ChanelMuslim.com – Cahaya di atas Cahaya – Tadabbur Surat An-Nur (Bag-1) Oleh: Ustadz Dr. H. Saiful Bahri, M.A
Dalam menapaki hidupnya manusia memerlukan petunjuk. Petunjuk ini ibarat secercah cahaya di tengah kegelapan yang pekat.
Luasnya kehidupan yang diarungi oleh manusia yang berada di tengah berbagai nafas dan kepentingan duniawi. Tak jarang dalam kondisi seperti ini manusia melupakan asalnya. Dia berasal dari Allah dan akan kembali kepada-Nya. Kehidupan yang diberikan kepadanya adalah sebuah ujian.
Kelak ia akan mempertanggung-jawabkan semua apa yang dilakukannya di dunia.
Dalam interaksi sosial, manusia memerlukan panduan sebagai pijakan. Apalagi bagi seorang muslim, ia lebih memerlukannya.
Dalam Surat Annur yang sedang kita tadabburi kali ini, Allah menurunkan berbagai aturan sebagai cermin sosial seorang muslim dalam berinteraksi. Erat kaitannya dengan interaksi antara laki-laki dan perempuan, adab-adab rumah tangga serta berbagai sikap terhadap penyelewengan sosial.
Baca Juga: Rumah yang Berlimpah Cahaya dan Keberkahan
Cahaya di atas Cahaya
Dan sebagai contoh riil sejarah, Allah menurunkan beberapa ayat untuk menyikapi fitnah besar berita bohong (ifky) yaitu tuduhan keji orang-orang munafik terhadap Ibunda Aisyah r.a dan Sahabat Shafwan bin Mu’atthal ra.
”Ini (adalah) satu surat yang kami turunkan dan kami wajibkan (menjalankan hukum yang ada di dalam)nya. Dan kami turunkan di dalamnya ayat ayat yang jelas, agar kamu selalu mengingatinya..” (QS. Annur : 1)
Sebagai salah satu surat yang diturunkan di Madinah, memiliki ciri khusus berupa hukum-hukum dan peraturan.
Secara global dapat kita klasifikasikan dalam beberapa permasalahan pokok sebagai berikut.
Pertama:
Pada ayat kedua Allah menjelaskan hukuman bagi pezina baik laki-laki maupun perempuan yaitu didera (dicambuk) 100 kali.
Hukuman ini dikhususkan bagi mereka yang belum pernah menikah. Dan sebagian besar ahli fikih menambahkannya dengan diasingkan selama satu tahun.
Berdasarkan hadits yang diriwayatkan Ubadah bin Shamit ra. Sedangkan untuk laki-laki dan perempuan yang sudah (pernah) menikah maka dihukum rajam.
Dalam istilah fikih disebut dengan ”muhshan”.
Berdasarkan hadits Nabi saw dan perintah beliau untuk merajam pezina yang muhshan serta berdasarkan apa yang beliau lakukan beberapa kali, juga disepakati oleh para shahabat beliau.
”… dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat… ” (QS. Annur: 2)
Yang dimaksudkan bukan melaksanakan hukuman dengan kejam atau sampai melewati batas. Namun tetap menjaga sisi kemanusiaan.
Hanya saja kadang kita malah berbelas kasihan terhadap orang-orang yang berbuat salah tersebut sehingga meninggalkan penerapan hukuman seperti ini.
Seperti kasus pembunuhan. Kadang kita berdebat tentang nasib si pembunuh, namun sering terlupakan bagaimana ia membunuh korbannya. Tentunya bila sudah sama-sama jelas mana saja pihak yang bersalah.
Dalam masalah perzinaan ini tidaklah sepele, karena untuk menetapkannya perlu persaksian empat orang laki-laki yang melihat secara langsung. Atau dengan pengakuan pihak yang bersangkutan.
Selain itu Allah memerintahkan pelaksanaan hukuman ini dengan disaksikan oleh orang banyak. Hal ini dimaksudkan agar orang-orang bisa mengambil ibrah dan pelajaran dari peristiwa tersebut, serta menjauhi perbuatan buruk dan keji ini. Dan Allah menyediakan jalan keluar yang halal, yaitu dengan pernikahan.
Penegasan Allah tentang keburukan perbuatan ini tertera pada ayat berikutnya :
”Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas oran-orang yang mukmin”. (QS. Annur: 3)
Ini bukan sebuah perintah, namun sebuah kaidah sosial yang umum. Artinya tidak selaiknya orang baik-baik menikahi orang-orang yang berzina, baik laki-laki maupun perempuan. Kecuali mereka yang benar-benar bertobat dari perbuatannya.
Konon ayat ini turun ketika ada beberapa orang sahabat Nabi yang terlilit kemiskinan dan kehidupan Madinah sangat perlu biaya yang tidak sedikit. Di pasar dan tempat-tempat umum terlihat ada pintu-pintu yang diberi tanda khusus bahwa penghuninya adalah para perempuan pezina.
Mereka berandai-andai kalau bisa menikahi mereka sampai mencukupi kebutuhan hidup di Madinah. Mereka lalu bertanya pada Rasulullah dan turunlah ayat ini. (HR. Ibnu Abi Hatim)
Menurut sebagian pakar hadits, hadits ini lemah karena perawinya terputus sampai tabiin saja, dalam istilah ilmu hadits disebut mursal.
Ringkasnya hukuman berzina ada dua, yaitu secara hukum dan peraturan yang diterapkan (hudûd) dan hukuman sosial (dengan diperlihatkan prosesi pelaksanaan hukuman dan diharamkan menikahi mereka bagi orang baik-baik)
Kedua:
Pada ayat berikutnya Allah memerinci lebih detai lagi. ”Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi,
“Maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka itulah orang-orang yang fasik. Kecuali orang-orang yang bertaubat sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Annur : 4-5)
Sebuah bentuk proteksi sosial dari Allah. Bahwa tidak selaiknya orang-orang ringan lidah mengatakan sebuah tuduhan tanpa didasari dengan bukti dan persaksian yang cukup seperti yang disebutkan dalam ayat ini, yaitu dengan 4 orang saksi.
Ini juga berlaku untuk perempuan yang menuduh laki-laki atau laki-laki dan perempuan yang menuduh sesamanya berbuat zina. Yang demikian agar orang-orang lebih menjaga lisan dan perkataannya.
Secara ringkas hukuman orang yang menuduh zina orang baik-baik tanpa bukti yang lengkap ada dua macam: secara hukum (didera 80 kali) dan hukuman sosial dengan tidak diterimanya persaksian mereka. [Ln]
(Bersambung bag 2)