Oleh: Sapto Waluyo, Center for Indonesian Reform.
Refleksi Dua Dekade
ChanelMuslim.com- Perjalanan 22 tahun bukan waktu yang pendek, tetapi bukan masa yang cukup pula untuk menguji konsistensi partai politik. Partai yang berusia lebih tua dari PKS saat ini antara lain PDIP, Golkar, dan PPP. Partai lain, termasuk PAN, PKB, Gerindra, Demokrat, atau Nasdem seangkatan atau lebih muda dari PKS. Amat menarik untuk membandingkan kinerja partai dari dimensi: stabilitas kelembagaan, dinamika kepemimpinan, dan dukungan serta relasi publik/konstituen.
Ioana Emy Matesan, Associate Profesor dari Departemen Ilmu Pemerintahan, Universitas Wesleyan, Amerika Serikat, pernah melakukan riset tentang PKS sebagai partai politik dan gerakan dakwah. Riset Matesan sebelumnya terkait proses normalisasi gerakan Islam di Mesir dan Indonesia sesuai dengan pergeseran politik nasional dan global. Saat berbicara tentang diferensiasi PKS dengan partai lain, Matesan memaparkan:
“Saya pikir PKS sama saja dengan partai lain dalam lingkungan politik Indonesia: ia punya nilai sendiri, tetapi juga bersikap strategik dalam meraih target politik. Basis kader dan konstituen PKS berkomitmen kuat pada nilai dan visi keagamaannya, namun seperti partai lain, kepemimpinan politiknya bersikap pragmatik (principled pragmatism).” Sebuah istilah menarik ditawarkan Matesan, pragmatisme berdasar prinsip moral, untuk menggambarkan dinamika gerakan Islam yang terjun ke dunia politik. Ini bisa menjadi titik balik yang penting agar partai Islam mampu memperluas basis dukungan.
Lebih jauh Matesan menjelaskan: “Secara aktual saya melihat ada dua model yang perlu dicermati: niche parties (partai khas/terbatas) dan partai biasa (mainstream parties) seperti Kristen Demokrat di Eropa. Saya bisa katakan bahwa PKS sejauh ini cukup sukses sebagai partai khas, mengajak sebagian besar konstituen sepanjang pemilihan umum kepada pemilih yang lebih relijius konservatif, yang juga membentuk basis kadernya. Partai khas memelihara dukungan dengan cara tetap konsisten kepada isu spesifik yang diwakilinya, terutama jika isu tersebut nyata dan penting bagi segmen masyarakat tertentu, dan jika partai lain tidak menyuarakan isu tersebut.”
Repotnya di Indonesia, partai nasionalis/sekuler juga mengadopsi retorika keagamaan pada waktu tertentu (terutama pada tingkat lokal), yang memberi tekanan pada partai khas berbasis agama. Maka alternatif lain bagi partai Islam adalah mencoba mentransformasi diri menuju partai pada umumnya dengan mengajak pemilih umum. Untuk itu, PKS harus melakukan ajakan/pendekatan kepada pemilih kebanyakan, dan sekaligus membedakan dirinya dari partai lain pada umumnya yang juga mendekati pemilih umum. Matesan tak pasti, apakah itu bisa dilakukan, dan tetap menjaga gerakan kultural yang sejalan sebagai dukungan utama/tulang punggung partai.
Momentum refleksi Milad ke-22 PKS di tengah pandemi Covid-19 membuka wacana untuk mendiskusikan ulang spektrum gerakan sosial dan gerakan politik di Indonesia. Selama ini ada kesan, gerakan dakwah/sosial terpisah dari gerakan politik dan berada pada posisi yang berseberangan. Akibatnya, konsolidasi umat Islam mengalami tantangan internal dan kolaborasi dengan kekuatan sosial-politik (nasionalis) juga terkendala. Wacana kesinambungan dakwah juga relevan karena saat ini berkembang gagasan “Masyumi Reborn” dari sebagian tokoh yang kecewa dengan realitas politik Islam. PKS harus siap membangun dialog dengan semua kelompok.
Patut direnungkan nasihat dari salah seorang tokoh Pendiri PK (1998) yang baru saja wafat (5/4/2020) dalam usia 58 tahun, Dr. K.H. Ahzami Samiun Jazuli. Kiai Ahzami adalah Pimpinan Pondok Pesantren Darul Hikmah, Bekasi yang terlibat aktif dalam gerakan politik, pernah menjabat Wakil Ketua Dewan Syariah Pusat PKS (tatkala Ketua DSP dijabat Habib Salim Segaf al-Jufri). Salah satu pesan penting kiai-doktor ahli tafsir al-Qur’an itu, “Kita berjamaah (berjuang dalam suatu organisasi) ini harus memiliki nafas panjang, yaa ibadallah. Karena umur jamaah atau umur dakwah (perjuangan) lebih panjang daripada umur kita. Kita berjuang tidak dibatasi umur kita, dan perjuangan harus madal hayat (sepanjang masa). Oleh karena itu, agar nafas kita panjang dalam berjamaah, mari kita berlomba-lomba semuanya untuk memproduksi husnul khatimah. Maka, kita harus berlomba-lomba untuk memperbaiki kematian (akhir hidup) kita melalui jamaah yang telah mendidik kita menjadi orang-orang yang punya militansi dalam perjuangan, Hal itu tidak akan terjadi kalau kita tidak benar-benar bertaqwa kepada Allah. Begitu banyak isitlah taqwa dalam al-Qur’an, tetapi ketika berbicara tentang taqwa dalam kaitannya dengan husnul khatimah, maka ditegaskan: Wahai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya taqwa (haqqa tuqatihi) dan janganlah kalian mati, kecuali dalam keadaan Islam (berserah diri kepada Allah)…”
Perjalanan dakwah sangat panjang, sementara perjuangan politik hanya salah satu aspek dari dakwah yang berdimensi luas. Jangan sampai kita terjebak pada target politik jangka pendek, apalagi sekadar pertarungan memperebutkan suara rakyat dalam pemilu dan mengejar kursi kekuasaan. Padahal, banyak orang ketika sudah menang pemilu dan menduduki kursi kuasa juga kebingungan: bagaimana menjalankan dan mengarahkan kekuasaan itu? Akhirnya, mereka hanya terjebak ilusi dan fatamorgana kuasa: mempertahankan kekuasaan untuk semakin berkuasa seolah-olah akan hidup selamanya atau kekuasaan dapat diwariskan kepada anak-cucunya. Politik dakwah perlu diterjemahkan menjadi politik gagasan, bukan sekadar pencitraan berongkos mahal dan menutupi kebohongan berkelanjutan dengan berbagai cara. Sehingga negara yang kita bangun dan cita-citakan benar-benar menjadi ‘Negara Utama’, bukan ‘Negara orang-orang Bodoh’ atau ‘Negara Sesat’ (al-Farabi, 950). Politik gagasan bukan berisi caci-maki atau keluh-kesah, tapi menawarkan alternatif pandangan dan jalan keluar.
Pandangan khas dari Kiai Ahzami yang menjadi guru bagi para politisi PKS bisa dipahami. Ayahnya adalah seorang kiai NU yang sangat dihormati dan diakui keilmuannya, K.H Samiun Jazuli, aktif dalam Bahtsul Masail NU bersama Mbah Sahal (KH. MA. Sahal Mahfudh) dari Kajen, KH Sholeh Al-Hafidh, KH Duri Nawawi, KH Ahmad Fayumi Munji, KH Muzammil Thohir, KH Ma’mun Muzayyin, KH Abdullah Rifa’i, KH Abdul Hadi Kurdi, KH Zuhdi Abdul Manan dan sejumlah kyai lainnya. Forum Bahtsul Masail sangat dihormati, terutama kehadiran dua kiai besar di wilayah Pati, yakni KH. Abdullah Zain Salam (Mbah Dullah Salam) serta KH. A. Suyuthi Abdul Qadir dari Guyangan. Mbah Sami’un (ayah Ahzami) mengirimkan anaknya untuk belajar di Guyangan, dari madrasah ibtidaiyah hingga menyelesaikan madrasah ‘aliyah. Selepas dari Pesantren Guyangan, Ahzami melanjutkan pendidikan ke Timur Tengah. Pendidikan S1 hingga S3 diselesaikan di Universitas Muhammad ibnu Saud di Riyadh, Arab Saudi jurusan Ulumul Quran. Tesis S2-nya berjudul “Al Hijrah fil Quran” dan Disertasi S3 bertajuk “Al Hayah fil Quran”. Selain mengajar di beberapa perguruan tinggi, Doktor Ahzami juga menjadi pengasuh siaran Tafsir Kehidupan di stasiun televisi nasional (TVRi dan TV One).
PKS telah kehilangan sejumlah tokoh senior, namun generasi baru lahir untuk melanjutkan estafeta perjuangan. Sebagaimana langkah pertama sudah digerakkan, maka perjalanan seribul mil tidak akan berhenti hanya karena ada jurang terjal atau bukit emas di tengah jalan. [Mh]