Oleh: Sapto Waluyo
(Pembina Center for Indonesian Reform)
ChanelMuslim.com- Politik Indonesia mirip dengan dunia sinetron, ada drama atau komedi. Ceritanya sambung-menyambung, seakan tak pernah berakhir: ada kaitan antara satu peristiwa dengan peristiwa lain, koneksi antara satu tokoh dengan tokoh yang lain. Bisa jadi rumit seperti film seri Bollywood atau banyak plot twist seperti drakor (Drama Korea).
Yang jadi target diaduk-aduk emosinya adalah para konstituen atau rakyat Indonesia secara keseluruhan, semua merasa terlibat. Seolah manuver politik yang dirancang elite adalah ide bersama, dan nasib politik yang menimpa figur politisi popular adalah nasib rakyat yang penuh derita. Berbagi tangis dan tawa, canda dan hujatan. Benar-benar sublim.
Fenomena terkini ialah tampilnya politisi kondang yang menjadi pujaan jutaan pendukung fanatik, namun tragisnya belum mendapat dukungan partai politik (yang menjadi syarat bagi kompetisi di level nasional). Tokoh yang berkibar di langit survei antara lain: Ganjar Pranowo, Anies Baswedan atau Ridwan Kamil. Nama mereka terbang tinggi, tapi belum ada satupun partai yang secara terbuka mengikat dan mengusungnya.
Nasib mereka seperti “Layangan Putus”, sebuah drama seri yang tayang di televisi digital. Ceritanya, tentang seorang isteri (Kinan diperankan oleh Putri Marino) yang hidup bahagia bersama suaminya yang ganteng, Aris (Reza Rahardian). Tapi, di saat Kinan sedang hamil anak kedua, Aris ternyata main mata dengan rekan bisnisnya, Lidya (Anya Geraldine). Drama yang mengangkat tema keseharian di kalangan keluarga perkotaan tentang: kesetiaan versus perselingkuhan, keutuhan keluarga (termasuk masa depan anak) versus petualangan cinta, monogami versus poligami (terbuka atau tertutup).
Cerita sangat jamak, dan karena itu justru menyedot emosi jutaan emak-emak galau. Efek selanjutnya mengundang para pemasang iklan, sehingga serial berbiaya lebih murah dari film layar lebar itu pun meraup keuntungan besar. Ciri-ciri layangan putus, menurut psikolog keluarga Dr. Muhammad Iqbal antara lain: lebih sibuk dari biasanya, gelisah dan mudah marah, menurunnya hubungan intim, berubah penampilan, tidak terbuka masalah keuangan, menjauh dari lingkungan sosial, suka membandingkan dan menyalahkan pasangan.
Dalam dunia politik perselingkuhan juga suatu perkara yang jamak terjadi. Misalnya, pasangan kepala daerah yang maju dalam pemilihan karena ikatan dua atau lebih gabungan partai politik. Pada awal periode kemenangan politik, pasangan itu mungkin terlihat serasi. Namun, setelah masa bulan madu lewat, mulai terlihat gejala pertarungan kepentingan dan persaingan untuk mencari popularitas. Menjelang akhir periode kekuasaan, pasangan itu akan diuji: apakah akan melanjutkan koalisi politik yang telah dibangun atau mengakhirinya dan memulai babak baru persaingan dengan pasangan lain.
Begitu jamaknya pengkhianatan dalam tradisi politik, sehingga terkenal adagium: “tak ada kawan atau lawan abadi, yang ada ialah kepentingan abadi”. Tanda-tanda perselingkuhan politik itu mirip dengan pengkhianatan pasangan: lebih sibuk dari biasanya (terutama untuk mencari dukungan konstituen dan membangun citra positif), mulai jarang berkomunikasi dan berkoordinasi (apalagi terkait realisasi anggaran dan rekrutmen pejabat publik), dan berubahnya penampilan untuk menunjukkan bahwa dirinya lebih eksis/dominan dibanding pasangannya.
Sebenarnya pengkhianatan politik itu tidak hanya terjadi dalam koalisi antara beberapa partai polilitik. Bahkan, dalam satu partai politik pun kerap terjadi pengkhianatan, bila para anggota bersaing satu sama lain untuk berebut posisi paling berpengaruh dan menguntungkan. Karena itu, tak aneh bila ada yang mendefinisikan politik sebagai pertarungan kepentingan dan jabatan (posisi) untuk mempengaruhi dan mengendalikan orang lain. Walaupun pada hakekatnya, esensi politik terkait dengan kepentingan umum dan pembuatan kebijakan publik.
Hasil survei nasional oleh Datasight Indonesia yang dirilis 12 Januari 2022, masih menempatkan Prabowo Subianto sebagai calon presiden teratas yang dipilih responden (21,8%). Diikuti oleh Ganjar Pranowo (21,5%), Anies Baswedan (17,7%), Sandiaga Uno (7,2%) dan Ridwan Kamil (6,8%). Di antara jejeran kandidat itu, posisi Prabowo paling kuat. Bukan hanya tingkat elektabilitasnya tinggi, tetapi karena jabatan sebagai Ketua Umum Partai Gerindra tidak tergantikan. [Mh/bersambung]