ChanelMuslim.com – Al-Qur’an menurut Imam Al-Ghazali ibarat samudra yang menyimpan beragam intan mutiara dan barang-barang mulia lainnya. Imam al-Ghazali melontarkan beberapa pertanyaan, “Tidakkah engkau menaiki kapal untuk mengamati keajaiban-keajaibannya? Tidakkah engkau pergi ke pulau-pulaunya untuk menikmati keindahan-keindahannya? Tidakkah engkau menyelam ke samudra terdalam agar engkau tak hanya puas dengan keindahan-keindahan luarnya saja? Sampai kapan engkau terus membiarakan diri tetap terhalang melihat permata dan mutiara samudra karena puas melihat keindahan pantai dan tepinya saja?”
Al-Qur’an bukanlah sesuatu yang diturunkan untuk dibaca saja. Dimana proses membaca al-Qur’an tak jarang dipahami hanya sekedar untuk memberi ketenangan dan meraih pahala, serta mengabaikan kandungan terdalam maknanya. Saat kita memulai membaca al-Qur’an, saat itupula kita baru melangkahi satu tahapan pembelajaran. Membaca al-Qur’an ibarat lapisan kulit terluar dari sebuah inti.
Baca Juga: Mahar Berupa Hafalan Al-Quran ataukah Pengajaran Al-Quran?
Al-Qur’an Menyimpan Beragam Mutiara
Ketika kita puas dan berhenti dengan rutinitas membaca, kita akan terhalang dari pemahaman hingga pengamalannya. Seorang dikatakan mencintai sesuatu saat ia tak hanya pandai mengutarakan kecintaanya itu. Namun, ia juga harus memahami dengan fikiran dan berkorban dengan tindakan. Demikian seharusnya yang kita terapkan saat mencintai al-Qur’an.
Didalam al-Qur’an menyimpan cabang-cabang ilmu yang sangat banyak yang mengantarkan kita pada pemahaman yang sesungguhnya mengenai kandungan inti al-Qura’an. Inti tersebut meliputi mengenal Allah sebagai Dzat yang Maha Segalnya, mengetahui jalan apa yang harus ditempuh untuk sampai kepada Dzat Allah, serta mengetahui keadaan setelah sampai kepada Allah.
Mengenal Allah ibarat memperoleh yakut merah yang sangat susah untuk didapatkan. Kalaupun ada yang berhasil mendapatkannya kebanyak dari mereka membawa yang berkualitas rendah. Maka untuk mengenal Allah tidak cukup hanya dengan membaca al-Qur’an tanpa memahami kandungannya. Dimana butuh pengetahuan yang mendalam dan waktu yang panjang.
Selanjutnya, mengetahui jalan yang harus ditempuh untuk sampai pada Dzat Allah adalah dengan bersungguh-sungguh mengingatnya dalam kondisi dan situasi apapun serta melawan apapun yang dapat mengganggu hubungan dengan Allah. Hubungan hamba dengan Tuhannya ibarat sebuah benda dengan cermin. Jika cermin tersebut buram terhalang kotoran atau debu. Maka bayangan benda tersebut tak akan jelas
Dan yang terakhir, kita akan mengetahui keadaan setelah sampai pada Dzat Allah. Ialah kenikmatan yang paling besar karena telah sampai pula pada akhir dari segala tujuan, yaitu memandang Dzat Allah. (Ln)