BERSIKAP jujur itu berawal dari rumah. Biasanya, ketika anak sedang rewel, bawel dan banyak ulah, tidak jarang kita menjanjikan kepada mereka hal yang mereka sukai agar mereka mau duduk diam.
“Adik, jangan nangis yah. Nanti ibu belikan donat deh,” begitu ujar kita. Terkadang kita lupa jika kalimat bujukan ini adalah janji. Dan janji itu adalah utang. Jika sebuah janji tidak terpenuhi, sudah cukuplah alasan kita disebut sebagai pendusta.
Baca Juga: Risiko Kejujuran
Bersikap Jujur itu Berawal dari Rumah
Rasulullah mengingatkan kita untuk tidak berdusta di hadapan anak-anak, meski itu sebagai bujukan atau candaan. Abu Dawud dan Baihaqi meriwayatkan dari Abdullah bin Amir ra. “Pada suatu hari ibu memanggilku, sedangkan Rasulullah sedang duduk di rumah kami. Ibuku berkata, “Kemarilah, Nak. aku akan meemberimu.”
Kemudian Rasulullah berkata kepadanya. “Apa yang akan kau berikan padanya?” Ibuku berkata, “Aku akan memberinya sebuah kurma.”
Rasulullah berkata kepadanya, “Kalau engkau tidak memberikan sesuatu padanya maka engkau dicatat sebagai orang yang berdusta.”
Ayah Bunda tidak layak rasanya jika kita berdusta pada anak hanya untuk membuat mereka berhenti menangis, membujuk mereka untuk menyukai sesuatu atau untuk menenangkan mereka dari kemarahan.
Dengan berkata dan bersikap jujur, kita tengah mengajarkan dan menyiapkan ananda untuk mempunyai kebiasaan-kebiasaan dan akhlak yang baik.
Bersikap tidak jujur selain telah menghilangkan kepercayaan pada diri sendiri juga menghilangkan kepercayaan anak kepada Ayah Bunda.
Ada satu kisah yang begitu mahsyur tentang kejujuran ini. Pada zaman kekhalifahan Umar bin Khatab hiduplah seorang gadis yang jujur.
Ketika menjadi seorang khalifah, Umar bin Khatab sering menyamar dan pergi diam-diam pada malam hari untuk menyaksikan sendiri keadaan rakyatnya.
Malam itu, seperti malam-malam lainnya, Umar dan pembantunya, Aslam melakukan ronda keliling kota Madinah. Karena letih, beliau beristirahat dengan bersandar pada dinding rumah penjual susu.
Tanpa disengaja didengarnya percakapan seorang ibu dengan seorang anak gadisnya.
“Berdirilah dan campurkan susu itu dengan air!”
Anak gadisnya menjawab, “Tahukah Bunda bahwa Amirul Mukminin telah menyerukan agar penjual susu tidak mencampur susu dengan air.”
“Anakku, banyak yang melanggar perintah itu. Dan engkau pun tidak apa-apa melakukannya karena engkau berada jauh dari penglihatan Umar dan pembantu-pembantunya,” ujar sang ibu.
“Ibu, ketahuilah jika Umar tidak dapat melihat,” Anak gadis itu menjawab, “Sesungguhnya Tuhannya Umar pasti akan melihat. Demi Allah, aku bukanlah seorang yang mematuhinya di depan orang banyak dan mendurhakainya di waktu sendiri.”
Semua pembicaraan ibu dan anak gadisnya itu didengar oleh Umar. Kemudian Umar meminta pada Aslam untuk menandai rumah itu.
Pagi harinya Aslam memerhatikan rumah itu. Aslam melaporkan pada Umar bahwa rumah penjual susu itu dihuni oleh seorang anak gadis dan ibunya yang sudah menjanda. Dan tidak ada seorang laki-laki pun di rumahnya. Keduanya dari bani Bilal.
Kemudian Umar memanggil anaknya yang bernama Ashim. Dia meminta agar anaknya bersedia menikah dengan gadis jujur itu. Ashim ternyata setuju dengan pilihan ayahnya itu.
Umar pun menikahkan mereka. Dari perkawinan itu lahirlah Ummu Ashim yang kemudian menikah dengan Abdul Aziz bin Marwan. Kelak Ummu Ashim melahirkan Umar bin Abdul Aziz dan menjadi khalifah yang shaleh seperti kakeknya. [Cms]