitaan.
Di penjara di tahanan rumah selama dua tahun, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (Hamka) menulis Tafsir Al Azhar. Tuduhan Orde Lama bahwa Hamka melakukan makar membuatnya sangat terpukul. Namun perlahan Hamka mengambil hikmah, menghidupkan waktunya di penjara dengan membaca Alquran dan menulis tafsirnya.
Ibnu Taimiyah, ulama besar dari Turki, bolak-balik tujuh kali keluar masuk penjara. Namun di penjaralah lahir karya fenomenal, Majmu-Fatawa, 20 jilid (masing-masing jilid 200-an halaman) tentang fatwa Ibnu Taimiyah mengenai akidah, tauhid, fikih, ushul, hadist, dan tafsir. Ibnu Taimiyah terus menulis hingga ajal menjemputnya di penjara Qal’ah Dimasyiq.
Tafsir Fii Zilalil Qur’an, karya Sayyid Qutb, pun ditulis di penjara. Tafsir Alquran sebanyak 30 jilid ini ditulis di tengah penyiksaan biadab Gamal Abdel Nasser, hingga akhirnya Sayyid Qutb meninggal di tiang gantungan.
Tentulah, deretan karya yang ditulis di tengah kebosanan (ditambah penyiksaan) ini masih panjang jika kita mau menengok ke belakang.
Cara “berlari” dari rasa bosan itu berbeda-beda tiap manusia. Mengatasi bosan di rumah, itu jauh lebih baik dari pada bosan di rumah sakit, apalagi penjara. Tinggal masing-masing kita pilih mana: membunuh waktu atau menghidupkan waktu.[ind]