REVOLUSI Nuzulul Quran merupakan bagian dari serial Tazkiyatun Nafs yang ditulis Djoko P. Abdullah.
Dengan ilmu hidup menjadi mudah. Dengan Agama hidup menjadi terarah. Dengan seni hidup menjadi indah.
Minat membaca buku di Indonesia terperosok pada angka mengenaskan, yakni 60 dari 61 negara. Artinya, aktivitas literasi di Indonesia berada dalam kondisi emergency. Semua orang barangkali tidak menampik bahwa aktivitas literasi mendeterminasi orang dalam memahami sesuatu.
Aktivitas literasi yang buruk tersebut diiringi dengan ketidakadilan sosial-ekonomi yang masif. Hampir dapat dipastikan, kita sering menyaksikan perampasan ruang hidup rakyat. Aparat yang represif dan brutal dalam bertugas, pelecehan seksual tanpa pandang busana dan usia, serta pejabat negara yang menetapkan kebijakan dengan sewenang-wenang dan curang.
Sama-sama kita paham bahwa Wahyu yang pertama kali turun adalah perintah membaca. Perintah membaca tersebut kemudian dikaitkan dengan ayat-ayat selanjutnya yang menerangkan bahwa bahan dan proses penciptaan manusia begitu mengagumkan.
Hal ini bertentangan dengan teori Darwin yang meyakini bahwa karakter asli manusia itu egoistik dan individualistik karena manusia berasal dari primata-primata ratusan tahun yang lalu yang saling cakar-mencakar untuk mempertahankan hidup (survival of the fittest) .
Dengan demikian, karakter egoistik dan individualistik yang kini merajalela di mana-mana bukan dari bahan dasar manusia, melainkan hasil konstruksi struktur sosial bernama kapitalisme.
Baca juga: Nuzulul Qur’an dan Lailatul Qadar
Revolusi Nuzulul Quran
Jadi, spirit Iqra harus diaktualisasikan sebagai risalah untuk membaca dan kemudian bergerak melawan dan mendobrak sistem yang destruktif tersebut demi terwujudnya peradaban yang menjunjung tinggi nilai kamanusiaan.
Tema pokok sentral lain dari Al-Qur’an yang sangat penting adalah konsep tazkiyatunnufus (pensucian hati).
Tazkiytunnufus tentu tidak hanya sebatas pada persoalan batiniah belaka. Lebih jauh lagi, tazkiyatunnufus juga cara untuk mensucikan berbagai anggota tubuh kita seperti tangan, kaki, mata, telinga dan lainnya.
Apa jadinya jika kita bercermin di cermin yang retak? Imam Ghazali menggambarkan orang yang kotor jiwanya seperti orang yang bercermin di cermin yang retak. Obyek wajah di cermin itu tidak beraturan. Bibir tidak simetris. Hidung tidak jelas. Mata terlihat berantakan.
Orang yang jiwanya kotor, maka memandang sesuatu yang baik menjadi buruk. Celakanya ada intervensi syaitan di sana. Syaitan secara khusus, ada yang bekerja mengambil startegi merusak jiwa, sebagai pusat sistem manusia yang bernama qalbu (hati).
Ketika Nabi SAW berpesan “Istafti qalbak”, (mintalah fatwa pada hatimu). Kebaikan adalah sesuatu yang membuat jiwa dan hati tenang dan keburukan adalah sesuatu yang membuat jiwa gelisah dan hati bimbang. Di sini hati menjadi tempat bertanya manusia kalau harus memutuskan sesuatu yang penting. Selain merupakan cahaya batiniah, inspirasi, kreativitas. Hati juga bisa mengetahui apa yang diinginkan oleh sesuatu yang rasional.
Di manakah hati berada? Biasanya orang menjawab terdapat di dalam dada. Jawaban seperti ini tidaklah salah. Sebab menurut seorang sufi modern Inayat Khan, ada pusat saraf di dalam dada manusia yang demikian sensi terhadap berbagai perasaan, sehingga selalu diasumsikan sebagai hati. Bilamana seseorang merasakan kenikmatan, sesungguhnya itu berada di pusat saraf tersebut. Dia merasakan sesuatu bersinar dalam dadanya, dan melalui pusat cahaya itu seluruh wujudnya tampak bersinar; dia merasa seperti sedang terbang. Pun kalau seorang sedang dilanda depresi atau frustasi, perasaan tersebut mempengaruhi pusat saraf tersebut. Dadanya terasa sempit dan sesak, seperti tertindih batu besar.
Namun hakikatnya kita tidak tahu di mana hati itu berada, karena ia bersifat ruhani. Ia adalah titik tengah antarq nafsu dan ruh. Imam Al- Ghazali menyebut hati sebagai lathifah rabbaniyah ruhaniyah sesuatu yang super lembut yang berasal dari Tuhan dan bersifat ruhaniyah.
Ingat tamasya da’iyah tidak definit dengan mobil, kereta atau pesawat. Sebab kendaraannya yang hakiki adalah; hati yang semarak dengan iman, tsiqah terhadap janji Allah, harapan pertolongan-Nya serta cinta tak bertepi dalam beramal untuk dakwah.
Alangkah butuhnya para da’i memilikinya kondisi hati seperti ini.
Masyarakat Arab yang dikenal keras kepala, kasar, dan sulit berubah ternyata bisa luluh dan bergetar hatinya ketika.menyimak kebenaran dan keindahan Al-Qur’an. Semula mayoritas masyarakat menolak. Namun perlahan tapi pasti dengan ketulusan dan kelembutan hati Rasullah SAW, pesan moral itu menyentuh hati mereka.
Mengapa masyarakat kemudian berubah dari kesyirikan menjadi tauhid. Dari masyarakat biadab menjadi beradab. Apa yang menjadi faktor pemicu dan pemacu transformasi mereka? Jawabannya satu: Nuzul Al-Quran.
Romould Landau, perwira Dinas Luar Negeri sekaligus penulis spesialis pada budaya Arab dan Islam mengatakan dan telah menunjukkan betapa besar utang Eropa kepada penemuan kaum muslimin. Menurut pandangannya, telah menjadi tradisi orang mengatakan bahwa agama merupakan penghambat kemajuan dan perkembangan sains. Keberhasilan ilmiah orang Arab memperlihatkan tidak demikian halnya. Apa yang sering menghambat ilmu pengatahuan di Barat bukanlah agama. Tetapi penafsiran sempit yang dogmatis dan doktriner mengenai kebenaran agama oleh penguasa gereja yang konservatif. Penghukuman Galileo, seorang filsuf dan ilmuwan terkemuka, atau pembakaran hidup- hidup terhadap para ilmuwan, adalah contoh yang tak terbantahkan. Kebanyakan penemuan matematika orang Arab diperoleh bukan tanpa argumen agama, tetapi justru karena faktor yang satu itu. Agama adalah pendorong ilmuwan Arab untuk tidak membatasi pada suatu bidang saja. (The Arab Heritage of Western Civilization).