ChanelMuslim.com – Zakat fitri atau zakat fitrah menurut istilah sebagian ulama yaitu zakat yang dikeluarkan pada saat menjelang hari raya. Zakat Fitri paling lambat dikeluarkan sebelum shalat Idul Fitri, untuk mengenyangkan kaum fakir miskin saat hari raya, dan hukumnya wajib.
Zakat Fitri dengan Uang, Terlarangkah?
Oleh: Ustaz Farid Nu’man Hasan
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
أي الزكاة التي تجب بالفطر من رمضان. وهي واجبة على كل فرد من المسلمين، صغير أو كبير، ذكر أو أنثى، حر أو عبد
Yaitu zakat yang diwajibkan karena berbuka dari Ramadhan [maksudnya: berakhirnya Ramadhan]. Dia wajib bagi setiap pribadi umat Islam, anak-anak atau dewasa, laki-laki atau perempuan, merdeka atau budak. (Fiqhus Sunnah, 1/412)
Beliau juga mengatakan:
تجب على الحر المسلم، المالك لمقدار صاع، يزيد عن قوته وقوت عياله، يوما وليلة. وتجب عليه، عن نفسه، وعمن تلزمه نفقته، كزوجته، وأبنائه، وخدمه الذين يتولى أمورهم، ويقوم بالانفاق عليهم.
Wajib bagi setiap muslim yang merdeka, yang memiliki kelebihan satu sha’ makanan bagi dirinya dan keluarganya satu hari satu malam.
Zakat itu wajib, bagi dirinya, bagi orang yang menjadi tanggungannya, seperti isteri dan anak-anaknya, pembantu yang melayani urusan mereka, dan itu merupakan nafkah bagi mereka. (Ibid, 1/412-413)
Harta yang Dikeluarkan Membayar Zakat Fitrah
Harta yang dikeluarkan adalah makanan pokok di negeri masing-masing, kalau di negeri kita sebanyak (+/-) 2,5 kg beras. Ini pandangan jumhur (mayoritas) imam madzhab seperti Imam Malik, Imam Syafi’i, dan Imam Ahmad bin Hambal.
Mereka menolak pembayaran zakat fitri dengan nilai harganya (uang), karena hal itu dianggap bertentangan dengan sunnah Nabi. Ini juga menjadi pandangan sebagian besar ulama kerajaan Arab Saudi, dan yang mengikuti mereka termasuk di tanah air.
Tertulis dalam Al Mausu’ah:
ذهب المالكية والشافعية والحنابلة إلى أنه لا يجوز دفع القيمة، لأنه لم يرد نص بذلك، ولأن القيمة في حقوق الناس لا تجوز إلا عن تراض منهم، وليس لصدقة الفطر مالك معين حتى يجوز رضاه أو إبراؤه.
Menurut pendapat Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanabilah, bahwasanya tidak boleh membayarkan harganya [pakai uang, pen], karena tidak adanya nash tentang hal itu, dan karena menentukan harga dalam urusan hak-hak manusia tidak diperbolehkan kecuali dengan keridhaan mereka, dan zakat fitri bukanlah menjadi milik seseorang sampai diperbolehkan oleh keridhaannya.(Al Mausu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah, 23/344)
Dasar pendapat ini adalah:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَرَضَ زَكَاةَ الْفِطْرِ مِنْ رَمَضَانَ عَلَى كُلِّ نَفْسٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ حُرٍّ أَوْ عَبْدٍ أَوْ رَجُلٍ أَوْ امْرَأَةٍ صَغِيرٍ أَوْ كَبِيرٍ صَاعًا مِنْ تَمْرٍ أَوْ صَاعًا مِنْ شَعِيرٍ
Dari Abdullah bin Umar, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri pada bulan Ramadhan untuk setiap jiwa kaum muslimin, baik yang merdeka atau budak laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, sebanyak satu sha’ kurma atau satu sha’ biji-bijian. (H.R. Muslim No. 984)
Hadits ini menunjukkan bahwa yang mesti dikeluarkan dalam zakat fitri adalah makanan pokok pada sebuah negeri, sebagaimana contoh dalam hadits ini. Maka, menggunakan nilai atau harga dari makanan pokok merupakan pelanggaran terhadap Sunnah ini.
Demikian menurut pendapat golongan ini. Namun para imam besar sejak masa salaf pun tidak sedikit yang membolehkan dengan uang. Seperti Imam Abu Hanifah, beliau menyatakan bolehnya zakat fitri dengan uang.
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
وجوز أبو حنيفة إخراج القيمة سواء قدر على العين أم لم يقدر، فإن الزكاة حق الفقير، ولا فرق بين القيمة والعين عنده
Abu Hanifah membolehkan mengeluarkan harganya, sama saja apakah sama dengan bendanya atau tidak, karena zakat adakah hak faqir, maka menurutnya tidak ada bedanya antara harganya atau zatnya. (Fiqhus Sunnah, 1/413)
Disebutkan dalam Al Mausu’ah sebuah penjelasan yang amat bagus, sebagai berikut:
وذهب الحنفية إلى أنه يجوز دفع القيمة في صدقة الفطر، بل هو أولى ليتيسر للفقير أن يشتري أي شيء يريده في يوم العيد؛ لأنه قد لا يكون محتاجا إلى الحبوب بل هو محتاج إلىملابس، أو لحم أو غير ذلك، فإعطاؤه الحبوب، يضطره إلى أن يطوف بالشوارع ليجد من يشتري منه الحبوب، وقد يبيعها بثمن بخس أقل من قيمتها الحقيقية، هذا كله في حالة اليسر، ووجود الحبوب بكثرة في الأسواق، أما في حالة الشدة وقلة الحبوب في الأسواق، فدفع العين أولى من القيمة مراعاة لمصلحة الفقير
Pendapat Hanafiyah Membolehkan Bayar Zakat dengan Uang
Pendapat kalangan Hanafiyah adalah bolehnya membayarkan harga dari zakat fitri, bahkan itu lebih utama, agar faqir miskin lebih mudah membeli apa yang dia inginkan di hari raya, sebab dia tidak lagi membutuhkan gandum, tetapi yang dia butuhkan adalah pakaian, atau daging, atau lainnya. Memberikannya gandum, akan menyulitkannya yang dengannya dia mesti berkeliling pasar untuk menjual kepada orang yang mau membelinya, sekalipun terjual dia menjualnya dengan harga rendah dari harga sebenarnya, semua ini jika dalam keadaan mudah dan gandum banyak ditemukan di pasar.
Adapun jika dalam keadaan sulit, ketersediaan gandum begitu sedikit di pasar-pasar, maka membayarkan zakat fitri dengan makanan adalah lebih utama dibanding dengan harganya, dalam rangka menjaga maslahat orang faqir. (Al Mausu’ah, 23/344-345)
Seperti dalam keadaan paceklik dan bencana alam, maka membayarkan zakat dengan uang justru tidak begitu bermanfaat, sebab yang mereka butuhkan saat itu adalah bahan makanan atau makanan jadi, dan itu lebih mudah bagi mereka. Sebaliknya uang akan sulit dibelanjakan karena tidak adanya barang-barang dalam keadaan paceklik atau bencana.
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Rahimahullah mengatakan:
يجوز عند الحنفية أن يعطي عن جميع ذلك القيمة دراهم أو دنانير أو فلوساً أو عروضاً أو ما شاء؛ لأن الواجب في الحقيقة إغناء الفقير، لقوله صلّى الله عليه وسلم: «أغنوهم عن المسألة في مثل هذا اليوم» والإغناء يحصل بالقيمة، بل أتم وأوفر وأيسر؛ لأنها أقرب إلى دفع الحاجة، فيتبين أن النص معلل بالإغناء.
Membayarkan semua harganya adalah boleh menurut kalangan Hanafiyah, baik berupa dirham, dinar, fulus, atau barang berharga, atau apa saja yang dia mau, karena yang menjadi hakikat adalah kewajiban mencukupi kebutuhan orang faqir, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam:
“Penuhilah kebutuhan mereka, jangan sampai mereka berkeliling [untuk minta-minta] pada hari ini.” Dan, memenuhi kebutuhan mereka sudah tertutup dengan memberikan harganya, bahkan itu lebih sempurna, lebih cepat, dan lebih mudah, karena hal itu lebih dekat untuk mentunaikan kebutuhan, maka penjelasannya adalah bahwa nash menyebutkan adanya ‘ilat [sebab] yaitu memenuhi kebutuhan mereka. (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 3/2044)
Ini juga pendapat Imam Sufyan Ats Tsauri, Imam ‘Atha, Imam Al Hasan Al Bashri, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan juga sahabat Nabi, seperti Muawiyah Radhiallahu ‘Anhu dan Mughirah bin Syu’bah Radhiallahu ‘Anhu, membolehkannya dengan nilainya, sebab yang menjadi prinsip adalah terpenuhi kebutuhan fakir miskin pada hari raya dan agar mereka tidak meminta-minta pada hari itu.
Sebagaimana hadits dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma:
فرض رسول الله صلى الله عليه و سلم زكاة الفطر وقال أغنوهم في هذا اليوم
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mewajibkan zakat fitri, beliau bersabda: “Penuhilah kebutuhan mereka pada hari ini.” (H.R. Ad Daruquthni, 2/152)
Dalam riwayat lain:
أَغْنُوهُمْ عَنْ طَوَافِ هَذَا الْيَوْمِ
Penuhilah kebutuhan mereka, jangan sampai mereka berkeliling [untuk minta-minta] pada hari ini. (H.R. Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 7528, Hadits ini didhaifkan oleh para ulama, seperti Imam Ibnu Hajar [Bulughul Maram No. 628, Mawqi’ Ruh Al Islam], Imam An Nawawi [Al Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 6/126], Syaikh Al Albani [Tamamul Minnah, Hal. 388])
Dari riwayat ini, bisa dipahami bahwa yang menjadi substansi adalah terpenuhinya kebutuhan mereka ketika hari raya dan jangan sampai mereka mengemis.
Pemenuhan kebutuhan itu bisa saja dilakukan dengan memberikan nilai dari kebutuhan pokoknya, atau juga dengan barangnya.
Apalagi untuk daerah pertanian, bisa jadi mereka lebih membutuhkan uang dibanding makanan pokok, mengingat daerah seperti itu biasanya tidak kekurangan makanan pokok.
Ini juga menjadi pendapat dari Imam Abul Hasan Al Mawardi Rahimahullah seorang ulam Syafi’iyyah:
وَالْإِغْنَاءُ قَدْ يَكُونُ بِدَفْعِ الْقِيمَةِ ، كَمَا يَكُونُ بِدَفْعِ الْأَصْل
Memenuhi kebutuhan dapat terjadi dengan membayarkan harganya, sama halnya dengan membayarkan yang asalnya. (Imam Abul Hasan Al Mawardi, Al Hawi fi Fiqh Asy Syafi’i, 3/179)
Imam Badruddin Al ‘Aini Rahimahullah, seorang imam dalam madzhab Hanafi mengatakan:
ثمَّ اعْلَم أَن الأَصْل فِي هَذَا الْبَاب أَن دفع الْقيمَة فِي الزَّكَاة جَائِز عندنَا، وَكَذَا فِي الْكَفَّارَة وَصدقَة الْفطر وَالْعشر وَالْخَرَاج وَالنّذر
Kemudian, ketahuilah pada dasarnya dalam masalah ini membayarkan harga dalam zakat adalah boleh menurut kami, begitu pula dalam membayar kaffarah, zakat fitri, al ‘asyr [kaffarat sumpah dengan memberikan makanan 10 orang faqir miskin, pen], pajak tanah, dan nadzar. (‘Umdatul Qari, 9/8)
Imam Al ‘Aini juga menyebutkan perkataan banyak ulama yang membolehkan seperti Sufyan Ats Tsauri, Asyhab, Ath Thurthusi, Ibnu Habib, Al Bukhari, dan beliau pun juga menyebutkan pihak yang melarang seperti Asy Syafi’i dan Malik, lalu akhirnya menguatkan pendapat kebolehan membayar zakat dengan uang sebagai pendapat yang lebih kuat. (Ibid)
Baca Juga: Waktu Menunaikan Zakat Fitrah menurut Empat Mazhab
Ini juga pendapat Al Hasan Al Bashri dan Umar bin Abdil Aziz. (Al Mughni, 3/65) Umar bin Abdul Aziz pernah mengirim surat kepada gubernur Bashrah agar mengambil zakat kepada pegawainya sebesar setengah dirham. (Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 3/174)
Al Hasan mengatakan: tidak apa-apa membayar zakat fitri dengan dirham. (Ibid) Abu Ishaq berkata: Aku melihat manusia menunaikan zakat di bulan Ramadhan dengan dirham yang senilai dengan makanan. (Ibid)
Dari ‘Atha katanya: dahulu zakat fitri dibayar dengan warq [uang perak], tapi dia tidak menyukainya. (Ibid) Imam Abur Rabi’ Sulaiman bin Abdil Qawwi mengatakan bahwa pendapat mereka tentang kebolehan bayar zakat dengan harganya merupakan pendapat yang sangat kuat. (Syarh Mukhtashar Ar Raudhah, 3/731)
Imam Zainuddin Abu Abdillah Ar Razi juga mengatakan kebolehan membayarkan harga dari zakat fitri, kaffarat, kharaj [pajak tanah], nadzar, sedangkan hadyu dan qurban tidak boleh. (Tuhfatul Muluk, 1/125)
Sebagian ulama kontemporer, seperti Syaikh Yusuf Al Qaradhawi Hafizhahullahu Ta’ala membolehkan dengan uang, jika memang itu lebih membawa maslahat dan lebih dibutuhkan oleh mustahiq, tapi jika tidak, maka tetaplah menggunakan makanan pokok. Ini juga pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, hanya saja beliau membicarakannya bukan dalam konteks zakat fitri tapi zakat peternakan, bolehnya dibayarkan dengan uang jika memang itu lebih membawa maslahat, jika tidak ada maslahat, maka tetap tidak boleh menggunakan uang (harganya).
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Rahimahullah, salah satu guru dari Syaikh Abdul Aziz bin Baaz, dia berkata:
وجوز ذلك أبو حنيفة رحمه الله، وإليه ميل البخاري في صحيحه، وشيخ الإسلام ابن تيمية، ولكن يشترط كون ذلك أنفع، واستدل البخاري وغيره على ذلك بأدلة قوية
Hal itu boleh menurut Abu Hanifah rahimahullah, dan ini menjadi kecenderungan pendapat Imam Al Bukhari dalam Shahih-nya, dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, tetapi dengan syarat bahwa hal itu lebih bermanfaat, dan dalam hal ini Imam Al Bukhari dan lainnya berdalil dengan dalil-dalil yang kuat. (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim, 4/30)
Maka, memperolok-olok pendapat “bolehnya zakat fitrah dengan harganya” (juga sebaliknya) adalah sikap tidak berakhlak dengan akhlak salaf, tidak menghormati pendapat ulama, sekaligus menunjukkan kedangkalan fiqihnya.
Karena para ulama mengatakan: “Barang siapa yang tidak tahu khilafiyah fiqih, maka orang tersebut belum mencium aroma fiqih.”
Meski bisa saja kita tidak menyetujui pendapat zakat fitri dengan uang ini, namun sangat tidak benar mencela para ulama yang mendukung pendapat ini; sebab mereka adalah para imam salaf, dan imam bagi kaum muslimin yang mesti dijaga kehormatannya. Memang, hanya orang besar yang mampu menghormati orang besar. Wallahu A’lam.
[jwt]