ChanelMuslim.com- Menikah itu mudah. Yang berat merawatnya. Terlebih lagi dengan perjalanan yang penuh onak dan duri, jurang dan tanjakan.
Perjalanan rumah tangga itu tidak selalu landai. Tidak jarang, perjalanan yang dilalui begitu berat. Tantangan dan hambatan serasa tak pernah henti terjadi.
Namun begitu, ujian berat itu tidak mengendurkan gerak langkah sejumlah pasangan suami istri untuk terus maju. Di antaranya sosok-sosok berikut ini.
Meski profilnya disamarkan, nilai-nilai yang bisa dipetik dari kegigihan mereka bisa menjadi cermin untuk kita. Berikut ini di antara cuplikannya.
Awalnya Tidak Direstui Orang Tua
Semua anak tentu menginginkan restu dari orang tua saat mereka akan menikah. Tapi karena sesuatu hal, boleh jadi, restu inilah yang akhirnya menjadi “badai” untuk suami istri ini.
Hal itu dialami sang calon suami saat menyampaikan siapa calon istrinya. Ayahnya tidak setuju. Padahal, calon menantunya itu solehah, baik, dan berpendidikan lumayan.
Apa alasannya? Alasannya nyaris tak berhubungan dengan sosok calon istri. Sang ayah tidak setuju hanya karena soal suku. Sebuah alasan yang menunjukkan sikap lemahnya keakraban bangsa.
Kalau digali lagi, alasan tidak setuju dengan suku tertentu itu pun bukan karena tentang suku itu. Tapi karena kasus hubungan personal sang ayah dengan seseorang yang kebetulan bersuku itu.
Itulah kenapa sang anak berusaha untuk meluruskan. Tapi karena tidak ada titik temu, sang anak memutuskan untuk jalan terus.
Sang ayah pun tetap keras dengan sikapnya. Ia dan keluarga besar tidak akan hadir dalam acara pernikahan itu. Bukan itu saja, keluarga baru nantinya juga tidak akan diterima.
Setelah konsultasi ke berbagai pihak yang kompeten, akhirnya calon suami ini dengan berat hati jalan terus. Di tengah kebahagiaan akad dan resepsi yang mungkin terjadi sekali seumur hidup itu, ia menjadi seperti seorang diri. Kecuali, keluarga besar pihak istri dan teman-teman sejawatnya.
Ia berbisik kepada Allah, “Ya Allah, aku lakukan ini bukan karena membangkang ayah dan ibu. Tapi karena ingin meluruskan sikap mereka.”
Satu pekan selepas acara sakral itu, lampu hijau belum juga diberikan ayahnya. Ia berusaha datang bersama istrinya ke rumah ayah ibunya. Tapi, sang ayah tetap dengan sikapnya. Pintu rumah tidak dibukakan untuk pengantin baru itu.
Suami istri baru ini pun sedih. Alih-alih bisa mencium tangan ayah ibu, masuk ke halaman depan rumah pun tidak bisa.
Begitu pun ketika satu bulan berlalu. Upaya itu belum juga tercapai. Bahkan ketika momen Lebaran datang, suami istri ini belum diterima keluarga besarnya, khususnya dari pihak ayah.
Dan berturut-turut hingga sepuluh kali Lebaran, suami istri yang sudah dikaruniai tiga anak ini pun belum bisa diterima ayahnya. Sementara, ibunya mulai bersikap lain. Diam-diam, sang ibu melakukan perjumpaan tersembunyi dengan mantu dan tiga cucunya.
Ah, betapa bahagianya. Anak dan menantu ini begitu bersyukur bisa mencium dan memeluk ibu tercinta. Setelah sepuluh tahun lebih hal itu tertunda.
Anaknya yang sulung tiba-tiba ingin ikut ke rumah nenek. Puteri sulung itu berusia delapan tahun, sudah kelas tiga SD. Tampil begitu cantik dengan busana muslimah ciliknya.
Tanpa kesertaan ayah ibu, ia ikutan bersama nenek pulang ke rumah. Setibanya di rumah, sang nenek mengenalkan cucu solehahnya itu ke sang kakek.
Sang kakek terkejut. Siapa bocah cilik berjilbab ini? Setelah sang nenek mengenalkan kalau ini cucu mereka, sang kakek pun trenyuh. Ia menangis haru.
Mulailah ada penyesalan di situ. Hatinya terasa seperti teriris ketika cucunya mencium tangan kanannya, hingga memeluknya begitu erat.
Sejak pertemuan berkesan itu, lampu hijau pun menyala terang. Suami istri itu pun bisa diterima dengan tangan terbuka oleh keluarga besar sang suami. Setelah sepuluh tahun. [Mh]