RUPANYA, gaya jalan seorang pemimpin, sang khalifah Umar ibn Abdil Aziz menarik perhatian pada zamannya. Sang khalifah yang bergelar Khulafaur Rasyidin kelima itu menjadi standar keanggunan waktu itu.
Ustaz Salim A. Fillah dalam tulisan lamanya, pada 17 Agustus 2017, mengisahkan tentang gaya jalan sang khalifah.
Selain takwa dan keadilannya, apa yang paling menarik dari seorang lelaki yang digelari Khulafaur Rasyidin kelima itu? Gaya jalannya.
“Adalah para gadis”, demikian ‘Abdullah ibn ‘Abdil Hakam merekam dalam karyanya yang bertajuk ‘Al Khalifatul ‘Adil’, “menjadikan gaya jalan ‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz itu sebagai ukuran keanggunan dan pesona.
“Mereka berupaya keras melatihnya agar bisa serupa dan membanggakannya. Inilah lenggang dan liuk langkah penuh gaya ala pemuda kebanggaan Bani ‘Umayyah.”
Unik. Tetapi bagi sang peletak gaya, lenggang itu justru sangat mengganggu.
“Hai Muzahim”, begitu ‘Umar selalu berpesan kepada bekas budak yang kini diangkat jadi menteri utamanya,
“Tegur aku jika gaya jalanku seperti itu lagi. Sungguh aku bertekad tuk meninggalkannya. Aku harus bisa mengubahnya.”
“Maka aku akan kelelahan untuk mengingatkanmu ya Amiral Mukminin”, ujar Muzahim terkekeh.
“Kulihat, engkau telah mampu meninggalkan semua bagian kehidupanmu di masa lalu; kekayaan, kemewahan, kemegahan, dan kenikmatannya, kecuali… Kecuali dalam caramu melangkahkan kaki.”
‘Umar tertunduk. Air matanya menggenangi pelupuk. “Aku takut. Sungguh takut”, dia bergumam geram-geram, “Itu termasuk cara jalan angkuh yang dibenci Allah.”
Baca Juga: Ilmu dan Etika Berjalan Beriringan
Gaya Jalan Sang Khalifah
Selalu ada yang tersisa dari masa lalu yang ingin kita tinggalkan. Selalu ada yang tertinggal dari pribadi lampau yang hendak kita lupakan.
Sebab kita manusia, perubahan yang paling tajam dan menyeluruh pun masih akan meninggalkan sudut-sudut bergeming. Atau setidaknya, bekas-bekas yang tak tuntas.
Di situlah peran kawan hijrah kita; untuk saling mengingatkan dan menjaga agar bersama terus menanjak menuju keluhuran di sisi-Nya.[ind]