ChanelMuslim.com – Ibu di Hari Ibu
Ada seorang ibu dengan sepuluh putri. Walau dengan kesibukan sebagai seorang guru sekolah menengah, kewajibannya sebagai istri dan ibu tetap prima. Jadwal itu bergulir keras sejak waktu Subuh hingga menjelang malam.
Kesibukan dimulai dengan menyiapkan sarapan. Kadang juga direncanakan untuk makan siang. Ia mondar-mandir dari dapur ke kamar putri-putrinya, dibangunkan untuk mandi dan shalat.
Kesibukan pun berlanjut di meja makan. Ia tanyakan satu per satu keperluan sekolah anak-anaknya: jangan lupa bawa ini dan itu, jangan lupa PR, ada ulangan apa tidak, dan seterusnya. Khusus untuk si bungsu, ucapan saja tidak cukup. Harus dicontohkan, bahkan diambil alih.
Baca Juga: Memaknai Hari Ibu (Bag. 1): Menjadi Ibu Sepanjang Waktu
Ibu di Hari Ibu
Soal keberangkatan ke sekolah, ia serahkan ke suaminya. Ia tak mau mengamati terlalu teknis karena ia sendiri sudah harus siap-siap berangkat mengajar. Soal kesiapan mengajar, sudah ia lakukan sejak malam. Ia tidak akan tidur sebelum persiapan itu rampung semua.
Semua rutinitas super ketat itu ia lakukan bukan bilangan tahun. Tapi puluhan tahun. Hingga, satu per satu putrinya menjadi sarjana. Ada yang selanjutnya bekerja, ada juga yang menikah dan kemudian dibawa sang suami.
Dari puluhan tahun itu, dari sepuluh variabel sibuk tentang putri-putrinya, semua ia lakukan sendiri tanpa bantuan pembantu atau asisten rumah tangga. Tidak heran, ia kerap salah menyebut nama putrinya karena tertukar memori. Terutama di saat jam sibuk seperti di pagi hari.
Jangan ditanya soal ketika mereka masih bayi, batita, balita, dan usia anak SD. Karena di saat bersamaan, semua level itu ada di putri-putrinya. Sepuluh putri berarti sepuluh kesibukan yang berbeda. Berarti pula, sepuluh perasaan, dan sepuluh dinamika.
Syukurnya, ia memiliki suami yang penyabar. Termasuk mau diperlakukan seperti pembantu: menyapu rumah, mencuci baju, cuci piring, dan urusan luar rumah. Semua dilakukan suaminya di sela-sela kesibukan sebagai pedagang.
Kalau ditanya kenapa tidak memakai pembantu, urusannya bukan cuma persoalan biaya. Tapi juga, soal keutuhan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Ia ingin anaknya belajar penuh dari dirinya. Ia ingin anaknya mencontoh penuh dari dirinya. Dan ia ingin anak-anaknya mengungkapkan rahasia hanya pada dirinya.
Pendek kata, ia ingin menjadi ibu untuk anak-anaknya. Sekaligus, menjadi guru dan panutan dalam rumahnya sendiri.
Kini, semua kesibukan super sibuk itu sudah hampir berakhir. Satu per satu, putrinya menikah dan pergi bersama suami. Hanya si bungsu yang masih tinggal di rumah. Itu pun sedang menanti hari tanggal pernikahannya.
Sesekali, kenangan super sibuk itu datang lagi. Di saat, sang cucu mendatanginya saat hari libur. Tapi, suasana itu tidak bisa disamakan dengan masa dahulu. Semakin banyak kesibukan dari cucu, semakin ia menemukan kebahagiaan.
Ia tidak tahu kenapa. Boleh jadi, karena kehadiran cucu-cucunya tidak untuk setiap hari seperti saat ia melayani sepuluh putrinya. Ya, tidak sepekan sekali, kadang hanya beberapa kali dalam sebulan.
Kenangannya juga masih kuat ketika suaminya pernah tidak mendapatkan penghasilan dalam bilangan bulan bahkan tahun. Saat itulah, ia seolah seperti memiliki kesibukan multi ganda. Sebagai istri, ibu, guru, dan juga pencari uang untuk keluarga.
Di satu sisi, ia boleh jadi sebagai salah satu wanita super sibuk di dunia. Sekaligus, wanita “paling menderita” untuk masa tugas bertahun-tahun lamanya. Tapi di sisi lain, dialah wanita paling bahagia. Setidaknya, di akhir masa tuanya. Dan di masa akhiratnya saat bertemu Allah subhanahu wata’ala.
Karena semua putrinya itu bukan sekadar menjadi sarjana. Melainkan juga sebagai wanita shalihah yang menjadi cahaya untuk rumah tangga mereka. Sebagian kesepuluh putrinya itu pun menjadi seperti ibunya sebagai guru dan ustazah untuk lingkungannya.
Hari ibu, memang bukan sekadar hari raya yang menjadi sepatutnya hanya untuk setahun sekali. Hari ibu adalah pengingat agar anak-anak menyadari bahwa ia pernah punya ibu. Pernah punya sosok yang begitu berat, lahir dan batin, menghidupi dan membesarkannya, tanpa imbalan sedikit pun.
Terima kasih ibu. Jasamu bukan sekadar menjadikanku seperti saat ini. Melainkan juga, menyiapkanku untuk menjadi ibu sepertimu. (Mh)