MEMPESANTRENKAN keluarga. “Abah akan masukkan kamu ke boarding, ke asrama,” mandat abah mantap.
“Abah akan masukkan kamu ke pesantren terbaik karena Abah cuma ingin melihat kamu sholeh nak, Abah gak punya apa-apa dan siapa-siapa lagi selain kamu dan kakakmu.”
“Kakakmu sudah gagal Abah didik, lari dan kabur dari pesantren dan sekarang cuma jadi seniman, sholat juga jarang-jarang. Cuma kamu satu-satunya harapan Abah..”
Abah menatap ke langit dan menghembuskan nafasnya perlahan lahan. Lalu sejenak Imran menatap Abah dengan wajah tegang, khawatir jantung Abah kambuh lagi.
Dalam hatinya, Imran merutuk kakaknya, Bang Irsyad yang berjarak tiga tahun di atasnya.
“Semua gara-gara abang, kalau abang berhasil di pesantren, aku enggak jadi korban, dasar pemalas..!” uups, Imran menepuk dahinya perlahan, menyadari bahwa dirinya juga pemalas karena terbukti berkali-kali Abah dan Emak dipanggil ke sekolah lantaran Imran raportnya merah melulu.
Padahal untuk Matematika dan Fisika, nilai-nilai Imran lumayan, hanya soal-soal yang berbau hafalan saja Imran tidak mampu, alias tidak mampu mengubah kemalasannya dalam menghafal, bukan tidak bisa.
Imran ingat, dulu waktu masih SD, Imran juara dan memenangkan lomba apa saja, disuruh apa saja mau.
“Semua itu dapat Imran lakukan lantaran pada saat itu belum ada keinginan. Berbeda halnya dengan sekarang, ketika sudah beranjak besar, Abah dan Emak banyak banget permintaannya, ingin Imran beginilah begitulah yang enggak puguh-puguh, bikin orang kesal..” Imran membahas sendiri dalam hati.
Ya, semua yang diinginkan Emak dan Abah bertentangan betul dengan maunya Imran.
Sebagai anak remaja yang ingin diakui kedewasaannya, Imran melihat bahwa Abah suka memaksakan kehendak dan Emak walau lebih lembut dari Abah, namun di balik senyum tulusnya, Emak sama juga kayak Abah, terlalu banyak berharap sama anak dan terlalu banyak maunya.
“Dunia kan tak selalu indah dan langit tak selalu cerah. Bah, tidaklah semua yang diinginkan orang tua pasti terlaksana,” Imran menyitir penggalan sebuah nasyid yang diingatnya sejak masih SD dulu.
baca juga: Ketika Anak Mengeluh tentang Pesantren
Mempesantrenkan Keluarga
Langkah gontai Imran mengiringi hatinya yang lesu ketika hari yang dinantikan Abah dan Emak sebagai sebuah hari untuk memulai hidup baru bagi anak keduanya itu untuk menjadikan dia sholeh atau istilah Emak “mengantarkan kamu ke gerbang kesholehan.”
Emak memang puitis dan romantis, maklum Emak sangat suka membaca novel-novel Islam yang bertebaran di mana-mana, mulai dari Sajadah Cinta, Senandung di Mihrab Cinta, sampai yang tersandung dalam karpet cinta.
Ah Emak, mengingat novel-novel Emak, Imran jadi tersenyum sendiri, ingat bagaimana nasi gosong dan akhirnya dibuat jadi rengginang karena emak asyik baca novel Habiburrahman dan memaksa Abah yang cuek untuk lebih bersikap romantis pada Emak.
Imran tiba-tiba tersenyum-senyum sendiri, membayangkan Emak dan Abahnya.
Namun senyum Imran ternyata disalahartikan Abah, yang kemudian berbisik pada emak, “kayaknya dia udah mulai ikhlas, mungkin dia sudah dapat hidayah,” dengan cepat Abah mengambil kesimpulan, melihat Imran mulai terenyuk setelah selama seminggu bersungut-sungut dan cemberut terus sejak mendengar dirinya setelah selesai ujian nasional SMP dengan nilai sedikit lumayan, akan dimasukkan ke pesantren.
“Kabarnya di sana enggak enak, makan seadanya, berebut kamar mandi, semua serba terbatas, internet juga enggak ada, mau menelepon susah, ada telepon umum namun gagangnya sudah pada copot, sekalinya ada yang lumayan bagus, antrinya panjang bener dan pas sampai gilirannya waktu sudah habis dan panggilan dari ketua asrama berkumandang terus mengingatkan santri bahwa kegiatan berikutnya telah tiba. Panteslah bang Irsyad kabur.”
Imran kembali cemberut dan spontan menendang batu di hadapannya. Alhamdulillah Abah tidak melihat, karena Abah tengah menghitung uang, berapa banyak yang akan disodorkannya pada ketua asrama nanti untuk sang ketua dalam membantu Abah agar mengingatkan Imran bangun lebih awal untuk merapikan kamar dan jangan sampai terlambat ikut program.
Yaah Abah ingin Imran tetap ada yang perhatikan, walau Abah dan Emak tidak ada.
Gedung berwarna krem cerah membuat Imran menjadi deg-degan. Suasana santri yang hilir mudik membuat hati Imran semakin tercekat.
Namun Imran pantang menangis. Di sisi kecil hati Imran mengakui bahwa Abah dan Emak memang betul, kesolehan harus diusahakan maka sudahlah ikuti saja arus, kalau enggak enak yaa keluar, demikian Imran menghibur diri sekaligus memberanikan dirinya untuk hidup dan tinggal dalam pesantren yang setelah beberapa waktu lamanya Imran sepakat dengan kawan-kawannya untuk menamakan pesantrennya adalah sebuah “penjara suci.”
Boarding school adalah boring school. Hidup terpenjara bagi anak remaja, memang hal yang paling membuat mereka ingin berontak cepat-cepat.
Sejuta rencana terhidang dan keinginan pulang dan pulang mendesak kuat, apalagi ditambah dengan bayangan cerita kawan-kawannya yang dapat diikuti dari facebook, dari internet yang memang diperbolehkan menggunakan fasilitas internet sesekali.
Di sana tidur sedikit, makan seadanya, berbagi dan berkongsi juga menjadikan diri mandiri, bisa nyuci baju sendiri dan menyiapkan kebutuhan sendiri.
Bagi anak-anak remaja yang memang senang eksplorasi, kegiatan pesantren yang begitu-begitu saja akan membuat mereka merasa terkekang, apalagi bagi remaja yang memilki sifat eksploratif tinggi, ingin berkreasi banyak dan ingin berbuat macam-macam, maka hari demi hari dihitung dengan seksama dan waktu liburan akan menjadi waktu yang dinantikan.
Ketika pulang, Emak dan Abah dengan bangga mengenalkan Imran pada khalayak dan kenalan terdekat, berharap banyak melihat penampilan Imran yang Islami dengan baju koko dan rapih, juga kesantuanan akhlak dan ibadah yang lebih terasa dibandingkan sebelumnya.
Emak berharap banyak dan meneteskan air mata melihat foto-foto Imran yang nampak sholeh dalam kegiatannya di pesantren.
Abah pun sedikit lega dan menghibur diri, “Alhamdulillah anakku masih ada dua, bila gagal satu (Abah berpikir gemas dan kesal, membayangkan anak sulungnya yang gagal menjadi orang sholeh dalam versi abah) masih ada satunya lagi.
Namun kelegaan Abah dan Emak tidak berumur panjang, keluhan demi keluhan, surat demi surat datang dari sekolah yang mengabarkan Imran kabur dari pesantren dan ditemukan ada di kebun sebelah yang sedang asyik menghisap rokok bersama 3 kawannya yang juga terkenal malas dan sering mendapat hukuman dari pihak asrama.
Selain itu juga, prestasi akademik Imran yang cenderung kedua dari bawah. Abah hanya diam saja, kekecewaan tergambar jelas di raut wajahnya.
Abah hanya bisa menahan marah dan meluapkannya secara teratur dan bersinambungan ketika akhirnya Imran pulang ke rumah.
Bagi Imran kemarahan Abah adalah betul isinya namun salah caranya, karena membuat Imran menjadi semakin benci dengan keadaan dirinya yang terperangkap dalam sebuah situasi.
Antara tahu dan yakin bahwa apa yang diinginkan orangtuanya dan apa yang diajarkan pesantren betul dan memang harus begitu, namun dilema karena Imran merasa dirinya adalah anak muda, masih remaja yang harus banyak melakukan berabagai aktivitas dan bebas menikmati dunia, mengarungi samudera kehidupan tanpa terperangkap dalam penjara suci.
Harapan dan kemarahan menjadi satu dalam rumah tangga. Abah Emak hanya bisa pasrah, ternyata kesolehan seorang anak tidak mudah didapat.
Emak dan Abah lupa bahwa hidayah itu hanya Allah yang punya sesuai dengan firman Allah dalam Al Quran yaitu,
Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk. (QS: Al Qashash: 56)
Ayat ini jelas menegaskan bahwa tidak jaminan bila kita menyerahkan anak kita pada sebuah pesantren maka anak-anak pasti akan keluar menjadi anak yang sholeh.
Menyolehkan anak layaknya seperti seorang pemahat. Siapa yang memahat patung dengan detail dan hati-hati, sabar dan terus menerus atau konsisten sampai akhirnya patungnya itu jadi sesuai dengan bentuk yang diinginkan.
Dan untuk urusan menyolehkan anak, Emak dan Abah tidak bisa menyerahkan kepada orang lain.
Tidak bisa kita inginkan sebuah patung yang cantik yang indah sesuai dengan impian kita namun untuk memahatnya kita serahkan kepada orang lain.
Seharusnya kita sendiri yang memahat dan membentuknya sesuai dengan detai-detail dan bentuk-bentuk yang diinginkan.
Bila diserahkan kepada pemahat lain, maka jadinya yaa biasa saja, bahkan bisa jadi tidak sesuai dengan apa yang diinginkan.
Kita tidak bisa hanya menatap dengan menangis dan berdoa saja di sebelah pemahat dan berharap bahwa sang patung akan menjadi bagus hanya dengan bantuan doa dan airmata.
Emak dan Abah bangkitlah, mari membuat pesantren di rumah sendiri dengan berbagai peraturan yang dimulai dari sejak anak usia dini, tidak usah mengandalkan orang lain.
Bentuklah sebuah lingkungan santri di rumah sendiri karena keinginan Imran adalah kedekatan dengan Abah dan Emak di dalam rumah suci, bukan penjara suci.
Mempesantrenkan keluarga: Abah menjadi kyainya dan Emak menjadi ketua asramanya dan akan lebih bagus kalau abang bisa jadi gurunya.
Kalau gurunya tidak cukup, bisa panggil guru dari luar dan santrinya adalah anak-anak, Emak serta Abah.
Dimulai dari ritual dini hari yaitu sholat malam bersama, berdzikir sebelum subuh, sholat ke masjid berjamaah, membaca Al Matsurat bersama, juga diikuti tilawah dan mengahafal sebaris dua baris ayat Al Qur’an.
Abah menjadi ustaz yang memberikan kultum singkat dan tadabur ringan namun berbobot (siapkan dulu ya, Bah dan buat listnya kalau perlu, tadabur hari ini apa besok apa, ayatnya yang mana saja, konteks dengan kisah keseharian seperti apa, dan Abah harus rajin membaca, paling kurang majalah Sabili).
Peraturan, ketauladanan, acara-acara rutin di sebuah pesantren bisa juga ditiru di rumah.
Biarkan anak melihat dan bahagia di dalam rumah yang sakinah sebagai rumah suci.
Kesholehan tidak mesti didapat dari tempat lain bila bisa didapat dari dalam keluarga dan jika di dapat di dalam rumah, mengapa harus mencari keluar rumah.
Bukankah orang tua kelak yang akan diminta pertanggungjawaban atas pendidikan anak-anaknya, bukannya sang guru atau sang ustaz di sekolah.
Sejenak teringat sebuah doa: “Ya Allah ampuni dosa-dosaku dan orangtuaku yang sejak masih kecil merawat aku.”
Doa ini jangan sampai berubah menjadi “ampunkan guru-guru dan kiyai-kiyaiku serta petugas asrama dan tukang masak di kantin yang telah memelihara dan menjaga aku sejak aku masih kecil. Wallahu’alam.
Ketika aku menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa pendidikan di rumah adalah yang terbaik dan ketauladan orang tua merupakan keniscayaan di mana kesholehan harus diusahakan dari dalam rumah dengan tidak mengandalkan pada orang lain.
Dan akhirnya surat Huud yang satu ini yaitu Huud ayat 123 yang berbunyi,
Dan kepunyaan Allah-lah apa yang ghaib di langit dan di bumi dan kepada-Nya-lah dikembalikan urusan-urusan semuanya, Maka sembahlah Dia, dan bertawakkallah kepada-Nyadan sekali-kali Tuhanmu tidak lalai dari apa yang kamu kerjakan. (QS:Huud:123)
Ayat ini membantu sekali dalam kita memantapkan sikap ke depan yaitu bahwa Allah tidak akan lalai daripada semua yang kita kerjakan, Wallahu’alam.
(Catatan Mam Fifi, 2015).
By: Fifi P. Jubilea (S.E., S.Pd., M.Sc., Ph.D – Oklahoma, USA).
Owner and Founder of Jakarta Islamic School (Jakarta fullday); Kalimalang, Joglo, Depok.
Owner and Founder of Jakarta Islamic Boys Boarding School – Megamendung
Owner and Founder of Jakarta Islamic Girls Boarding School – Mega cerah
Next;
Owner and Founder of Jubilea Islamic College (2023) – Purwadadi Subang – setara SMP dan SMU. Boys and girls.
Owner and Founder of Jubilea University (2024) – Purwadadi and Malaka
Founder and Owner of Jakarta Islamic School, Jakarta Islamic Boys Boarding School (JIBBS), Jakarta Islamic Girls Boarding School (JIGSc)
Visit: //www.facebook.com/fifi.jubilea
Jakarta Islamic School (JISc/JIBBS/JIGSc): Sekolah sirah, sekolah sunnah, sekolah thinking skills (tafakur), sekolah dzikir dan sekolah Al-Qur’an, School for leaders
For online registration, visit our website:
𝗵𝘁𝘁𝗽𝘀://𝘄𝘄𝘄.𝗷𝗮𝗸𝗮𝗿𝘁𝗮𝗶𝘀𝗹𝗮𝗺𝗶𝗰𝘀𝗰𝗵𝗼𝗼𝗹.𝗰𝗼𝗺/
Further Information:
0811-1277-155 (Ms. Indah; Fullday)
0899-9911-723 (Mr. Mubarok; Boarding)
Website:
https://ChanelMuslim.com/jendelahati
https://www.jakartaislamicschool.com/category/principal-article/
Facebook Fanpage:
https://www.facebook.com/jisc.jibbs.10
https://www.facebook.com/Jakarta.Islamic.Boys.Boarding.School
Instagram:
www.instagram.com/fifi.jubilea
Twitter:
https://twitter.com/JIScnJIBBs
Tiktok:
https://www.tiktok.com/@mamfifi_jisc