AMBILLAH pelajaran dari musibah yang menimpa Imran bin Hithan. Awalnya, beliau dikenal sebagai ulama yang luar biasa. Namun, dia justru terjerumus ke dalam pemikiran Khawarij.
Baca Juga: Kapan Seorang Hamba Bisa Bersyukur terhadap Musibah?
Ambillah Pelajaran dari Musibah yang Menimpa Imran bin Hithan
Ya‘qub bin Syaibah rahimahullah berkata,
وعمران بن حطان من بني سدوس، أدرك جماعة من أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم وصار في آخر عمره أن رأ رأي الخوارج وكان سبب ذلك فيما بلغنا أن ابنة عم له رأت رأي الخوارج فتزوجها ليردها عن ذلك فصرفتها إلى مذهبها.
“‘Imran bin Hithan yang berasal dari bani Sadus pernah berjumpa dengan beberapa sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi pemikirannya berubah menjadi pemikiran khawarij pada akhir usianya.
Sebabnya adalah anak pamannya yang berpemahaman khawarij, dia nikahi dengan tujuan untuk meluruskannya. Namun, ternyata dia yang diubah menjadi semazhab dengannya.”
(Lamm al-Durr al-Mantsur, hlm. 186)
Di antara pelajaran yang dapat kita ambil adalah sebagai berikut:
Keutamaan berjumpa dengan sahabat Nabi, terlebih jika disertai dengan menimba ilmu dari mereka.
Dahulu ‘Imran bin Hithan adalah ulama yang diambil ilmunya. Banyak dari kalangan tabiin yang menimba ilmu kepada ‘Imran bin Hithan karena keutamaannya, yaitu mendengar ilmu langsung dari sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, dia binasa pada akhir usianya karena pertemanan.
Sangat besarnya pengaruh teman dalam kehidupan seseorang.
Tatkala hawa nafsu dan syahwat keduniawian telah menjajah hati dan pikiran seseorang, pasti akan berujung pada kehinaan.
Pada puncaknya, kebenaran tidak lagi bernilai di matanya. Kemudian kesesatan akan diusung dan diperjuangkan demi memperjuangkan cintanya.
Cinta yang tidak dibangun karena Allah pasti akan berujung pada kebinasaan.
Khawarij adalah salah satu kelompok sesat yang di antara pemahamannya adalah menganggap kafir pelaku dosa besar dari kalangan muslimin; mengafirkan yang tidak sejalan dengan mereka; dan memberontak kepada pemerintah muslim yang mereka anggap tidak berhukum dengan hukum Islam.
Wanita yang dinikahinya itu terkenal akan kecantikannya. Sayangnya, dia memegang kuat pemahaman khawarij ini.
Oleh karena itu, kecantikan rupa yang tidak dihiasi oleh kecantikan hati tidaklah ada manfaatnya.
Jadikanlah kisah ini sebagai pelajaran bagi siapa saja yang ingin menikah, yaitu hendaknya dalam memilih pasangan yang dijadikan tolok ukur adalah yang baik agamanya, bukan kecantikan, harta, atau nasabnya.
Hendaknya seseorang selalu menjaga hatinya.
Hati ini lemah, sementara syubhat itu menyambar-nyambar. Maksud hati ingin memengaruhi, apa daya hamba yang justru dipengaruhi.
Bukannya wanita itu yang berhasil dibujuk untuk meninggalkan paham khawarij, justru ‘Imran bin Hithan yang kemudian terbujuk olehnya untuk menjadi pengikut setia kaum khawarij. Nas’alullah as-salamah.
Jangan menganggap remeh masalah pertemanan.
Siapa yang berani menjamin kita untuk tetap teguh di atas kebenaran sampai napas terakhir?
Ini masalah memengaruhi atau dipengaruhi. Jika tidak ada jaminan kita bisa memengaruhi karena hati di tangan Allah taala, kenapa mesti bermain-main dengan api?
Kecerdasan dan keilmuan tidak bisa dijadikan patokan hidayah.
Sungguh kisah tragis ‘Imran seharusnya menambah rasa takut dan harap kepada Allah ‘azza wa jalla. Takut terjatuh pada kesesatan dan berharap agar tetap kokoh di atas kebenaran.
[Cms]
Abu Fudhail Abdurrahman Ibnu Umar
https://t.me/alfudhail