BERISIK itu sesuatu yang tidak nyaman. Jika berisiknya datang dari tetangga, sikapi dengan baik agar tidak membuat berisik baru.
Alkisah, ada seorang ibu yang rungsing dengan tetangganya. Tetangganya biasa menyalakan musik dengan suara keras.
Sang tetangga mungkin akan terasa nyaman dengan suara keras itu. Tapi buat si ibu dan keluarganya, suara berisik musik seperti bikin telinga mau ‘pecah’.
Si ibu bingung mau seperti apa. Awalnya ia mencoba untuk bersabar tidak bereaksi. Tapi, sang tetangga mengulanginya di hari esok, esok, dan seterusnya.
Karena terbawa kesal, sang ibu tidak berpikir jernih. Ia ingat kalau suaminya pengurus masjid di lingkungan rumahnya. Dari situlah sang ibu kepikiran untuk minta bantuan suaminya meminjam toa masjid.
Buat apa? Toa itu akan dimanfaatkan sang ibu untuk menyampaikan nasihat kepada para tetangga agar tidak berisik dengan menyalakan musik.
Sang suami mengingatkan agar tidak menyebut nama. “Ya, saya tidak akan menyebut nama. Saya akan nasihati semua tetangga di sekitar masjid,” tegas sang ibu.
Beberapa waktu kemudian, terdengarlah suara seorang ibu dari toa masjid: “Ibu-ibu sekalian. Para tetangga yang kami muliakan. Melalui masjid ini saya sampaikan untuk selalu menghormati hak tetangga kita. Antara lain, jangan menyalakan musik dengan berisik!”
Suara nasihat yang tidak biasa itu tentu saja bikin warga bingung. Tentang suara siapa yang bicara, mereka paham. Tapi, tentang isinya itu yang mereka kurang paham. Siapa yang dimaksud di nasihat itu?
Para warga pun saling ngerumpi. “Siapa sih tetangga yang berisik itu? Iya, ya. Siapa sih? Kok tega sekali ya?”
Tentu saja, rumpian ‘panas’ itu sampai ke telinga sang tetangga yang menyalakan musik dengan berisik. Ia bereaksi kaget dan bingung, “Ya ampun, kok jadi heboh begitu? Kenapa nggak tegur langsung ke saya?”
Masih bagus sang tetangga tidak melakukan hal yang sama. Apa jadinya jika ia juga meminjam toa masjid untuk menyampaikan klarifikasi. Tentu heboh berisiknya bukan lagi sekadar tentang musik.
**
Lagi-lagi tentang komunikasi. Jika yang dituju untuk satu atau segelintir orang, rasanya tak perlu menggunakan sarana untuk orang banyak.
Kalau yang dituju orangnya dekat, rasanya tak perlu harus berteriak-teriak. Karena dengan berbisik pun pesan akan sampai.
Komunikasi itu untuk saling menyampaikan pesan. Bukan untuk menyalurkan emosi. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Meskipun terhadap orang yang kurang disukai. [Mh]