UNTUK kesekian kalinya, umat Islam di Indonesia merayakan Idul Adha dalam tanggal yang berbeda. Sama-sama tanggal 10 Zulhijjah, tapi di hari yang berbeda.
Umat Islam Indonesia merayakan Hari Raya Idul Adha dalam hari yang berbeda. Sama-sama di tanggal 10 Zulhijjah, tapi harinya berbeda: Sabtu dan Ahad.
Dua ormas besar Islam memiliki perhitungan tersendiri. Muhammadiyah menentukannya pada Sabtu kemarin. Sementara Nahdhatul Ulama dan pemerintah menyepakatinya pada Ahad.
Sungguh pun dalam dua hari yang berbeda, perayaan Idul Adha tetap semarak di berbagai daerah. Tak ada gesekan meski berbeda.
Hal ini menunjukan untuk kesekian kalinya tentang kematangan umat Islam di negeri ini. Suatu keadaan yang mungkin tidak begitu di negeri lain.
Pemahaman umat di negeri ini bukan sekadar pada teoritis. Tapi juga menyatu dalam kenyataan amal di kehidupan nyata.
Keputusan Idul Adha pada Sabtu dan Ahad merupakan dua ijtihad dengan hasil berbeda. Umat Islam sangat memahami bahwa hasil ijtihad tidak bisa dikalahkan dengan ijtihad yang hasilnya berbeda. Itu merupakan kaidah fikih yang sudah dipahami bersama.
Yang ada adalah saling menghormati dan menghargai. Yang ingin merayakan pada Sabtu dipersilakan, begitu pun yang di Ahad ini.
Masing-masing punya hujjah yang kuat. Dan, sudah bukan waktunya lagi untuk mengadu hujjah yang dilatarbelakangi oleh ego kelompok.
Dalam pengalaman menyepakati dua keputusan yang berbeda ini, rasanya umat Islam Indonesia yang paling bijak. Meskipun, para pengikut dari dua hasil ijtihad itu bukan dalam jumlah kecil. Melainkan, puluhan bahkan ratusan juta orang.
Kalau saja dinamika ini terjadi di Arab Saudi, rasanya sulit membayangkan apa yang akan terjadi. Tentu ini tidak bermaksud untuk mengecilkan negeri muslim mana pun.
Pemahaman dan kedewasaan dalam berbeda inilah yang menjaga ratusan juta umat Islam di negeri ini selalu bersatu dalam perbedaan.
Inilah di antara makna pengorbanan dalam sisi lain. Yaitu, pengorbanan ego kelompok demi persatuan dan kemaslahatan bersama. [Mh]