ChanelMuslim.com – Cahaya di atas Cahaya – Tadabbur Surat An-Nur (Bag-2), Oleh: Ustadz Dr. H. Saiful Bahri, M.A
Ketiga, pada ayat 6 sampai 10 Allah lebih memerinci lagi.
Bila kasus tersebut terjadi dalam rumah tangga. Bila prahara keji ini terjadi dan dilakukan oleh orang yang paling dekat dalam hidup.
Orang-orang sekarang lebih menyederhanakan istilahnya dengan sebutan ”selingkuh.”
Dalam istilah fikih penyelesaian kasus seperti ini disebut dengan Li’an. Karena suami yang menuduh istrinya berzina tidak memiliki saksi selain dirinya sendiri.
Baca Juga Tadabbur Surat An-Nur (Bag-1) : Cahaya di atas Cahaya
Cahaya di atas Cahaya – Tadabbur Surat An-Nur (Bag-2)
Jika ia pergi mencari 4 saksi maka istrinya yang berzina akan lari dan menyudahi hajatnya.
Bila ia menyimpannya maka ia pendam bara kebencian yang bergejolak dalam dadanya.
Peristiwa ini pernah dialami oleh sahabat Rasul, Hilal bin Umayah sebagaimana yang diceritakan oleh Sa’ad bin Ubadah. Rasul pun akhirnya mencambuknya 80 kali dan dibatalkan persaksiannya dalam hal apapun.
Sampai Allah menurunkan ayat ini. Kemudian keduanya (Hilal dan istrinya) dipanggil Rasulullah dan dimintai sumpahnya seperti yang tertera pada surat Annur ayat 6-9.
Keempat, pada ayat selanjutnya (ayat 11-26) Allah menceritakan sebuah fitnah besar yang menyerbu kehidupan sosial masyarakat Madinah saat itu.
Sebuah prahara yang menimpa keluarga Rasulullah Saw. Yaitu tuduhan kaum munafik terhadap Ibunda Aisyah ra dan sahabat Shafwan bin Muaththal ra.
Para ilmuwan dan para sejarahwan merekam kejadian ini. Seperti apa yang diriwayatkan Imam Bukhari dari cerita Urwah bin Zubeir terhadap apa yang menimpa bibinya (Aisyah).
Fitnah ini terjadi pasca perang Bani Musthaliq pada bulan Sya’ban tahun 5 H.
Rasulullah menyertakan Aisyah ra untuk menemani beliau berdasarkan undian yang diadakan antara istri-istri beliau.
Dalam perjalanan kembali ke Madinah para pasukan beristirahat. Aisyah keluar dari sekedup untanya untuk sebuah keperluan, kemudian kembali lagi. Namun, tiba-tiba beliau merasa kehilangan kalungnya. Maka segera beliau turun kembali dan mencari kalung tersebut.
Sementara para pasukan bersiap-siap untuk melanjutkan perjalanan. Mereka mengira Aisyah sudah berada di dalam sekedupnya. Maka mereka berjalan. Ketika Aisyah kembali ia telah ditinggal rombongan.
Beliau berharap pasukan mengetahui bahwa sekedup itu kosong dan kembali menjemputnya. Aisyah pun menunggu hingga tertidur.
Kebetulah ada seorang sahabat, Shofwan bin Muaththal lewat. Beliau heran melihat dari jauh ada seseorang tertidur sendirian. Alangkah terkejutnya setelah beliau tahu bahwa orang tersebut adalah Aisyah, istri Rasulullah saw.
Reflek Shofwan beristirja’ (mengatakan: innâ lilLâhi wa innâ ilaihi râji’ûn). Aisyah terbangun juga karena terkejut. Dan mereka sama sekali tidak keluar kata-kata kecuali hanya ucapan Shafwan tersebut.
Kemudian Shafwan mempersilakan Aisyah mengendarai untanya, dan Shafwan pun menuntunnya hingga mereka tiba di Madinah.
Orang-orang yang melihat mereka memasuki Madinah dengan penafsiran masing-masing, hingga terdengar desas-desus yang kurang mengenakkan keluarga Rasulullah.
Kemudian kaum munafik menyulut fitnah ini dan menjadi besar kemudian mengerucut tuduhan selingkuh kepada Aisyah ra. Sehingga menimbulkan prahara fitnah di tengah kaum muslimin. Rasul pun gundah.
Dan Aisyah kembali ke rumah orang tuanya untuk meredakan fitnah ini. Urwah menuturkan perkataan bibinya yang dirundung kesedihan yang sangat hingga kehabisan air mata. Aisyah terus menerus berdoa agar Allah membebaskannya.
Sebagian kaum muslimin ada yang termakan oleh fitnah ini. Hingga turunlah ayat-ayat pembebasan terhadap ibunda Aisyah yang suci dari tuduhan keji kaum munafik.
Orang-orang itu menganggap desas-desus ini sesuatu yang remeh, namun Allah menganggapnya sebuah dosa yang besar. Apalagi mereka tidak pernah mendatangkan empat orang saksi. Maka mereka, para penuduh itu bagi Allah adalah sebesar-besar pendusta.
Allah mengancam orang-orang yang menyulut fitnah ini dengan hukuman yang pedih dan di akhirat. Serta membebaskan keguncangan sosial ini.
Rasulpun memerintahkan hukuman cambuk kepada sebagian sahabatnya yang terpancing dengan tuduhan ini. Mereka kembali diterima persaksiannya setelah mereka bertobat. Kecuali orang-orang munafik yang bersembunyi dari hukum Allah. Kelak Allah akan membuka tabir kebusukan mereka.
Bahkan sampai-sampai Abu Bakar geram dengan salah seorang keluarganya yang miskin yang dikafilnya ikut terlibat dan termakan fitnah tersebut, yaitu Masthah bin Utsatsah. Beliau bersumpah untuk tidak mengafilnya lagi namun Allah menegurnya,
”Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan hendaklah mereka mema’afkan dan berlapang dada. apakah kamu tidak ingin bahwa Allah mengampunimu? dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.”(QS. Annur: 22)
Dan kalam Allah benar-benar tegas meneguhkan kesucian orang-orang yang benar-benar dikenal baik dan sama sekali tak terpikir sama sekali untuk melakukan perbuatan keji.
”Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang baik-baik, yang lengah (dari berpikir untuk berbuat zina), lagi beriman, mereka terkena laknat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar.” (QS. Annur : 23).
Terlebih bila kita mau menadabburi ayat Allah dengan pemaknaan yang dalam pada ayat 26, ”Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah untuk wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki- laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).
Mereka (yang dituduh) itu bersih dari apa yang dituduhkan oleh mereka (yang menuduh itu). Bagi mereka ampunan dan rezki yang mulia (surga).” [Ln]
Bersambung…