ChanelMuslim.com – Hari Raya Idul Fitri kan menjelang, berikut adalah adab dan sunnah hari raya yang perlu Sahabat Muslim ketahui agar setiap amalan bernilai ibadah.
Baca Juga: Ini Sunnah-Sunnah di Hari Raya Idul Fithri
Sunnah Hari Raya
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
Dianjurkan Mandi sebelum Berangkat Shalat
Mandi pada hari ‘Id adalah sunnah, bukan wajib, dan ini telah menjadi ijma’ para ulama.
Berkata Imam Ibnu Rajab Rahimahullah:
والغسل للعيد غير واجب . وقد حكى ابن عبد البر الإجماع عليهِ ، ولأصحابنا وجه ضعيف بوجوبه . وروى الزهري ، عن ابن المسيب ، قال : الاغتسال للفطر والأضحى قبل أن يخرج إلى الصلاة حقٌ .
Mandi pada hari raya bukanlah kewajiban, Ibnu Abdil Bar telah menceritakan adanya Ijma’ atas hal itu.
Sedangkan terdapat riwayat lemah bagi sahabat-sahabat kami yang menyebutkan kewajibannya. Az Zuhri meriwayatkan dari Ibnul Musayyib, katanya:
“Mandi pada Idul Fitri dan Idul Adha sebelum keluar menuju shalat adalah benar adanya.” (Imam Ibnu Rajab, Fathul Bari, 6/71)
Imam Ibnul Qayyim menceritakan:
كان يغتسل للعيدين، صح الحديث فيه، وفيه حديثان ضعيفان: حديث ابن عباس، من رواية جبارة بن مُغَلِّس، وحديث الفاكِه بن سعد، من رواية يوسف بن خالد السمتي. ولكن ثبت عن ابن عمر مع شِدة اتِّباعه للسُنَّة، أنه كان يغتسل يوم العيد قبل خروجه.
Nabi mandi pada dua hari raya, telah terdapat hadits shahih tentang itu, dan ada pula dua hadits dhaif:
pertama, hadits Ibnu Abbas, dari riwayat Jabarah Mughallis, dan hadits Al Fakih bin Sa’ad, dari riwayat Yusuf bin Khalid As Samtiy. Tetapi telah shahih dari Ibnu Umar
–yang memiliki sikap begitu keras mengikuti sunnah- bahwa Beliau mandi pada hari raya sebelum keluar rumah. (Zaadul Ma’ad, 1/442. Muasasah Ar Risalah).
Baca Juga: Membayar Zakat Fitri dengan Uang, Terlarangkah?
Memakai Pakaian Terbaik dan Minyak Wangi
Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أمرنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في العيدين أن نلبس أجود ما نجد و أن نتطيب بأجود ما نجد و أن نضحي بأسمن ما نجد
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan kami pada dua hari raya untuk memakai pakaian terbaik
yang kami punya, dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang kami punya, dan berqurban dengan hewan yang paling mahal yang kami punya. (H.R. Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 7560),
katanya: “Kalau bukan karena kemajhulan Ishaq bin Barzakh, akan hukumi ini sebagai hadits shahih.”
Hal serupa juga dikatakan Imam Adz Dzahabi. Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir No. 2756, dari Al Hasan bin Ali. Al Baihaqi dalam Syu’abul Iman No. 3715. Ath Thahawi dalam Musykilul Aatsar No. 4730)
Tetapi, telah shahih dari para sahabat bahwa mereka memakai pakaian terbaik ketika hari raya
عن نافع أن بن عمر : كان يلبس في العيدين أحسن ثيابه
Dari Naafi’, bahwasanya Ibnu Umar memakai baju yang terbaik pada dua hari raya. (Al Baihaqi, Syu’abul Iman No. 5938)
Dalam riwayat yang lebih panjang disebutkan:
وَعَن مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ قَالَ : قُلْتُ لِنَافِعٍ : كَيْفَ كَانَ ابْنُ عُمَرَ – رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا – يَصْنَعُ يَوْمَ الْعِيدِ ؟ قَالَ : كَانَ يَشْهَدُ صَلاَةَ الْفَجْرِ مَعَ الإِمَامِ , ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى بَيْتِهِ فَيَغْتَسِلُ غُسْلَهُ مِنَ الْجَنَابَةِ ، وَيَلْبَسُ أَحْسَنَ ثِيَابِهِ ، وَيَتَطَيَّبُ بِأَحْسَنِ مَا عِنْدَهُ ، ثُمَّ يَخْرُجُ حَتَّى يَأْتِيَ
الْمُصَلَّى فَيَجْلِسَ فِيهِ حَتَّى يَجِيءَ الإِمَامُ ، فَإِذَا جَاءَ الإِمَامُ صَلَّى مَعَهُ ، ثُمَّ يَرْجِعُ فَيَدْخُلُ مَسْجِدَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ، فَيُصَلِّي فِيهِ رَكْعَتَيْنِ ، ثُمَّ يَأْتِي بَيْتَهُ
Dari Muhammad bin Ishaq: Aku berkata kepada Naafi’: “Apa yang diperbuat Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma ketika hari raya?”
Beliau menjawab: “Beliau shalat Shubuh berjamaah bersama imam, lalu dia pulang untuk mandi sebagaimana mandi janabah, lalu dia berpakaian yang terbaik,
dan memakai wangi-wangian yang terbaik yang dia miliki, lalu dia keluar menuju lapangan tempat shalat lalu duduk sampai datangnya imam, lalu ketika imam datang dia shalat bersamanya,
setelah itu dia menuju masjid Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan shalat dua rakaat, lalu pulang ke rumahnya. (Imam Al Bushiri, Ittihaf Al Khairah, No. 1587)
Baca Juga: Warna-warni Koleksi Raya Brand Kami, Tampil di Muffest 2021
Pendapat Imam Al Bushiri
Imam Al Bushiri mengatakan tentang hadits ini:
رواه الحارث بن أبي أسامة ورجاله ثقات ، والبيهقي مختصرًا
Diriwayatkan Al Harits bin Abu Usamah, dan para perawinya adalah terpercaya, dan diriwayatkan oleh Al Baihaqi secara ringkas. (Ibid)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarkafuri mengatakan:
“Diriwayatkan oleh Ibnu Abid Dunya dan Al Baihaqi dan isnadnya shahih.” (At Tuhfah Al Ahwadzi, 3/59)
Imam Ibnul Qayyim Rahimahullah mengatakan:
وكان يلبَس للخروج إليهما أجملَ ثيابه، فكان له حُلَّة يلبَسُها للعيدين والجمعة، ومرة كان يَلبَس بُردَين أخضرين، ومرة برداً أحمر
Ketika keluar pada dua hari raya, Rasulullah memakai pakaiannya yang terbaik, Beliau memiliki sepasang pakaian yang khusus digunakannya ketika hari raya dan hari Jumat,
sekali-kali Beliau memakai yang hijau, sekali pernah yang merah. (Zaadul Ma’ad, 1/440).
Baca Juga: Tips Make Up Tahan Lama saat Hari Raya
Makan Dulu sebelum Shalat Idul Fitri, Sebaliknya tidak Makan Dulu sebelum Shalat Idul Adha
Untuk hari Idul Fitri disunnahkan makan kurma berjumlah ganjil, sebelum berangkat shalat Id. Hal ini didasarkan pada riwayat berikut:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا يَغْدُو يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَأْكُلَ تَمَرَاتٍ وَقَالَ مُرَجَّأُ بْنُ رَجَاءٍ حَدَّثَنِي عُبَيْدُ اللَّهِ قَالَ حَدَّثَنِي أَنَسٌ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَأْكُلُهُنَّ وِتْرًا
“Pada saat Idul Fitri Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah berangkat untuk shalat sebelum makan beberapa kurma.”
Murajja bin Raja berkata, berkata kepadaku ‘Ubaidullah, katanya: berkata kepadaku Anas, dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam: “Beliau memakannya berjumlah ganjil.”
(H.R. Bukhari No. 953)
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah, mengutip dari Imam Ibnu Qudamah Rahimahullah:
لا نعلم في استحباب تعجيل الاكل يوم الفطر اختلافا
Kami tidak ketahui adanya perselisihan pendapat tentang sunnahnya mendahulukan makan pada hari Idul Fitri. (Fiqhus Sunnah, 1/317)
Adapun untuk Idul Adha, disunnahkan tidak makan dan minum dahulu, kecuali setelah shalat Id. Dari Buraidah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
لَا يَخْرُجُ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ وَلَا يَطْعَمُ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يُصَلِّيَ
Janganlah keluar pada hari Idul Fitri sampai dia makan dulu, dan janganlah makan ketika hari Idul Adha sampai dia shalat dulu.
(H.R. At Tirmidzi No. 542, Ibnu Majah No. 1756, Ibnu Hibban No. 2812, Ahmad No. 22984)
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: “Hasan.” (Ta’liq Musnad Ahmad No. 22984), Syaikh Al Albani mensahihkannya.
(Shahih wa Dhaif Sunan Ibni Majah No. 1756, Shahih wa Dhaif Sunan At Tirmidzi No. 542) Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan: “Dishahihkan oleh Ibnu Hibban.” (Bulughul Maram, Hal. 176. Mawqi’ Misykah)
Imam At Tirmidzi berkata:
وَقَدْ اسْتَحَبَّ قَوْمٌ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ أَنْ لَا يَخْرُجَ يَوْمَ الْفِطْرِ حَتَّى يَطْعَمَ شَيْئًا وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يُفْطِرَ عَلَى تَمْرٍ وَلَا يَطْعَمَ يَوْمَ الْأَضْحَى حَتَّى يَرْجِعَ
Segolongan ulama menyunnahkan agar jangan keluar dulu pada hari Idul Fitri sampai makan sesuatu, dan disunnahkan baginya untuk makan kurma,
dan jangan dia makan dulu pada hari Idul Adha sampai dia pulang. (Sunan At Tirmidzi No. 542).
Baca Juga: Ini 60 Ide Menu Olahan Daging Kurban di Hari Raya Idul Adha
Dianjurkan Kaum Wanita dan Anak-Anak Keluar ke Lapangan
Mereka dianjurkan untuk keluar karena memang ini adalah hari raya yang mesti disambut dengan suka cita oleh siapa saja. Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah mengatakan:
يشرع خروج الصبيان والنساء في العيدين للمصلى من غير فرق بين البكر والثيب والشابة والعجوز والحائض
Dianjurkan keluarnya anak-anak dan kaum wanita pada dua hari raya menuju lapangan, tanpa ada perbedaan, baik itu gadis, dewasa, pemudi, tua renta, dan juga wanita haid. (Fiqhus Sunnah, 1/318)
Ummu ‘Athiyah Radhiallahu ‘Anha berkata:
أَمَرَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَp.لَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ نُخْرِجَهُنَّ فِي الْفِطْرِ وَالْأَضْحَى الْعَوَاتِقَ وَالْحُيَّضَ وَذَوَاتِ الْخُدُورِ فَأَمَّا الْحُيَّضُ فَيَعْتَزِلْنَ الصَّلَاةَ وَيَشْهَدْنَ الْخَيْرَ وَدَعْوَةَ الْمُسْلِمِينَ قُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِحْدَانَا لَا يَكُونُ لَهَا جِلْبَابٌ قَالَ لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
Kami diperintahkan Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam untuk mengeluarkan anak-anak gadis, wanita haid, wanita yang dipingit, pada hari Idul Fitri dan Idul Adha.
Adapun wanita haid, mereka terpisah dari tempat shalat. Agar mereka bisa menghadiri kebaikan dan doa kaum muslimin.
Aku berkata: “Wahai Rasulullah, salah seorang kami tidak memiliki jilbab.” Beliau menjawab: “Hendaknya saudarinya memakaikan jilbabnya untuknya.”
(H.R. Bukhari No. 324, dan Muslim No. 890, dan ini lafazhnya Imam Muslim)
Baca Juga: Rayakan Malam Idul Fitri dengan Muhasabah Akbar
Hikmah Ikut ke Lapangan
Hikmahnya adalah –selain agar mereka bisa mendapatkan kebaikan dan doa kaum muslimin- juga sebagai momen bagi kaum wanita dan anak-anak untuk mendapatkan pelajaran dan nasihat agama.
Hal ini ditegaskan dalam riwayat Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, ketika dahulu masih kecil, katanya:
خَرَجْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ فِطْرٍ أَوْ أَضْحَى فَصَلَّى ثُمَّ خَطَبَ ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ فَوَعَظَهُنَّ وَذَكَّرَهُنَّ وَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ
Saya keluar bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Idul Fitri atau Idul Adha, Beliau shalat, kemudian berkhutbah,
lalu mendatangi kaum wanita dan memberikan nasihat kepada mereka, memberikan peringatan dan memerintahkan mereka untuk bersedekah. (H.R. Bukhari No. 975)
Namun, hendaknya keluarnya kaum wanita tetap menjaga akhlak dan adab berpakaian yang dibenarkan syariat, tidak berpakaian dan berhias seperti orang kafir, tidak menampakkan lekuk tubuh,
menutup aurat secara sempurna, tidak mencolok, dan menjauhi wangi-wangian.
Bertakbir secara Dikeraskan atau Di-sirr-kan
Tertulis di dalam Al Mausu’ah:
أَمَّا التَّكْبِيرُ فِي عِيدِ الْفِطْرِ فَيَرَى جُمْهُورُ الْفُقَهَاءِ أَنَّهُ يُكَبَّرُ فِيهِ جَهْرًا وَاحْتَجُّوا بِقَوْلِهِ تَعَالَى : { وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ } قَال ابْنُ عَبَّاسٍ : هَذَا وَرَدَ فِي عِيدِ الْفِطْرِ بِدَلِيل عَطْفِهِ عَلَى قَوْله تَعَالَى : { وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ } وَالْمُرَادُ بِإِكْمَال الْعِدَّةِ بِإِكْمَال صَوْمِ رَمَضَانَ
Adapun pada Idul Fitri jumhur (mayoritas) fuqaha memandang bahwa bertakbir dilakukan dengan suara dikeraskan.
Mereka berdalil dengan firman Allah Ta’ala: “Hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”
Berkata Ibnu Abbas: ayat ini berbicara tentang Idul Fitri karena kaitannya dengan firmanNya: “Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya.”
Maksudnya dengan menyempurnakan jumlahnya, dengan menggenapkan puasa Ramadhan. (Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 13/213)
Adapun kalangan Hanafiyah mereka menganjurkan bertakbir secara di-sirr-kan, pada hari raya Idul Fitri. Berikut ini keterangannya:
وَذَهَبَ أَبُو حَنِيفَةَ إِلَى عَدَمِ الْجَهْرِ بِالتَّكْبِيرِ فِي عِيدِ الْفِطْرِ لأِنَّ الأْصْل فِي الثَّنَاءِ الإْخْفَاءُ لِقَوْلِهِ تَعَالَى {وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْل } وَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَيْرُ الذِّكْرِ الْخَفِيُّ. وَلأِنَّهُ أَقْرَبُ مِنَ الأْدَبِ وَالْخُشُوعِ ، وَأَبْعَدُ مِنَ الرِّيَاءِ
Pendapat Abu Hanifah adalah takbir tidak dikeraskan saat Idul Fitri, karena pada asalnya pujian itu mesti disembunyikan, karena Allah Ta’ala berfirman:
“Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara,” dan sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Sebaik-baiknya dzikir adalah yang tersembunyi.” Karena hal itu lebih dekat dengan adab, khusyu’, dan lebih jauh dari riya’. (Al Mausu’ah, 13/214).
Baca Juga: Muhasabah Akbar Akhir Ramadhan, Sambut Idul Fitri, Selamatkan Negeri
Mengucapkan Selamat Hari Raya: “Taqabbalallahu Minna wa Minka”
Telah diriwayatkan dari Al Watsilah, bahwa beliau berjumpa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan mengucapkan:
Taqabballahu minna wa minka (Semoga Allah menerima amal kami dan Anda).
Namun sanad riwayat ini DHA’IF (lemah/tidak valid), sebagaimana yang dikatakan Al Imam Al Hazifh Ibnu Hajar Al ‘Asqalani dalam Fathul Bari.
Namun, Imam Ibnu Hajar berkata:
وَرَوَيْنَا فِي ” الْمَحامِلِيَّاتِ ” بِإِسْنَادٍ حَسَنٍ عَنْ جُبَيْرِ بْنِ نُفَيْرٍ قَالَ ” كَانَ أَصْحَابُ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اِلْتَقَوْا يَوْمَ الْعِيدِ يَقُولُ بَعْضُهُمْ لِبَعْضٍ : تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْك “
Kami meriwayatkan dalam kitab Al Mahalliyat, dengan sanad yang hasan (bagus), dari Jubeir bin Nufair, katanya:
dahulu para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam jika mereka berjumpa pada hari raya, satu sama lain berkata: “Taqabbalallahu minna wa minka.” (Fathul Bari, 2/446. Darul Fikr)
Hal ini juga diriwayatkan oleh Muhammad bin Ziyad, bahwa beliau bersama Abu Umamah Al Bahili dan para
sahabat Nabi lainnya, bahwa mereka jika satu sama lain berjumpa sepulang shalat Id, mengucapkan: taqabballahu minna wa minka.
Menurut Imam Ahmad bin Hambal sanadnya jayyid (bagus/baik). (Syaikh Al Albani, Tamamul Minnah, hlm. 355-356)
Ucapan Minal ‘aidin wal faaizin
Ucapan inilah yang lebih baik dan sunnah para sahabat Nabi. Adapun ucapan Minal ‘Aidin wal Faaizin merupakan potongan dari kalimat Ja’alanallahu wa iyyakum minal ‘aaidin wal faaizin,
artinya semoga Allah jadikan kami dan Anda termasuk orang kembali (suci) dan menang.
Atau, di sebagian negeri muslim ada yang mentradisi ucapan ‘iduka mubaarak – semoga hari rayamu diberkahi. Ada pula kullu ‘aam wa antum bikhair – setiap tahun semoga Anda dalam kebaikan.
Semua ini tidaklah terlarang, sebagai sebuah kalimat baik dan doa yang baik, walau bukan dari Nabi dan sahabatnya.
Sebagaimana perkataan Imam Asy Syafi’i bahwa perkataan itu dihukumi bagaimana isinya, jika baik maka itu baik, jika buruk maka itu buruk.
Maka, sikap tergesa-gesa sebagian da’i yang membid’ah-bid’ahkan ini adalah sikap ghuluw yang tidak perlu terjadi.
Baca Juga: Cerita Persiapan Ustaz Salim A. Fillah dalam Meraih Sunnah Nabi pada Hari Raya Idul Adha
Bersenang-senang dan Bergembira dengan Mengadakan Pesta dan Permainan yang Halal
Bersenang dan bergembira ketika hari raya adalah bagian dari ketentuan syariat, selama semua dilakukan sesuai syariat pula, tidak berlebihan, dan tidak membuat lupa dengan kewajiban.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
اللعب المباح، واللهو البرئ، والغناء الحسن، ذلك من شعائر الدين التي شرعها الله في يوم العيد، رياضة للبدن وترويحا عن النفس
Melakukan permainan yang dibolehkan, gurauan yang baik, nyanyian yang baik, semua itu termasuk di antara
syiar-syiar agama yang Allah tetapkan pada hari raya, untuk menyehatkan badan dan mengistirahatkan jiwa. (Fiqhus Sunnah, 1/323)
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ وَلَهُمْ يَوْمَانِ يَلْعَبُونَ فِيهِمَا فَقَالَ مَا هَذَانِ الْيَوْمَانِ قَالُوا كُنَّا نَلْعَبُ فِيهِمَا فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَبْدَلَكُمْ بِهِمَا خَيْرًا مِنْهُمَا يَوْمَ الْأَضْحَى وَيَوْمَ الْفِطْرِ
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam datang ke Madinah, saat itu mereka memiliki dua hari untuk bermain-main. Lalu Beliau bersabda: “Dua hari apa ini?”
Mereka menjawab: “Dahulu, ketika kami masih jahiliyah kami bermain-main pada dua hari ini.”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam menjawab: “Sesungguhnya Allah telah menggantikan buat kalian dua hari itu dengan yang lebih baik darinya, yaitu Idul Adha dan Idul Fitri.”
(H.R. Abu Daud No. 1134, Ahmad No. 12006, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 5918, Al Hakim dalam Al Mustadrak No. 1091, Abu Ya’la No. 3820)
Cerita ‘Aisyah saat Hari Raya
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, bercerita:
أَنَّ الْحَبَشَةَ كَانُوا يَلْعَبُونَ عِنْدَ رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي يَوْمِ عِيدٍ، قَالَتْ: فَاطَّلَعْتُ مِنْ فَوْقِ عَاتِقِهِ ، فَطَأْطَأَ لِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْكِبَيْهِ، فَجَعَلْتُ أَنْظُرُ إِلَيْهِمْ مِنْ فَوْقِ عَاتِقِهِ حَتَّى شَبِعْتُ، ثُمَّ انْصَرَفْتُ
Orang-orang Habasyah (Etiopia) mengadakan permainan di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari raya.
Dia (‘Aisyah) berkata: “Aku pun menonton di atas bahunya, dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merendahkan bahunya untukku,
sehingga aku bisa melihat mereka di atas bahunya sampai aku puas, kemudian aku berpaling.”
(H.R. Ahmad No. 24296, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 1798, dan Sunan An Nasa’i No. 1594.
Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani. Lihat Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i No. 1594, juga Syaikh Syu’aib Al Arnauth.
Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24296)
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha juga cerita:
دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا “
Abu Bakar masuk ke rumah dan di hadapanku ada dua orang jariyah (budak remaja wanita) dari Anshar, mereka berdua sedang bernyanyi dengan syair yang mengingatkan kaum Anshar terhadap hari perang Bu’ats.”
Dia (‘Aisyah) berkata: “Mereka berdua bukanlah penyanyi.” Lalu Abu Bakar berkata: “Apakah seruling-seruling syaitan ada di rumah Rasulullah?”
Saat itu sedang hari raya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Wahai Abu Bakar, setiap kaum ada hari rayanya, dan hari ini adalah hari raya kita.”
(H.R. Bukhari No. 952, Muslim No. 892, Imam Muslim menambahkan bahwa dua jariyah ini memainkan duff/rebana).
Dalam riwayat lain ada tambahan:
دعهن يا أبا بكر فإنها أيام عيد فتعلم يهود أن فى ديننا فسحة إنى أرسلت بحنيفية سمحة
Biarkan mereka wahai Abu Bakar, sesungguhnya ini adalah hari raya, agar orang Yahudi tahu bahwa pada agama kita ada kelapangan, dan aku diutus dengan membawa agama yang hanif lagi lapang.
(H.R. Ahmad No. 24855, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal No. 40628. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hadits ini kuat, dan sanadnya hasan. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 24855).[ind]