ChanelMuslim.com – Institute For Demographic and Poverty Studies (IDEAS) melihat bahwa hingga kini Indonesia masih menghadapi masalah ketenagakerjaan yang mendasar, penciptaan lapangan kerja. Meski tingkat pengangguran terbuka Indonesia adalah rendah dan terus menurun dalam sepuluh tahun terakhir, dari kisaran 7 persen menjadi kini di kisaran 5 persen, namun pekerja tidak penuh adalah signifikan.
Dari penelaahan terhadap 20 daerah aglomerasi di seluruh Indonesia, dari Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi) hingga Mamminasata (Makassar, Takalar, Gowa, Maros), IDEAS menemukan permasalahan ketenagakerjaan justru lebih serius terjadi di perkotaan, khususnya daerah metropolitan.
“Jumlah pengangguran di 20 daerah aglomerasi mencapai 3,4 juta orang, lebih dari 44 persen angka nasional, dengan yang terbesar adalah pengangguran di Jabodetabek yang mencapai 1,3 juta orang. Kantong pengangguran nasional terbesar terkonsentrasi di Jabodetabek yaitu berturut-turut Kab. Bogor, Kab. Tangerang, Kab. Bekasi dan Kota Bekasi,” ujar Askar Muhammad, Peneliti IDEAS, pada diskusi Soft Launching hasil riset bulanan IDEAS yang bertajuk ‘Kerja Layak Metropolitan dan Balada Ojek Daring’ di Kantor IDEAS, Tangerang Selatan, Selasa (17/03).
Askar menambahkan bahwa di kota-kota besar terjadi fenomena aneh berupa terbaliknya Hukum Okun. Hukum Okun menyebutkan bahwa seiring perekonomian tumbuh, tingkat pengangguran akan turun. Namun, di Jabodetabek, Bandung Raya, dan Gerbangkertosusila, justru yang terjadi sebaliknya. Terlihat bahwa seiring tumbuhnya perekonomian, justru tingkat pengangguran semakin menjadi-jadi. Pertumbuhan ekonomi pada dasarnya membawa berkah, bukan menyengsarakan atau membawa malapetaka. Nyatanya, data BPS menunjukkan bahwa semakin banyak tenaga kerja di DKI Jakarta yang bekerja di sektor informal. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa kemampuan sektor formal di kota-kota besar untuk menyerap tenaga kerja mengalami penurunan.
“Pertumbuhan sektor formal yang cenderung melambat. Sepanjang 2015-2018, pertumbuhan sektor formal hanya tumbuh 0,91%. Data BPS menunjukkan bahwa semakin banyak tenaga kerja di DKI Jakarta yang bekerja di sektor informal. Sektor Formal DKI Jakarta mengerut 3,41% sepanjang 2015-2018, berkebalikan dengan data nasional. Paling tidak, ini menunjukkan bahwa kemampuan sektor formal di kota-kota besar untuk menyerap tenaga kerja mengalami penurunan,” ungkap Askar.
Dari sekian banyak permasalahan kerja layak (Decent Work) yang ada, tingkat upah yang dan jaminan ketenagakerjaan menjadi dua isue utama. Pada 2019, hanya 56,7 persen buruh yang memiliki upah diatas UMP. Dengan tingkat upah di batas tingkat subsisten, agenda kerja layak masih amat jauh dari harapan. Hanya 16,58 persen buruh, karyawan, dan pegawai di kota-kota besar yang memiliki jaminan kesehatan, kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun. Artinya mayoritas pekerja kita sangat rentan jatuh miskin ketika terjadi guncangan seperti sakit atau kecelakaan kerja.
IDEAS menilai bahwa masalah ketenagakerjaan perkotaan tidak hanya pengangguran, namun juga pekerja tidak penuh dan pekerja dengan waktu kerja yang berlebihan. Sebagai misal, pada 2019 Kab. Bogor memiliki 269 ribu orang pengangguran. Di saat yang sama, Kab. Bogor memiliki 852 ribu orang yang bekerja kurang dari 40 jam per pekan, hampir tiga kali lipat dari jumlah pengangguran. Besarnya pekerja tidak penuh ini mengindikasikan rendahnya kualitas pekerjaan. Lebih jauh, di waktu yang sama Kab. Bogor juga memiliki 540 ribu orang yang bekerja lebih dari 54 jam per pekan.
”Pola umum yang terbentuk di Jabodetabek adalah besarnya pekerja yang bekerja di atas 54 jam per pekan. Hal ini menunjukkan besarnya pekerja yang dipaksa bekerja jauh melampaui batas kemanusiaan untuk memperoleh pendapatan yang cukup. Pola umum kedua adalah jaminan sosial untuk pekerja selaras dengan persentase buruh dengan upah diatas UMP dan UMK. Diduga kuat, perusahaan yang mampu memenuhi upah minimum, juga mampu memberi jaminan sosial bagi pekerjanya,” tutup Askar dengan nada penuh penekanan.[Wnd/rls]