ChanelMuslim.com- SARA atau suku, agama, ras, dan antar golongan memang tidak punya hubungan sama sekali dengan roti. SARA merupakan sesuatu yang harus dihindari demi keharmonisan masyarakat, sementara roti sekadar salah satu cemilan.
Karena sesuatu hal, orang bisa panik, bahkan paranoid. Dalam kamus bahasa Indonesia, paranoid adalah penyakit jiwa yang membuat penderita aneh-aneh yang bersifat khayalan. Pemikiran paranoid biasanya disertai anggapan akan dianiaya oleh sesuatu yang mengancamnya.
Isu terorisme yang sedemikian gencar di awal tahun dua ribuan, pernah membuat masyarakat mengalami paranoid. Jika ada wanita berbusana cadar, pria berjanggut dengan busana jubah; langsung menjadi konotasi yang menyeramkan, “Awas, mungkin dia anggota teroris!”
Seorang teman dari Jamaah Tablig pernah bercerita pengalamannya saat berada di sebuah daerah di Jawa Barat ketika sedang khuruj, atau berdakwah dengan berkeliling ke pelosok kampung.
Karena busana khasnya, berjubah dengan warna gelap, dan berjalan berkelompok, sempat dikepung oleh sejumlah warga. Warga menilai bahwa beberapa anggota Jamaah Tablig tersebut sebagai komplotan teroris yang akan mengacaukan kampung mereka.
Kalau saja tidak ada pihak pemda setempat yang menengahi, entah seperti apa nasib peserta khuruj yang banyak memberikan manfaat untuk daerah yang dikunjunginya.
Ketika warga perumahan Yasmin di Bogor melakukan protes acara kebaktian di perumahan mereka karena tanpa izin, tiba-tiba, para tokoh nasional berkomentar miring. Seolah, warga perumahan Yasmin sedang menghalangi-halangi warga lain yang ingin melaksanakan ibadah.
Padahal, kasusnya tidak seperti itu. Warga perumahan Yasmin justru ingin menegakkan aturan bahwa acara kebaktian tidak boleh dilaksanakan di sebarang tempat, sesuai dengan aturan pemerintah.
Persoalan di perumahan Yasmin tersebut murni kasus hukum, tapi disikapi oleh mereka yang paranoid dengan penyikapan berkonotasi SARA.
Dua bulan terakhir ini, bangsa Indonesia tersedot energinya karena ulah satu orang yang diduga melakukan penistaan agama. Orang ini memiliki dobel minoritas: nasrani dan etnis Cina.
Tentu saja, tuntutan penegakan keadilan sangat wajar disuarakan masyarakat. Masyarakat meminta agar kasus ini diproses secara hukum, dan dilakukan tanpa pandang bulu.
Namun, reaksi yang muncul justru “tak nyambung”. Antara lain, “Kita harus menjaga kebhinekaan Indonesia. Pancasila dan NKRI adalah harga mati.” Dan sebagainya. Dan yang lebih parah lagi, reaksi “tak nyambung” itu justru disuarakan oleh para petinggi negara ini.
Dalam rapat dengar pendapat antara Komisi III dengan jajaran Polri beberapa waktu lalu di DPR, Wakil Ketua Komisi III, Benny K. Harman, sempat mengungkapkan keheranannya.
Menurutnya, kasus dugaan penistaan agama ini murni kasus hukum. Kenapa disikapi menjadi lain dan dihubung-hubungkan dengan kebhinekaan Indonesia, dan SARA.
Begitu pun dengan saat aksi 212 direncanakan. Ketika GNPF MUI menyatakan bahwa aksi dalam bentuk shalat Jumat di jalan, reaksi pun menjadi lain. Ada tokoh ormas Islam yang menyebutnya dengan bid’ah besar.
Tokoh budayawan Betawi, Ridwan Saidi, dalam sebuah diskusi mengomentari ini. Menurutnya antara lain, Namanya juga orang lagi unjuk rasa, ya wajar saja melakukan shalat Jumat di jalan raya. Orang yang shalat Jumat di masjid saja, tumpahnya ke jalan raya juga. Kalau orang rumahnya kebakaran, apa salah dia shalat di atas genteng?
Roti atau cemilan apa pun hanya sekadar makanan biasa. Ada yang jual, wajar kalau ada yang beli. Bukan urusan si penjual, mau dikasih siapa roti yang dibeli si pembeli. Mau dimakan sendiri, mau dikasih pengemis, atau mau dijadikan bantal.
Yah, namanya juga orang lagi paranoid. Roti pun bisa menjadi urusan SARA, alias SARA roti. (mh/foto:pixabay)