ChanelMuslim.com – Terjebak dengan persepsi ini ditulis oleh Linda A. Zaini, penulis buku Parenting Langit. Semoga bermanfaat bagi para siapapun yang ingin memperbaiki diri.
Suatu hari, ada seorang anak kecil tengah bermain di teras rumahnya. Tanpa berkata, sang ibu menutup pintu rumah dari dalam. Anaknya seketika menangis kencang, ibunya kebingungan.
Lalu sang ibu membuka pintunya lagi dan keluar rumah untuk meraih sang anak, anaknya digendong seketika. Ibunya bertanya apa yang menjadi sebab sang anak menangis.
“Ibu kenapa tutup pintunya, Ibu enggak sayang lagi sama kakak?” ujar sang anak menangis sesenggukan.
Ibunya mengatakan bahwa dirinya menutup pintu sebab khawatir ada hewan yang masuk ke rumah, sebab sang ibu sedang membersihkan rumahnya.
Memang seyogyanya, sang ibu melakukan komunikasi terlebih dahulu kepada anaknya, agar sang anak tidak bersedih.
Kisah lain misalnya, ada suami istri yang sedang “marahan” lalu istrinya ingin mengatakan bahwa dia sedang rindu kepada suaminya.
Akan tetapi, ia mengurungkan niatnya untuk mengatakan kepada sang suami, sebab persepsinya mengatakan bahwa “ah… dia sedang tidak rindu…”.
Akhirnya, menjadi sakitlah hatinya padahal sebab persepsinya sendiri. Padahal, sang suami tengah merasakan hal yang sama, tetapi suami pun terjebak dengan persepsinya sendiri.
“Ah… paling dia sedang sibuk sendiri tidak memikirkan diriku…,” akhirnya keduanya terjebak dengan persepsinya masing-masing.
Baca Juga: Persepsi Muslimah, Politik dan Dakwah
Terjebak dengan Persepsi
Melalui kisah di atas, saya ingin mengajak pembaca bilamana kita sedang berada pada posisi sang anak, posisi dari salah satu sosok suami atau istri di atas, sebab kejadian yang tidak pasti hampir sering menghampiri.
Kita tidak punya kuasa untuk mengelola, mengatur apa yang terjadi di luar kita. Maka mengelola diri adalah sebuah keniscayaan.
Dalam kejadian ibu dan anak di atas, betapa sering kita mendapati situasi yang demikian, mendapati sikap dan perilaku orang lain yang terkadang mengejutkan bahkan di luar harapan.
Lalu, seringnya diri merasa tersakiti. Atau sakit yang diciptakan sendiri, semisal persepsi suami atau persepsi sang istri.
Ada nasihat yang dikatakan oleh guru saya sebagai berikut.
“Kita sendirilah yang menerjemahkan perilaku orang lain sehingga membuat persepsi kita menyimpulkan bahwa sikap dan kata-kata orang itu telah melukai kita. Jadi sebetulnya, yang telah melukai kita adalah pikiran kita sendiri, persepsi kita sendiri, bukan orang lain, kita yang telah mengizinkan pikiran-pikiran “liar” itu masuk, hingga akhirnya menyakiti diri sendiri.”
Saya jadi teringat bagaimana kisah Umar bin Abdul Aziz yang sangat populer berikut ini;
Suatu ketika, Umar bin Abdul Aziz masuk masjid, beliau tak sengaja menyenggol seorang laki-laki yang sedang tidur di dalam masjid.
Orang itu terbangun dengan keadaan marah dan berkata; “Apakah kamu gila?!”
Umar pun menjawab; “Tidak.”
Pembantu Khalifah heran dengan reaksi Umar bin Abdul Aziz, sang pengawal hampir saja memukul orang itu, namun Umar bin Abdul Aziz melarangnya.
Pengawal berkata, “Laki-laki itu mengatakan hal itu padamu, padahal engkau adalah seorang Amirul Mukminin.”
Umar menjawab, “Dia hanya bertanya apakah aku gila, lalu kujawab saja; Tidak, aku tidak gila.” Selesai.
Lihat, selain sebab karena beliau amat elok akhlaknya, terjaga dan mempunyai sifat Al hilm, penulis belajar dari kisah beliau bahwa betapa pandainya dalam menangkis bisikan seketika, beliau melokalisasi kejadian, tidak membiarkan menjadi “liar” ke mana-mana, persepsi dan hatinya terjaga.
Hati tidak menjadi sakit sebab persepsi diri sendiri, persoalan menjadi selesai seketika. MasyaAllah.
Teringat pula nasihat ulama yang mengatakan bila ada yang mencaci: “Kamu monyet…” karena kita bukan monyet, cukup jawab saja; “Bukan, saya bukan monyet…”
Lalu yang mengata-ngatainya pun bahkan bisa ikut tertawa, hilanglah bisikan syaiton yang suka membuat manusia terpecah-belah.
Sikap ini perlu kita latih, agar menjadi terbiasa. Pada awalnya, kita harus segera menangkis potensi persepsi yang “liar”, kemudian insyaAllah akan mudah dalam memberikan udzur kepada sesama.
Jangan berkecil hati bila sikap spontan kita belum bisa melakukan itu. Ulama mengatakan bahwa untuk mencapai pada kondisi terbaiknya, manusia hendaknya terus melatih dirinya.
Berlatih untuk memiliki sifat sabar, tidak mudah emosi, tidak mudah menyimpulkan.
Hendaknya manusia terus berlatih untuk tidak terjebak dalam persepsi “liar” tentang orang lain yang diterjemahkan oleh dirinya sendiri, yang berpotensi menyakiti hatinya sendiri.
Tangkis seketika, jangan membiarkan hingga menyebabkan menjadi sakitlah diri.
“Sifat al hilm (tenang; bisa mengendalikan diri) didapatkan dengan at tahallum (melatih diri agar hilm).“
(HR. Al Bukhari)
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin menjelaskan bahwa akhlak mulia pada diri manusia itu ada dua macam, yaitu Thabi’ah (bawaan lahir) dan Muktasab (perlu diusahakan).
Penulis pun sedang terus melatih dirinya (riyadhoh). Salam.[ind]