ChanelMuslim.com – Belajar dari Tragedi Torikara Sebuah mushola dibakar. Puluhan kios jadi arang. Ada juga rumah orang muslim jadi abu. Semua terjadi saat orang Islam mau melaksanakan Salat Idulfitri di Torikkara Papua, 17 Juli 2015.
Kerukunan antarumat beragama pun terusik. Toleransi berubah jadi benci. Indonesia seketika dihadapkan masalah SARA. Presiden dan jajarannya bereaksi. Meminta semua pihak menahan diri. Aparat keamanan disiagakan menjaga situasi. Bila situasi tak terkendali. Bukan tidak mungkin persoalan SARA meluas ke sana ke mari.
Senin dan Selasa (20-21 Juli) Presiden dijadwalkan ke Torikara. Mengumpulkan semua tokoh di negeri Papua untuk menjaga persatuan. Mudahan rencana sang presiden sukses meredam situasi panas itu. Sebelum Presiden ke Torikara, Kementerian Agama (Kemenag) Papua bergerak cepat.
Pada 18 Juli 2015, Kemenag Papua mengumpulkan seluruh tokoh agama. Mereka dikumpulkan di kantor Kemenag dan membuat pernyataan sikap bersama. Intinya meminta kasus tersebut diusut tuntas secara hukum.
Untuk sementara situasi kondusif. Namun, isu negatif terus beredar lewat media sosial seolah-olah ada pihak yang menginginkan sentimen agama pecah di mana-mana. Ada orang yang memancing di air keruh. Kita berharap, isu yang berseliwaran di media sosial tidak sampai memancing umat yang lain untuk melakukan tindakan serupa.
Lantas, bagaimana dengan Kalbar? Negeri Bumi Khatulistiwa memiliki pengalaman pahit soal SARA. Saya tidak perlu ceritakan seperti apa sentimen SARA yang pernah membuat Kalbar “berdarah”. Saya yakin sentimen itu tidak mudah hilang begitu saja.
Apabila kerukunan atau toleransi tidak dirawat dengan baik dan intensif, sentimen SARA bisa membesar dan antiklimaks bisa pecah kerusuhan. Namun, bila kerukunan dan toleransi selalu dirawat mulai dari tingkat kepala daerah, tokoh agama, suku, pemuda, ormas, maupun elemen lain, sentimen itu mengecil. Mudah-mudahan tidak ada lagi.
Pertanyaannya, sudah adakah dari Pemda, Ormas, pihak keamanan, dan kita pribadi merawat kerukunan dan toleransi itu secara intesif? Hal paling mudah meengukur itu, lihat alokasi anggaran yang disiapkan pemerintah dan aktivitas masyarakat dalam meningkatkan kerukunan dan toleransi beragama.
Alokasi untuk itu selalu kecil bila dibandingkan dengan pembangunan fisik atau infrastruktur. Anggaran pembangunan mental dan sosial keagamaan hanya “anak tiri”. Syukur-syukur masih ada dianggarkan. Di sini mengindikasikan bahwa upaya merawat kerukunan dan toleransi agama masih lemah.
Bila hal ini dibiarkan sentimen SARA bukannya hilang tapi bisa membesar yang sewaktu-waktu bisa meletus. Tragedi Torikara adalah sebuah pelajaran berharga untuk kita semua. Pemerintah diharapkan tidak setengah- setengah membangun mental keagamaan maupun kemasyarakatan. Jangan ada lagi menjadikan organisasi keagamaan dan kemasyarakatan jadi “pemadam kebakaran”.
Bila ada kejadian barulah diperlukan. Alokasikan anggaran untuk merawat kerukunan dan toleransi dalam jumlah yang sepadan. Damai itu indah. Apabila damai sudah tercabik-cabik akan sangat mahal harganya untuk kembali damai.
Mari kita merawat kerukunan dan toleransi mulai dari diri sendiri.
By Rosadi Jamani
(kemenag)