AI bisa menjadi lebih pintar, kekhawatiran terhadap mesin yang berpotensi melampaui kepintaran manusia bukannya tanpa dasar, namun kehadiran rasa ingin tahu dapat menjaga kearifan kita sebagai manusia.
Komentar bos SpaceX Elon Musk baru-baru ini bahwa kecerdasan buatan (AI) akan menjadi lebih pintar daripada individu paling cemerlang tahun depan atau paling lambat pada tahun 2026.
Selama beberapa tahun terakhir, beberapa pengusaha teknologi dan pakar domain telah mengeluarkan peringatan keras tentang pesatnya perkembangan AI dan menyuarakan kekhawatiran atas implikasi moral dan hukum dari kecerdasan mesin yang menggantikan manusia.
Namun apakah ini merupakan skenario malapetaka dan kesuraman seperti yang diperkirakan banyak orang?
Dilansir dari trtafrika, ada pepatah terkenal di abad ke-19, Clogs to clogs in three generation, yang menyiratkan bahwa upaya dan keterampilan yang diperlukan untuk mengangkat status sosial ekonomi seseorang dari kemiskinan, sering kali tidak sampai ke generasi ketiga, sehingga mengakibatkan ketidakmampuan untuk mempertahankan hidup kesuksesan.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Singkatnya, kekayaan yang diperoleh dalam satu generasi jarang bertahan hingga generasi ketiga.
Demikian pula, dalam bidang akumulasi pengetahuan umat manusia, situasinya tampaknya mencerminkan pepatah ini. Namun dalam skala waktu yang jauh lebih lama, kira-kira 8.000 generasi.
Clogs to clogs secara kasar berarti 8.000 generasi, menunjukkan bahwa kekayaan pengetahuan umat manusia telah terhenti ketika kita mendekati titik untuk meneruskannya ke mesin.
Kekayaan pengetahuan yang sangat besar yang diperoleh sejak masa awal homo sapiens di Afrika akan diteruskan ke mesin buatan manusia.
Baca juga: Tadashi Yanai, Orang Terkaya di Jepang Dukung Palestina
AI Bisa Menjadi Lebih Pintar Dari Manusia, Tapi Seharusnya Tidak Menjadi Masalah
Dengan mesin yang siap melampaui kecerdasan manusia, apakah kita perlu terus mencari pemahaman tentang dunia?
Apakah AI lebih pintar dari manusia?
Ya, jika unsur kecerdasan hanya terdiri dari pengetahuan, berpikir kritis, dan pemecahan masalah.
Namun, kecerdasan dalam kaitannya dengan kebijaksanaan lebih dari sekadar kepintaran, sehingga memerlukan pengakuan bahwa kepintaran hanyalah salah satu dari banyak elemen spektrum yang lebih luas.
Kebijaksanaan menggabungkan atribut seperti rasa ingin tahu dan tanggung jawab di sampingnya.
Pengetahuan dan kemampuan mengolah data tidak merangkum kebijaksanaan namun hanya mewakili produk akhir.
Kita secara inheren sudah terprogram untuk memiliki rasa ingin tahu sejak lahir, dan kemampuan kita untuk menyalurkan dan menggali data dalam konteksnya membawa kita pada keajaiban lebih lanjut, yang berpuncak pada kebijaksanaan.
Dimensi lain yang tidak dapat dikerjakan oleh mesin adalah memahami konsep kehidupan dan waktu. Mesin mungkin ada selama listrik tersedia, tanpa rasa takut akan kematian, cinta akan kehidupan, atau secercah harapan.
Berbeda dengan manusia, sistem AI tidak memiliki pengalaman dan kesadaran subjektif. Mereka hanya memproses data masukan, sedikit melebihi kalkulator dasar.
Kesadaran manusia akan perjalanan waktu merupakan ciri mendasar lain yang membedakan kita dari mesin atau hewan.
Oleh karena itu, membandingkan manusia dengan mesin tidaklah relevan. Menyerah pada keputusasaan saat menghadapi mesin akan sia-sia.
Kita dapat dengan elegan mendelegasikan kecerdasan ke mesin, mirip dengan bagaimana penemuan tulisan memungkinkan manusia untuk mengeksternalkan ingatan mereka, meskipun dengan mengorbankan kemampuan bercerita lisan, menghafal, dan pengulangan.[Sdz]