Chanelmuslim.com-Pemilihan Presiden Amerika Serikat mungkin saja telah usai. Proses yang dipertontonkan kepada masyarakat dunia menunjukkan kerumitan demokrasi ala Amerika: calon populer tak selalu menjadi pemenang. Inilah Lesson Learned Kemenangan Trump di Swing States.
Oleh: Husnul Fitri
Pemerhati Sosial dan Keamanan Perkotaan
Pemilihan Presiden Amerika Serikat mungkin saja telah usai. Proses yang dipertontonkan kepada masyarakat dunia menunjukkan kerumitan demokrasi ala Amerika: calon populer tak selalu menjadi pemenang.
Protes atas hasil yang tidak memuaskan ini mulai menjalar di berbagai kota di Amerika Serikat. Bagaimana mungkin Hillary Clinton yang unggul dalam “suara real” pemilih tidak bisa meraup kemenangan secara elektoral yang menjadi penentu posisi kepresidenan?
Salah satu hal yang perlu dicermati dari kegagalan calon populer ini adalah keberhasilan lawannya, Trump, dalam menguasai beberapa negara bagian yang dianggap sebagai battleground states dalam pemilihan.
Sebagaimana diketahui, battleground ataupun swing states merupakan sejumlah negara bagian yang menjadi tempat pertarungan sengit dari kedua kandidat untuk memperoleh kemenangan karena keduanya tidak memiliki dominasi suara mutlak di negara bagian tersebut.
Kemenangan di battleground states menjadi penting karena sejumlah negara bagian yang masuk dalam kategori tersebut juga memiliki jumlah electoral votes (EC) yang lebih besar dibandingkan negara bagian lainnya.
Apakah kemenangan ini merupakan keberhasilan kampanye Trump yang benar-benar mampu menaklukkan hati para pemilih di battleground states? Tentunya menjawab pertanyaan tersebut tidaklah mudah.
Namun, keberhasilan Trump menguasai swing states ini dapat dikaji dalam konteks demografis dan kewilayahan untuk sedikit mengungkap kompleksitas faktor-faktor kemenangan Trump di sejumlah states.
Di sisi lain, berbagai data dari exit polls yang ditampilkan oleh media seperti CNN, New York Times, dan Reuter juga menunjukkan sejumlah informasi menarik untuk dikaji mengenai peta pemilih dalam pemilu saat ini.
Tulisan ini akan mengenali sejumlah kunci kemenangan Trump dari perspektif strategi demografis dan kewilayahan di tiga swing states utama di Amerika Serikat, yaitu Pennsylvania, Ohio, dan Florida.
The Tipping Point States
Florida, Ohio, dan Pennsylvania memiliki sejumlah karakteristik penting yang menjadikannya sebagai swing states utama, yaitu jumlah EC yang relatif besar dan kecenderungan menjadi the tipping point states.
The tipping point states merupakan terminologi yang menunjukkan tingkat margin kemenangan tiap kandidat dalam pemilu berdasarkan urutan tingkat margin terendah ataupun tertinggi1).
Florida dan Ohio adalah dua negara bagian yang pernah menjadi the tipping point states dengan perbedaan margin kemenangan yang tipis untuk pemilu tahun 2000 dan 2004. Bahkan keduanya seringkali dianggap sebagai the swingiest state dalam setiap pemilihan.
“Florida dan Ohio adalah dua negara bagian yang pernah menjadi the tipping point states dengan perbedaan margin kemenangan yang tipis untuk pemilu tahun 2000 dan 2004”
Jika ditelusuri lebih lanjut, baik kandidat dari Demokrat dan Republik pernah memperoleh kemenangan dalam pertarungan suara pada empat pemilihan umum terdahulu di Florida dan Ohio.
Kedua negara bagian ini juga merupakan salah satu dari tiga negara bagian yang secara konsisten menunjukkan bahwa suara EC tertinggi yang diberikannya sejalan dengan pemenang dari kandidat presiden pada pemilu di masa itu.
Namun secara historis dengan melihat sepuluh pemilu terdahulu, partai Republik sedikit lebih unggul dari Demokrat di Florida sedangkan keduanya seri di Ohio jika dikaji dari jumlah kemenangan tiap pemilu dari tahun 1976 hingga 2012.
Sementara itu, Pennsylvania menjadi negara bagian yang menarik untuk dikaji dalam kemenangan Trump karena merupakan negara bagian yang selalu memberikan suara untuk Demokrat sejak pemilu tahun 1992.
Namun demikian, Cook Political report menunjukkan bahwa sejak tahun 1992 terdapat tren kenaikan pemilih ke partai Republik sebanyak 0,4% setiap pemilihan umum2).
Bahkan jika dibandingkan dengan kemenangan Bill Clinton di tahun 1992 yang berhasil mencapai 53%, suara untuk Demokrat di Pennsylvania menurun menjadi 45% pada pemilu tahun 2012.
Kondisi ini memberikan peluang bagi Pennsylvania untuk menjadi the next tipping point state dalam pemilihan presiden di Amerika Serikat.
Kelompok Imigran
Isu kelompok imigran merupakan isu yang dimainkan oleh kedua belah pihak dengan arah kebijakan yang saling berseberangan. Clinton dianggap lebih mampu menarik hati populasi imigran dengan kampanye simpatiknya terhadap problematika imigran seperti masalah status legalitas dan hak-hak imigran.
Oleh karena itu, kemenangan Clinton di California yang merupakan populasi utama dan terbesar dari imigran di Amerika Serikat menjadi basis keberhasilan kampanye partai Demokrat terkait isu ini. Namun demikian, kondisi tersebut berbeda dengan populasi imigran di Florida.
Florida merupakan negara bagian dengan populasi Hispanik terbesar ketiga di Amerika Serikat. Jika mengevaluasi pada pemilihan umum tahun 2012 ketika Demokrat berhasil memenangkan suara di Florida, prediksi terhadap kemenangan Demokrat menjadi lebih besar untuk pemilu tahun 2016 ini.
Bahkan polling menjelang pemilu yang dilakukan oleh Quinnipiac menunjukkan keunggulan Clinton atas Trump. Sebanyak 4,6 juta registered voter memiliki afiliasi ke Demokrat dibandingkan 4,4 juta pemilih yang merupakan Republikan3).
Demokrat memiliki keuntungan dengan tingginya populasi Hispanik/Latin di wilayah ini yang mencapai 18% dari jumlah pemilih total di Florida. Bahkan menjelang pemilihan terjadi migrasi penduduk Puerto Rico untuk pindah bermukim ke Florida yang diperkirakan mencapai seribu orang4).
Namun demikian, di antara kelompok Hispanik ini, terdapat kelompok imigran Kuba yang cenderung konservatif dan sejalan dengan values dari pada partai Republik khususnya kelompok generasi awal yang berimigrasi tahun 1960-1980.
Jumlah keseluruhan penduduk keturunan Kuba ini mencapai 30% dari total imigran Hispanik di Florida yang merupakan tertinggi seantero Amerika Serikat. Hal ini dapat dipahami karena secara geografis, Florida merupakan bagian wilayah Amerika Serikat yang terdekat dengan negara Kuba.
Sementara itu, 97% registered voter dari kelompok ini merupakan kelompok generasi pertama sehingga walaupun pemilih muda (usia 18-44 tahun) memiliki perbedaan pilihan dengan kelompok tua namun jumlah mereka menjadi tidak signifikan untuk berkontribusi dalam pemilihan5).
Kecenderungan populasi imigran Kuba pada partai Republik sejalan dengan value dan pandangan mereka terhadap kebijakan-kebijakan Partai Republik dalam kaitannya dengan pemerintah otoriter Kuba dan sebaliknya diperkuat dengan kekecewaan terhadap kebijakan pemerintah Obama untuk menjajaki hubungan dengan Kuba.
Hal inilah yang kemudian menjadi isu kampanye Trump kepada kelompok imigran Kuba untuk memperkuat afiliasi mereka terhadap partai Republik.
“Hal inilah yang kemudian menjadi isu kampanye Trump kepada kelompok imigran Kuba untuk memperkuat afiliasi mereka terhadap partai Republik”
Di sisi lain, walaupun kelompok ini merupakan warga imigran, tetapi mereka tidak terpengaruh oleh isu imigran yang dimainkan oleh Clinton karena nyatanya mereka dilindungi oleh Cuban Adjustment Act yang memberikan legalitas bagi mereka untuk bermigrasi ke Amerika Serikat dan memperoleh status permanent resident.
Dominasi Trump atas kelompok imigran Kuba terbukti dengan data sejumlah exit polls yang menunjukkan bahwa walaupun Clinton mengungguli Trump dalam perolehan suara dari populasi Hispanik namun lebih dari 50% dari pemilih keturunan Kuba memberikan suaranya untuk Trump6).
The rust belt & shrinking zone
Kondisi kewilayahan yang berkontribusi pada kemenangan Trump adalah sasarannya pada area yang dikenal sebagai the rust belt. The rust belt merupakan sejumlah wilayah di Amerika Serikat yang memiliki historis sebagai wilayah pusat manufaktur khususnya di northeast dan midwest dari Amerika Serikat.
Sejalan dengan perkembangan dan perubahan sektor ekonomi, sejumlah daerah ini mengalami kemunduran secara ekonomi dan termanifestasi pada kecenderungan terjadinya shrinking dan urban decay. Beberapa area di negara bagian yang merupakan battleground states termasuk dalam kategori ini tidak terkecuali Ohio.
Ohio merupakan midwestern states yang mengalami fenomena shrinking secara konsisten akibat deindustrialisasi. Padahal secara historis sejak abad ke-19 Ohio merupakan salah satu pusat manufaktur utama di Amerika Serikat.
Kondisi urban shrinkage ini ditandai dengan menurunnya populasi secara tajam di tujuh kota utama Ohio antara lain seperti Cleveland, Youngston, dan Dayton. Berkurangnya populasi di Ohio merupakan salah satu dampak utama dari problematika ekonomi Ohio yang bertumpu pada sektor manufaktur.
Kecepatan pertumbuhan sektor ini dalam menyediakan lapangan kerja tidak seluas masa kejayaan industri manufaktur Amerika Serikat pada era 1900-an hingga Fordism. Secara umum dalam perspektif regional, urban shrinkage memberikan dampak negatif yang nyata karena mendorong terjadinya disparitas ekonomi dan sosial dalam kawasan.
Kondisi ini antara lain terjadi karena kondisi ekonomi yang buruk mendorong migrasi penduduk ke wilayah lain yang memberikan kesempatan ekonomi lebih baik sehingga mempercepat penurunan jumlah penduduk.
Hal ini juga mengurangi permintaan (demand) atas barang dan jasa dan berdampak pada berkurangnya investasi baru karena kota tersebut tidak lagi memberikan prospek ekonomi.
Adanya penurunan jumlah penduduk yang cepat secara merata di Ohio ini menyebabkan Ohio kehilangan alokasi suara EC berdasarkan sensus tahun 2010 sehingga jumlah EC yang semula 21 menjadi 18 pada pemilihan umum hingga tahun 2020.
Kondisi urban shrinkage tersebut kemudian menjadi salah satu hal yang dibidik dalam strategi Trump. Tema kampanye utama “make America great again” merupakan hal yang senafas dengan dengan kondisi Ohio saat ini.
Dalam terpaan ketidakpastian ekonomi, slogan dan janji-janji kampanye Trump terlihat lebih realistis dan memberikan semangat baru bagi masyarakat yang seolah menghidupkan kembali memori kejayaan Ohio di masa lampau.
Sementara itu, Pennsylvania juga merupakan wilayah yang termasuk dalam kategori the rust belt. Walaupun Trump unggul di Pennsylvania, area rust belt di Pennsylvania memiliki sejumlah perbedaan kondisi dengan Ohio.
Kota-kota besar utamanya seperti Philadelphia dan Pittsburgh walaupun mengalami gejala shrinking khususnya ketika terjadi deindustrialisasi tidak mengalami kemerosotan ekonomi yang tajam.
Kota-kota tersebut lebih tanggap dalam menghadapi perubahan sektor ekonomi dan beradaptasi dengan beralih dari industri manufaktur kepada pengembangan sektor teknologi dan jasa.
Pengembangan sektor ini didukung pula oleh pertumbuhan lembaga pendidikan dan riset di kedua kota besar tersebut yang menyebabkan populasi kelompok berpendidikan tinggi terkonsentrasi di kota-kota itu.
Dengan demikian, walaupun Pennsylvania merupakan termasuk dalam wilayah the rust belt namun negara bagian ini tidak mengalami fenomena shrinkage secara tajam di kota-kota besar utamanya sehingga tidak cukup terpengaruh dengan kampanye Trump kecuali di wilayah suburbianya.
Pemilih Suburban dan Rural serta Middle-age dan Older Voter
Salah satu sumber kemenangan Trump di tiga swing states utama adalah kepiawaiannya membidik target masyarakat yang secara khusus bermukim di area suburban maupun pedesaan dibandingkan kota-kota besar.
Sebagai contoh, kelompok area pinggiran di Florida yang menjadi domisili bagi kelas pekerja merupakan kelompok yang tidak memiliki interest terhadap isu-isu langitan ala Clinton sedangkan masyarakat rural-nya secara umum memiliki kecenderungan kultur dan values Amerika yang konservatif sebagaimana umumnya menjadi ciri khas wilayah Southern.
Patut disayangkan bahwa Clinton lebih menfokuskan pada kampanye di kota-kota besar yang sebenarnya sudah dapat diprediksi memiliki kecenderungan pada Demokrat seperti Tampa, Orlando, dan Miami dan lebih memainkan isu-isu imigran dibandingkan kelas pekerja kulit putih di luar tiga kota besar itu.
“Patut disayangkan bahwa Clinton lebih menfokuskan pada kampanye di kota-kota besar yang sebenarnya sudah dapat diprediksi memiliki kecenderungan pada Demokrat”
Fokus kampanye pada kaum imigran oleh tim Clinton mungkin mempertimbangkan populasi imigran di wilayah ini namun kelompok kulit putih masih mendominasi penduduk Florida sebanyak 59,7% dari total populasi pemilih7).
Sementara itu, populasi gabungan dari keseluruhan wilayah pinggiran dan pedesaaan ini dapat melampaui kota-kota besar yang menjadi sasaran kampanye Clinton sebagaimana hasil pemilu yang menunjukkan keberhasilan Trump menyapu bersih 58 counties di Florida dari total 67 counties yang ada8). Hal yang mirip juga terjadi di Pennsylvania.
Philadelphia sebagai kota besar utama merupakan kantong suara utama Demokrat. Namun, di luar Philadelphia jumlah populasi pemilih di wilayah suburbia mencapai 58% dan hasil pemilu menunjukkan Trump menguasai perolehan suara di wilayah tersebut.
Selain faktor lokasi, kemenangan Trump juga didukung oleh keberhasilannya menyasar kelompok usia middle-age dan older voter. Florida, Ohio, dan Pennsylvania memiliki persentase pemilih usia lanjut (usia 65 tahun ke atas) yang lebih tinggi dari rata-rata populasi pemilih lanjut di Amerika Serikat.
Hasil sensus tahun 2014 menunjukkan persentase pemilih usia lanjut di Florida berjumlah 23,9% dari total pemilih sedangkan di Ohio dan Pennsylvania masing-masing berjumlah 20,1% dan 21,2%9)10)11).
Populasi menua di Ohio merupakan konsekuensi dari urban shrinkage di wilayah tersebut. Sementara itu, Florida seringkali dianggap menjadi rumah bagi para pensiunan dan kelompok usia lanjut sehingga ada anggapan bahwa jumlah pemilih dari kelompok ini melampaui kelompok usia lainnya.
Berdasarkan data sensus tersebut sebenarnya dapat diketahui bahwa jumlah persentase populasi pemilih usia lanjut pada dasarnya tidak terlalu besar.
Namun, terdapat kelompok usia lainnya yang ternyata memiliki pandangan tidak jauh berbeda dengan kelompok usia lanjut, yaitu kelompok middle-age (usia 45-64 tahun) yang justru memiliki total persentase cukup besar dalam populasi pemilih, yaitu 33,5% di Florida, 35,5% di Ohio, dan 35,4% di Pennsylvania.
Gabungan dari jumlah kedua kelompok usia ini jauh lebih besar dibandingkan dengan pemilih kelompok usia muda yang berjumlah 42,5% di Florida, 44,4% di Ohio, dan 43,4% di Pennsylvania.
Hasil pemilu pun menunjukkan Trump mampu mengungguli Hillary untuk kedua kelompok usia pemilih tersebut khususnya di Florida dan Pennsylvania.
Namun, untuk Ohio terdapat sedikit perbedaan, yaitu pemilih Trump juga mencakup kelompok usia dewasa muda mulai usia 30 tahun selain juga meliputi kelompok middle age dan usia lanjut.
Sementara Clinton sesuai dengan perkiraan berhasil menggaet suara pemilih muda dibandingkan dengan Trump. Dengan persentase pemilih muda yang jauh lebih kecil dibandingkan pemilih usia di atasnya faktor usia pemilih menjadi faktor keunggulan yang tidak terbantahkan bagi Trump.
“Dengan persentase pemilih muda yang jauh lebih kecil dibandingkan pemilih usia di atasnya faktor usia pemilih menjadi faktor keunggulan yang tidak terbantahkan bagi Trump”
Jika Clinton memiliki kejelian untuk lebih menyasar kelompok usia middle age dalam kampanyenya terutama mengusung isu-isu yang lebih sesuai dengan permasalahan yang dihadapi kelompok ini di wilayahnya, bukan tidak mungkin mereka memberikan suaranya bagi Hillary Clinton.
Lesson Learned
Berdasarkan analisis terhadap aspek demografis dan kewilayahan dr tiga battleground states ini dapat dipelajari sejumlah hal penting yang perlu menjadi perhatian dalam menetapkan strategi dan perencanaan dalam pemilihan pemimpin di suatu daerah khususnya bagi wilayah yang memiliki pemilih dengan kecenderungan swing voter.
Pertama, pentingnya memetakan secara spesifik anatomi kelompok masyarakat walaupun secara umum kelompok tersebut menampilkan karakteristik/latar belakang yang mirip.
Perbedaan dalam kelompok imigran hispanik sebagai contoh antara kelompok Kuba dan non-Kuba menunjukkan bahwa terdapat heterogenitas interest antara kelompok-kelompok pendatang yang ada.
Kondisi demikian perlu dicermati dengan seksama sehingga model pendekatan yang dilakukan perlu disesuaikan dengan kepentingan dan nilai kelompok tertentu.
Kegagalan Clinton menarik hati pemilih imigran Kuba merupakan sebuah kesalahan yang cukup berpengaruh terhadap suara EC di Florida mengingat kelompok ini merupakan salah satu kelompok imigran terbesar di negara bagian tersebut.
Kedua, pendekatan yang fleksibel pada wilayah di luar kota besar utama. Area urban center yang menjadi konsentrasi penduduk muda, white collar, dan kelompok berpendidikan tinggi merupakan sasaran yang lebih mudah didekati dengan pendekatan rasional sehingga pambahasaan slogan, program maupun kebijakan yang bersifat abstrak dan jangka panjang dapat lebih mudah diterima oleh kelompok ini.
Pemilih di kelompok ini tentunya menjadi target yang penting. Namun demikian, jika mempertimbangkan perbandingan total populasi penduduk di luar kawasan urban utama yang lebih besar jumlahnya maka peran pemilih di kawasan suburbia dan rural perlu mendapat perhatian yang besar pula.
Keberhasilan Trump menguasai perolehan suara di kawasan suburbia dan rural menunjukkan adanya kalkulasi yang cukup cermat terhadap potensi pemilih yang lebih besar di luar kota utama. Kondisi demikian membuat Trump seolah “menyerahkan” area urban untuk kemenangan Hillary dan ia sendiri justru berkonsentrasi pada kawasan suburbia dan rural.
Jika dijabarkan lebih lanjut, kawasan rural merupakan tempat domisili bagi penduduk dengan pandangan yang lebih konservatif sehingga nilai-nilai tradisionalnya cenderung lebih sejalan dengan partai Republik.
Dengan demikian, strategi pendekatan berbasis kewilayahan sebenarnya dapat dikonsentrasikan pada kawasan suburbia. Kawasan ini perlu dicermati dengan seksama karena dalam perkembangan beberapa kota-kota besar yang pernah terjadi potensi pertumbuhan wilayah suburbia menjadi kota utama sangatlah mungkin.
Dengan demikian, pemilih di suburbia sebenarnya berpotensi memiliki karakteristik pemilih yang mirip dengan kota utama, tetapi karena kondisi wilayahnya berbeda baik secara geografis maupun ekonomi maka permasalahan yang terjadi di suburbia menjadi suatu konteks yang melekat dengan pemilih di wilayah tersebut.
Oleh karena itu, pendekatan yang fleksibel menjadi penting untuk mencermati problem utama kawasan ini sehingga strategi kampanye yang dilakukan dapat menjangkau pemilih di wilayah pinggiran dan tidak hanya terkonsentrasi di kota besar.
“… pendekatan yang fleksibel menjadi penting untuk mencermati problem utama kawasan ini sehingga strategi kampanye yang dilakukan dapat menjangkau pemilih di wilayah pinggiran dan tidak hanya terkonsentrasi di kota besar”
Ketiga, pendekatan pada ragam usia pemilih. Jika kelompok usia tua memiliki kecenderungan yang stabil terhadap pandangan yang telah dimilikinya sehingga lebih sulit untuk menerima perubahan ataupun gagasan yang berbeda maka pendekatan pada pemilih kelompok usia lainnya menjadi penting.
Namun, sekali lagi konsentrasi pada pemilih dengan kategori usia tertentu ini harus pula memperhatikan kalkulasi jumlah potensial populasi pemilih pada kelompok usia yang ada serta disesuaikan dengan problematika dan kebutuhan dari kelompok usia tersebut.
Kemenangan Trump pada kelompok usia middle-age merupakan suatu bonus di samping kemenangan utamanya pada kelompok usia lanjut yang jika dihitung secara matematis melampau total pemilih usia muda.
Oleh karena itu pendekatan pada kelompok middle-age perlu mempertimbangkan isu-isu utama yang menjadi concern sehingga dapat diketahui pula karakteristik umum yang dominan dari kelompok usia ini.
Dalam kenyataannya, karakteristik kewilayahan dan demografis ini tidak berdiri sendiri namun saling memiliki interseksi sehingga membentuk karakteristik pemilih yang kompleks.
Dengan demikian, perhatian terhadap singgungan dari aspek-aspek tersebut perlu menjadi perhatian khusus untuk memperoleh gambaran yang tepat tentang pemilih di suatu wilayah.
Pada titik ini sepertinya Trump memiliki keunggulan dalam mengkalkulasi potensi pemilih, memetakan irisan-irisan yang ada dan, menformulasi bahasa kampanye dan program yang kemudian dapat diterima sesuai dengan karakteristik pemilih.
1) http://fivethirtyeight.com/features/pennsylvania-could-be-an-electoral-tipping-point/
2) ibid
3) http://edition.cnn.com/2016/08/09/politics/election-2016-donald-trump-hillary-clinton-florida/
4) http://mobile.nytimes.com/2016/08/12/us/politics/puerto-rican-voters.html
5) http://dailysignal.com/2016/11/09/election-results-show-there-is-no-one-hispanic-vote/
6) http://edition.cnn.com/election/results/exit-polls/florida/president
7) http://www.census.gov/library/visualizations/2016/comm/electorate-profiles/cb16-tps40_voting_florida.html
8) http://www.orlandosentinel.com/news/politics/os-election-florida-folo-20161109-story.html
9) http://www.census.gov/library/visualizations/2016/comm/electorate-profiles/cb16-tps40_voting_florida.html
10)http://www.census.gov/library/visualizations/2016/comm/electorate-profiles/cb16-tps44_voting_ohio.html
11)http://www.census.gov/library/visualizations/2016/comm/electorate-profiles/cb16-tps53_voting_pennsylvania.html
Sumber: https://www.selasar.com/politik/lesson-learned-kemenangan-trump-di-swing-states