ETIKA menjadi diskusi utama di masyarakat kita akhir-akhir ini. Sayangnya, tidak semua pihak menilai bahwa etika bukan persoalan biasa.
Sejumlah universitas di tanah air menyuarakan tentang etika. Khususnya etika politik dan demokrasi. Mereka menilai bahwa etika tersebut saat ini mengalami kemerosotan.
Di sudut yang berbeda, dua pengadilan juga telah memvonis tentang pelanggaran etika berat. Yaitu, pengadilan di Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Mungkin, tidak semua masyarakat luas memahami nilai dari kasus etika ini. Dan dalih yang berseberangan dari para pihak yang tergugat selalu menyebut bahwa hal itu tidak melanggar hukum.
Padahal, etika ada di atas hukum. Ketika etika dijunjung tinggi oleh semua anak bangsa, maka pasal-pasal dalam hukum dirasa tak diperlukan lagi.
Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Indonesia sudah terbiasa dengan etika. Etika antar kehidupan di masyarakat, etika berbisnis, etika pergaulan, etika terhadap bangsa dan negara, dan lainnya.
Contoh, tak ada pengunjung mal pria yang datang dengan bercelana saja, tanpa baju. Meskipun kalau itu dilakukan, si pelaku bisa saja mengatakan, “Apa ada hukum yang saya langar?” Karena di mal itu tak tertulis aturan ‘dilarang masuk tanpa mengenakan baju’.
Contoh lain, tak ada di masyarakat yang buang air kecil di pintu gerbang rumah orang lain. Meskipun kalau itu dilakukan, si pelaku juga bisa mengatakan, “Apa ada hukum yang saya langgar?” Karena di pintu gerbang rumah itu, tak tertulis aturan ‘dilarang kencing di sini’.
Bayangkan jika kehidupan tak lagi memperdulikan etika, maka akan dibutuhkan begitu banyak peraturan sehingga tak terjadi kekacauan.
Dalam Islam, etika juga disebut sebagai bagian dari istilah ‘al ma’ruf’. Secara bahasa, istilah ini berarti yang sudah dikenal. Yaitu, sesuatu yang sudah dikenal secara mendasar oleh semua orang. Siapa pun orang itu.
Contoh, berbuat baik pada orang tua, berbuat baik kepada tetangga, berbuat baik kepada kaum miskin dan yatim, kejujuran, amanah,, persatuan dan persaudaraan, dan lainnya. Agama apa pun, suku dan etnis apa pun, akan mengakui nilai al ma’ruf itu.
Lawan dari al ma’ruf adalah al munkar. Yaitu, kejahatan atau keburukan yang juga tidak disukai semua orang. Siapa pun mereka.
Dua pihak yang selama ini selalu terdepan dalam mengawal nilai etika. Yaitu, ulama atau tokoh agama dan para pendidik. Jika keduanya sudah membunyikan alarm bahaya, maka potensi kekacauan di masyarakat bisa saja akan terjadi.
Semoga bangsa ini selalu dalam keseriusan memperhatikan nilai etika. Jika tidak, kekacauan hanya akan tinggal tunggu momentum. Na’udzubillah. [Mh]