ChanelMuslim.com- Tak banyak warga Tionghoa di Indonesia yang hijrah menjadi muslim. Terlebih, mereka yang berasal dari kalangan pengusaha kelas atas. Jusuf Hamka mungkin di antara pengecualian itu.
Terlahir dari keluarga Tionghoa non muslim, Jusuf Hamka bertekad untuk hijrah sebagai muslim. Peristiwa itu terjadi di tahun 1981. Ia mendatangi Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran Baru Jakarta untuk menyatakan diri sebagai muslim.
Seorang takmir masjid akhirnya mempertemukannya dengan seorang tokoh Islam. Waktu itu, Jusuf yang baru berusia 23 tahun tidak kenal sang tokoh. Yang ia tahu, ia dipertemukan dengan pimpinan Masjid Al-Azhar yang usianya sudah lanjut.
Belakangan, pemuda yang bernama asli Alun Josef ini akhirnya tahu nama asli orang tua yang mengislamkannya sekaligus membimbingnya tentang dasar-dasar Islam. Ia bernama Haji Abdul Malik Karim Amarullah atau biasa dipanggil Buya Hamka.
[gambar1]
Hal itu ia tahu secara tidak sengaja, setelah ia saksikan di media televisi kalau sang tokoh menjadi sorotan publik. Ya, saat itu, Buya Hamka menjadi sorotan lantaran bersitegang dengan penguasa Orde Baru, Presiden Soeharto, soal fatwa beliau tentang natalan bersama. Dan Jusuf pun baru menyadari kalau sang tokoh juga seorang Ketua Majelis Ulama Indonesia.
Banyak hal yang diajarkan Buya Hamka kepada Jusuf. Selain mengganti namanya menjadi Muhammad Yusuf yang kemudian ditambahkan kata Hamka karena diangkat sebagai anak, ada nasihat yang begitu berbekas dari komisaris berbagai perusahaan besar ini.
Saat itu, Buya Hamka kira-kira menyampaikan, “Harta yang kita miliki kelak hanya akan menjadi kotoran atau rebutan ahli waris. Dan yang kita sedekahkan itulah harta kita yang sebenarnya.”
Hal itulah yang mendorong bapak tiga anak ini mendirikan Warung Nasi Kuning Pojok Halal. Menurutnya, saat ini sudah ada empat warung yang tersebar di Jakarta, di antaranya samping gedung KPK, Kuningan.
Konsepnya tergolong unik. Nasi kuning dengan berbagai lauk itu ia jual ke dhuafa dengan harga 3 ribu rupiah per porsi. Dan pemasok aneka makanan dan lauk itu berasal dari warung-warung sekitar.
Hal ini dimaksudkan, menurut Jusuf Hamka, agar sedekah yang ia berikan kepada dhuafa tidak malah menghancurkan bisnis warung nasi di lokasi sekitar. Jusru sebaliknya, akan menjadi menguntungkan.
Tidak heran, jika para pemilik warung yang menjadi pemasok di “warung sedekah” Jusuf Hamka ini bersemangat untuk ikut melayani pelanggan yang merupakan kaum dhuafa.
Menurutnya, ia baru bisa menjual seribu porsi setiap hari kerja. Atau, 250 hari tiap tahunnya.
Muslim Tionghoa asal Kalimantan Timur ini mempunyai filosofi tersendiri tentang sedekah. Menurutnya, sedekah itu menjadi berkah untuk kaum dhuafa. Dan doa mereka, akan menjadi berkah untuk kita.
Selain sedekah melalui Warung Nasi Kuning Pojok Halal itu, Jusuf Hamka juga bersemangat untuk terus membangun masjid. Khususnya di kalangan komunitas Tionghoa.
Hal ini seperti yang juga dinasihatkan oleh Buya Hamka saat ia menyatakan diri sebagai muslim. Yaitu, kamu harus menjadi dai di kalangan orang-orang Tionghoa di sekitarmu.
Salah satu masjid yang menghabiskan biaya pembangunan sekitar 5 milyar rupiah adalah Masjid Abah Alun yang berlokasi di bawah jalan tol di bilangan wilayah Sunter, Jakarta Utara.
[gambar2]
Jusuf Hamka bertekad bisa mendirikan seribu masjid sampai akhir hayatnya. (mh/berbagai sumber)