Chanelmuslim.com – Islam adalah agama yang mudah, sehingga Rasulullah pun ketika pada suatu masa berlaku ringan dalam wudhunya. Hal ini terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwasanya Nabi SAW tidur hingga mendengkur, kemudian beliau SAW shalat -dan barangkali ia mengatakan, “Beliau berbaring hingga mendengkur kemudian bangun lalu shalat” (Ali bin Abdullah berkata), “Setelah itu Sufyan menceritakan kejadian ini kepada kami berkali-kali. Cerita itu beliau riwayatkan dari Amru dari Kuraib dari Ibnu Abbas, bahwasanya beliau berkata, ‘Pada suatu malam aku pernah menginap di rumah bibiku yang bernama Maimunah, Nabi SAW berdiri (bangun) di malam itu, maka ketika pada sebagian malam nabi SAW berdiri (bangun) lalu berwudhu dari suatu bejana yang tergantung dengan wudhu yang ringan -Amru menggambarkan betapa ringan dan sedikitnya wudhu tersebut- setelah itu beliau berdiri untuk shalat. Akupun berwudhu sebagaimana wudhu beliau, kemudian aku menghampirinya dan berdiri di sebelah kirinya. Lalu Nabi memindahkanku dan menempatkanku di sebelah kanannya. Nabi SAW shalat sebagaimana yang dikehendaki Allah, setelah itu beliau SAW tidur hingga mendengkur. Akhirnya datanglah kepadanya juru adzan untuk memberitahukan kepadanya (waktu) shalat (telah masuk). Maka Nabi SAW pergi bersama orang itu lalu shalat tanpa berwudhu lagi.’ Kami bertanya kepada Amru, ‘Sesungguhnya manusia mengatakan bahwa Rasulullah SAW tidur matanya tapi tidak tidur hatinya.’ Amru berkata, ‘Aku mendengar Ubaid bin Umair berkata, bahwa Mimpi para nabi adalah wahyu.’ Kemudian beliau membaca, ‘Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. (QS As Safaat 102) (HR. Bukhari)
Baca Juga: Hukum Berwudhu sebelum Tidur untuk Wanita Haid
Berlaku Ringan dalam Berwudhu
Keterangan Hadits:
(Berlaku ringan dalam berwudhu) maksudnya boleh berlaku ringan dalam wudhu. Amru menggambarkan betapa ringan dan sedikitnya wudhu tersebut). Ibnu Munir berkata, “Meringankan, maksudnya tidak banyak menggosok; dan maksud menyedikitkan adalah tidak membasuh lebih dari satu kali.” Ibnu Munir menambahkan, “Dalam hadits ini terdapat dalil akan kewajiban menggosok anggota wudhu.
Sebab jika hal itu boleh ditinggalkan, maka dalam kondisi demikian tentu akan ditinggalkannya. Namun, ternyata beliau tetap melakukannya.” Akan tetapi ini adalah pernyataan yang tidak dapat diterima, sebab tidak ada dalam riwayat itu yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah menggosok anggota wudhu, karena cukup mengalirkan air di atas anggota wudhu adalah lebih ringan daripada menggosok meskipun sedikit.
“Sebagaimana beliau wudhu,” Al Karmani berkata, “Ibnu Abbas tidak mengatakan berwudhu sama seperti wudhu beliau, karena kesamaan tersebut tidak akan dapat dicapai oleh orang lain.” Hanya saja telah disebutkan dalam hadits ini sebagaimana akan diterangkan kemudian, bahwa Ibnu Abbas berkata, “Akupun berdiri dan melakukan seperti apa yang beliau lakukan.” Penggunaan kata mitsl (seperti) tidaklah berkonsekuensi pada musawat (persamaan) dari segala segi.
“Shalat tanpa berwudhu lagi,” merupakan dalil bahwa tidur tidak termasuk hadats (perkara yang membatalkan wudhu). Ia hanyalah suatu keadaan dimana sering menyebabkan hadats. Sebab mata beliau SAW tertidur namun hatinya terjaga. Jika terjadi sesuatu yang membatalkan wudhu pada diri beliau, maka beliau akan mengetahuinya.
Oleh karena itu, apabila beliau SAW bangun tidur kadang beliau berwudhu dan kadang tidak mengulanginya lagi. Al Khaththabi berkata, “Hati beliau tidak tidur untuk memahami wahyu yang datang kepadanya pada saat beliau tidur.”
“Kami bertanya.” Yang bertanya adalah sufyan, dan hadits tentang ini adalah shahih sebagaimana akan disebutkan dari jalur periwayatan yang lain. Adapun Ubaid bin Umair adalah salah seorang pemuka di kalangan tabi’in.
“Mimpi para nabi adalah wahyu.” Telah diriwayatkan oleh Imam Muslim dengan silsilah periwayatan yang bersambung kepada Nabi SAW, demikian pula hadits ini akan disebutkan kembali oleh Imam Bukhari pada kitab Tauhid dari riwayat Syuraik dari Anas. Adapun konteks ayat yang dibacakan dengan perkataannya bahwa mimpi para nabi termasuk wahyu adalah, apabila mimpi tidak termasuk wahyu maka tidak boleh bagi nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya demi melaksanakan mimpinya.
Jika dalam keadaan tertentu seperti sakit, diperbolehkan meringankan wudhu sebagaimana Rasulullah pernah melakukannya, tetapi tanpa mengurangi kesempurnaan dalam wudhu yang akan dibahas selanjutnya. (w)
Sumber : Fathul Baari, Ibnu Hajar Al Asqalani, Jilid 2, Pustaka Azzam