KISAH Nyata Tentang Muqobalah Madinah. Masya Allah, sebuah perjuangan seseorang memiliki cerita masing-masing yang penuh hikmah pada akhirnya.
Termasuk sebuah kisah nyata betapa sekolah ke Madinah menjadi sesuatu yang harus diperjuangkan.
Muqobalah Madinah (sebuah cerita hidup)
Kemarau kemarin, hari ini mendung. Akan kah hujan musim ini? Musim ini masih betah ku berada di kota Jogja.
Tinggal di sebuah pondok tahfizh mahasiswa. Shelter selanjutnya setelah berada di Bogor beberapa lama.
Baca Juga: Souq Suwaiqah, Pasar Bersejarah di Madinah
Kisah Nyata Tentang Muqobalah Madinah
Aku dalam kesibukan, mengumpulkan berkas-berkas muqobalah alias tes masuk universitas Islam Madinah.
Di kalangan orang-orang seperti kami, kuliah di sana adalah mimpi yang dirajut sedari lama, madinah begitu istimewa, dengan banyaknya ulama di sana, fasilitas yang begitu jumawa, juga gaji yang tak sedikit, serta tiket gratis musim panas, madinah selalu menjadi daya pikat utama.
Sederhananya, ini bernama cita-cita. Namanya juga cita-cita, tak semua orang bisa menggapainya, sebagai contoh, berapa banyak orang yang ingin jadi presiden di negri ini, sayangnya, hanya ada seorang presiden yang berkuasa setiap beberapa tahun lamanya.
Berkas yang diperlukan pun tak mudah kawan, semua file harus di-scan dan di-upload di situs resmi Universitas Islam terbaik sedunia itu. Diwajibkan menyertakan ijazah, akte kelahiran, juga KTP. Kalau ini mudah buatku.
Tapi juga diharuskan menyertakan SKCK alias catatan kelakuan baik dari kepolisian.
Rumit.
Aku di Jogja, sedang polisi yang menyetujui aku berkelakuan baik ada di Banjarmasin, kota kelahiranku.
Kenal saja tidak dia denganku, bagaimana dia bisa tahu kalo aku tak pernah mencuri mangga tetangga atau tak pernah menerobos lampu merah saat berkendara??
Namun ayahku kawan.., dengan rela menyisakan waktunya untuk berurusan ke kantor polisi agar surat itu ditandatangani, lalu dikirim via email atas jasa seorang sepupuku.
Lalu ada lagi persyaratan lain, surat keterangan sehat. Ini pun sebuah muskil, mengantri berjam-jam di sebuah puskesmas kuno dengan kumpulan orang berbahasa jawa kromo.
Aku parno. Image puskes di kepala ku adalah tempat di mana seorang dokter gigi dengan senjata rahasianya sukses membuatku vokal menangis saat SD. Hingga kini. Aku selalu saja takut ke puskesmas. Parno.
“Bapak Hadi”
Seseorang wanita memanggilku, lantang. Senang sekali dipanggil bapak, dewasa sekali kedengarannya, setidaknya aku sudah bukan anak SD lagi.
“Iya…”
Aku menjawab tegas, lalu masuk ke bilik periksa.
“buat apa surat keterangan sehatnya ?”
Wanita tadi setengah mengintrogasiku.
“Syarat tes perguruan tinggi, bu,” jawabku.
Kulirik kiri dan kanan, tak ada senjata rahasia dokter gigi di sana, bodoh.. ini kan memang bukan poli gigi, ini poli umum.
Aku menarik nafas lega.
Lalu ibu tadi memeriksaku. Dan memberi surat yang kumau tanpa menoleh. Akhirnya dapat juga. Aku menghambur keluar. Aku tak tahan lama-lama di sini.
Lalu tazkiyah alias rekomendasi, diperlukan dua dari lembaga dan dari seorang tokoh. Salah satunya dari lembaga bahasa Arab yang rutin kuikuti, sebenarnya enggak rutin-rutin banget.
Aku gemar sekali bolos, bayangkan, pelajaran khot aku tak pernah masuk satu semester, tak terbilang betapa hancurnya tulisanku.
eLDATA, Lembaga dawah dan ta’lim. Itu nama lembaganya. Susah payah juga aku mendapatkan tanda tangan dari pimpinannya. walau akhirnya beliau dengan ramah menyetujui niat ku ikut tes ke Gontor, Ponorogo.
Oh iya.. Foto. Foto juga salah satu syarat yang harus dipenuhi.
“background merah”
Kata Isnan, kawan sepondokku yang juga mau ikut muqobalah di Gontor.
Aku tak punya waktu banyak untuk berfoto di sebuah studio foto, lagipula biayanya mahal. Sebuah ide konyol hadir di kepalaku.
“Jun, tak pinjem selimutnya yoo..”
Kuambil selimut Junaidi kawanku, heran ia, beberapa detik setelah bangun dari tidur siang nya.
Kugantung selimut merah Junaidi di pintu. Kucari handphone kawanku yang kameranya lumayan. Dan..
“jepreeet”
Aku difoto seadanya. Beberapa kali kejadian itu diulang. Sengaja, agar bisa kupilah mana gambar yang background-nya paling tidak disangka itu adalah selimut.
Tak peduli ku bagaimanapun mimik wajahku, asal aku punya wajah saja lah.
Lalu, sebuah tazkiyah lagi, aku ingin dari Ustaz Abdullah. Beliau adalah seorang pengajar di salah satu pesantren terbaik kota ini.
Beruntungnya, beliau ada jadwal mengisi kajian di pondok kami seminggu sekali. Kitab kasyfu syubhat itu dibawakan beliau dengan begitu jelas, retorika yang menarik, dan gaya yang sangat khas.
Wajar saja, beliau lulusan dari Universitas Islam Madinah jurusan Da’wah. Melihat beliau, aku ingin suatu hari nanti mengambil jurusan da’wah juga.
Malam ini beliau datang, aku sudah menyiapkan diri bertemu beliau dari siang, kuatur kata-kata yang sopan untuk meminta restu dari beliau, kuhafalkan sampai benar-benar lancar. Ku ulang-ulang dengan begitu teliti. Jadi begini rencana nya:
“Ustaz, ana ingin mencoba ikut tes masuk Madinah. Insya Allah. Sudilah kiranya antum memberi tazkiyah buat ana. Ini ustaz, mohon ditandatangani. Semoga Allah memudahkan urusan kita, dan membalas kebaikan antum dengan sebaik-baik balasan.”
Harus begitu! Ya… harus begitu. Tak boleh susut satu huruf pun. Itu juga harus dengan intonasi yang penuh wibawa. Seperti seorang pemuda yang duduk di hadapan seorang calon mertua, ingin meminang gadis impiannya.
Sore harinya aku serius membujuk Ahmadi, seorang temanku di pondok, dia baru saja menyelesaikan masa pengabdiannya di pondok al-Irsyad Salatiga.
Dan mengisi waktu kosong sebelum masuk ke LIPIA dengan menghafal qur’an di pondokku.
Wajar saja, aku tak bisa mengetik tulisan arab pada keyboard komputer Indonesia. Tak hafal ku urutan hurufnya.
Ahmadi mengetik bijak, baik sekali kawanku ini, ingin rasanya kubelikan ia soto daging dekat perempatan sana.
“Nih udah jadi akh..” katanya.
Aku girang bukan kepalang. Layaknya seseorang yang menemukan harta karun. Aku hanya tinggal meminta tanda tangan dari beliau. Aku mengira Ustaz akan sangat senang hati memberikan restunya.
Diberikannya tanda tangannya laksana seorang master kungfu menyerahkan gulungan kertas jurus rahasia kungfu terhebat.
Yang tak diberikannya kecuali kepada murid nya yang telah dikarantina berbulan-bulan lamanya.
Selepas magrib, kajian beliau dimulai, aku duduk ta’zhim. Mendengarkan beliau mengupas kitab aqidah itu dengan cermat.
Aku duduk di shaf paling depan. Sedikit gugup. Sedikit lelah. Dan banyak kantuk. Tapi aku harus tetap kelihatan serius. Karena aku harus dapat rekomendasi guruku ini. aku bertahan.
Kajian selesai dilanjutkan shalat isya berjamaah. Aku setia menunggu. Santri-santri yang lain perlahan meninggalkan tempat kajian. Aku lalu meminta Ustaz Abdullah untuk berbicara.
“Afwan Ustaz, ana ada perlu sebentar dengan antum..”
Pintaku santun.
“ooh..na’am..”
“Begini, ustaz..” aku terbata
Aku berfikir. Mengingat-ingat susunan kata yang tadi kuhafal.
“Ustaz, ana ingin mencoba ikut tes masuk Madinah. Insya Allah….”
Wajah beliau datar.
“hmm… “
Aku tak berani meneruskan hafalanku. Ada sesuatu yang ingin disampaikan beliau. Aku bungkam.
“Begini.. hmm siapa nama antum?”
“Hadi, Ust..”
“Baik, Hadi… tes muqobalah itu saingannya berat, yang daftar banyaak. Antum perlu persiapan.”
Wajah beliau menggambarkan betapa beratnya tes itu. Seolah itu adalah gunung tertinggi di Papua yang dihujani es di atasnya. Dan tak bisa didaki oleh pemuda ceking sepertiku.
“Di pondok saya ada 9 orang yang daftar, mereka hafal al-qur’an semua. Bahasa arab mereka juga hebat.”
Hujan es di Papua tadi serasa pindah ke atas kepalaku.
“Jadi, menurut saya.. antum belajar dulu saja, selesaikan hafalannya. Belajar bahasa Arabnya diperbaiki. Ya mungkin saja tahun-tahun berikutnya bisa mencoba.”
Aku tercekat di gundukan salju. Kakiku kaku. Tanganku beku. Serasa ada sesuatu yang menghalangi nafasku.
Seberapa diplomatis pun beliau berkata, itu tetap saja di telingaku seperti:
“Kuliah di Madinah itu adalah tempatnya orang-orang cerdas. Pintar bahasa Arab. Hafal al-qur’an. Bukan pemalas sepertimu. Tahu apa kamu tentang bahasa Arab? Berapa hafalan al-qur’an mu? Paling juga baru beberapa juz saja.. sepertinya orang-orang sepertimu tak akan pernah bisa belajar ke sana.”
Setelah tertimbun salju, aku jatuh di tebing-tebing curam. Lalu hancur bersama malam.
“Saya mau pamit pulang dulu.. sudah malam.”
Beliau pamit pulang. Aku tersadar.
“oooh.. na’am Ustaz.”
Beliau berlalu. Kulihat di depan pintu beliau menunggangi sepeda motornya lalu pergi.
Makin lama makin kabur sosok beliau kulihat. Bukan hanya karena beliau pergi menjauh. Tapi juga karena hujan menggenang di mataku. Banjiri retinaku.
Baca juga: Kampus Universitas Islam Madinah yang Begitu Berbeda
Mungkin beliau memang benar. Aku memang tak pantas pergi ke sana. Menghayal bisa belajar di universitas Islam terbaik itu sesuatu yang berlebihan untukku.
Apalagi berharap bisa menjelajahi jazirah arab lalu bertualang sampai Damaskus. Mustahil.
Si bodoh sepertiku memang paling hebat bisa punya pekerjaan kecil-kecilan sambil menabung agar bisa wisata keliling Jawa atau kalau untung sedikit bisa ke Sumatra atau Sulawesi. Cuma itu.
Atau mungkin saja aku memang tak pantas berada di kalangan ikhwan, kalangan penuntut ilmu seperti mereka.
Mungkin aku lebih pantas menjadi tukang service handphone yang sekali-sekali selingkuh jadi tukang tulis cerita pendek.
Aku menghirup nafas. Semua usahaku terasa sia-sia. Harta karunku lenyap. Aku terkapar di kamar. Besok selepas shubuh aku harus setoran al-qur’an, langsung pada Ustaz Abu zakariyya. Pimpinan pondokku.
Seberapa pun hancurnya aku, aku harus tetap setoran besok. Biarlah aku membaca al-qur’an sebentar persiapan untuk setoran besok. Aku membaca beberapa lembar surah al-kahfi sampai kantuk membawaku pergi..
Aku berada di sebuah tempat yang dihamburi cahaya lampu kuning dan putih. Di sekitarku banyak orang hilir mudik. Di mana ini? Aku tak mengenal siapapun. Aku diam.
Aku tak mengerti bahasa apapun. Aku merasa damai di sini. Sebuah perasaan yang tak tahu apa namanya. Aku merasa.. aku berada di tempat yang begitu suci. Aku merasa… berada… dekat sekali dengan mimbar Baginda Nabi..
Aku bangun ketika azan shubuh berkumandang. Tak jauh dari tempat tidurku ada sebuah mushaf. Rupanya aku ketiduran tadi malam, belum lancar setoran kuhafalkan.
Setelah shalat, aku bergegas membaca lagi halaman demi halaman surah al-kahfi. Biasanya Ustaz Abu Zakariyya datang sebentar lagi. Biarlah aku setor belakangan saja.
Ustaz Abu Zakariyya adalah pimpinan di pondok kami. Beliau pun pernah kuliah di Madinah. Qodarullah, pada tahun terakhir beliau kuliah di sana, ketika beliau liburan ke Indonesia, visa beliau ikut berenang di mesin cuci. Akhirnya beliau tak bisa menyelesaikan pendidikan di sana.
Namun, beliau bukan sembarang orang. Belau adalah hafizh bersanad dengan kompetensi qiroah sab’ah. Jadi beliau bisa membaca al-qur’an dengan tujuh qiro’ah.
Setelah agak hafal, aku memberanikan diri datang ke beliau. Kulihat ruangan sudah agak sepi. Sudah tak ada yang setoran.
“Assalamu’alaikum” salamku
“Wa’alaikumussalam…” jawab beliau ramah. Ada senyum di sana. Ajaib… Aku pun ikut senyum karena nya.
Aku lalu duduk. Mulai membaca ta’awudz. Lalu mengalirlah ayat-ayat itu. Pelan kubaca, seperti yang beliau minta.
Tak berani ku mengurangi panjang mad munfashil, tak berani kurang dari 4-5 harokat. Itu permintaan beliau, karena beliau pun membaca seperti itu kepada gurunya, seorang syaikh sepuh di masjid Nabawi.
Ustaz Abu Zakariyya biasanya sangat teliti. Siapapun yang menyetorkan hafalan kepadanya, harus memperjelas dengung, dan memberikan huruf-huruf haq-nya.
Kulihat beliau memejamkan mata. Sedikit mengayunkan kepala. Ini bagian paling menyenangkan. Artinya beliau sedang menikmati bacaanku. Bacaan yang kuhafal dengan perasaan hati yang galau. Talaqi al-qur’an menenangkan hatiku sejenak.
Setelah selesai. Seperti biasa beliau tersenyum kepadaku. Hangat sekali. Seolah ada selimut bagi seorang gelandangan yang menggigil di malam musim hujan kota Bogor. Jam 2 pagi.
“Mas Hadi gimana muqobalah-nya? Jadi berangkat tidak?”
Mas? Beliau memanggilku Mas? Padahal umur beliau belasan tahun di atasku. Padahal beliau seorang ulama besar di kota ini. Beliau juga pimpinan di pondok ini.
Tapi kata “mas” itu ajaib membuat seseorang merasa dihargai. Merasa dihormati. Beliau bertutur sangat lembut.
“hmm.. belum tau Ustaz..” jawabku sendu.
“loh kenapa?”
“Tazkiyah-nya kurang satu, Ustaz..”
“ooh.. bikin aja, nanti saya tanda tangani..”
Semudah itu… semudah itu beliau menyediakan solusi buatku. Aku seperti anak kecil yang tersesat saat kemping pramuka di sebuah gunung antah berantah, lalu bertemu dengan tim SAR setelah mencariku selama 2 hari.
Beliau kembali tersenyum. Makna senyum nya, “tenanglah anak muda. urusan tazkiyah itu perkara yang sangat mudah,”
“jazakumullahu khairan, ustaz..”
Aku lalu pamit. Meng-edit tazkiyah sebelumnya, kuganti dengan nama Ustaz Abu.
“Ustadz.. ini tazkiyah-nya..”
Aku menyerahkan selembar kertas. Beserta temannya bernama pulpen.
“Oooh iyaa..”
Beliau tersenyum. Enak sekali beliau ini dipandang. Beliau seolah mengajariku untuk tetap optimis dalam hidup. Tersenyum.
“Ya dicoba saja. Kita kan hanya bisa berikhtiar. Masalah hasil kita serahkan kapada gusti Allah. Sekalian cari pengalaman. Ya toh?…”
Aku benar-benar merasa kuat. Ada energi baru di sela-sela tubuhku.
“Semoga sukses ya muqobalahnya. Jangan lupa banyak berdoa.”
Beliau menambahkan.
Bagiku, beliau adalah cahaya. Ingat pertama kali aku bertemu dengan beliau, ketika itu beliau bercerita tentang filosofinya,
“Bagi saya al-qur’an itu adalah teman.”
Itu juga filosofi yang kuanut. Dan kuharap tetap begitu sampai ku mati.
Aku mendoakan ustaz ku ini atas kebaikannya kepadaku. Banyak ulama yang kukenal di bumi yang begitu luas ini. Namun beliau tetap istimewa. Seseorang yang namanya kuselipkan di dalam doa. Di waktu-waktu mustajab doa.
Aku mendapat semua yang dibutuhkan untuk ikut tes.
Setelah meng-upload semua file. Aku mendapat nomer aplikasi berkas. Kucatat di handpone. Lalu aku menuju Ponorogo.
Belasan bulan berlalu. Hari itu di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Di sekitarku banyak sekali pemuda yang sedang berbahagia.
Tawa ada di wajah mereka. Mereka sangat bersemangat. Sebagiannya sudah saling mengenal satu-sama lain. Aku menjadi bagian dari wajah-wajah itu. Berbahagia..
Di satu pojok hadir sesosok yang sudah sangat kukenal, berdiri ia di sana, menatapku seksama. Entah apa yang dipikirkannya.
Dia adalah Ustaz Abdullah, guruku sekaligus orang yang menolakku. Hari ini, kami bertemu kembali, beliau mengantar dua muridnya yang juga berbahagia.Teringat dulu betapa sakitnya saat ditolak, dan perihnya kecewa.
Tapi sudahlah..
Beliau kaget saat melihatku.. tak beliau sangka orang yang dahulu ditolaknya bisa ada di kumpulan ini.
Kusapa beliau dengan senyuman, dan sedikit harapan agar beliau mau mendoakan.
Tak ada dendam. Beliau tetap kuanggap guru.
Aku lalu pamit, aku dan para pemuda ini akan segera menaiki pesawat. Kami dari banyak daerah yang berlainan. namun sekarang kami memiliki satu tujuan.
Pesawat melayang ke arah barat daya. Ke negeri yang ada dalam cerita..
negeri cita-cita.
Penulis: Akhyar, Mahasiswa Fakultas Dakwah Semester 1 Universitas Islam Madinah
Robwah, Medinah, KSA, Desember 2012.
Ilustrasi: Sebuah senja di Kampus Universitas Islam Madinah
Sumber : Fanpage Di Kota Nabi