APAKAH kerja sampingan yang dilakukan saat jam kerja dibolehkan? Saya karyawan di sebuah perusahaan yang bekerja dari pagi hingga sore.
Untuk menambah penghasilan, saya ingin melakukan kerja sampingan sebagai dropshipper online untuk produk-produk kebutuhan rumah tangga atau investasi di efek-efek syariah.
Bagaimana pandangan syariahnya? Mohon penjelasan, Ustaz.
Oleh: Ustaz Dr. Oni Sahroni (Anggota Dewan Syariah Nasional MUI)
Pertama, prinsip dasarnya adalah fokus menunaikan tugas selama jam kerja dan tidak melakukan aktivitas lain yang berpotensi melalaikan tugasnya.
Hal itu seperti kerja sampingan saat jam kerja, baik saat ada aturan perusahaan yang melarang karyawan kerja sampingan atau tidak, tetapi kelaziman menyimpulkan bahwa kerja sampingan itu mengganggu dan melalaikan tugasnya atau membuka kecemburuan sesama karyawan.
Kedua, bekerja sampingan diperbolehkan saat perusahaan tempat bekerja memperbolehkannya untuk jenis pekerjaan tertentu.
Selain itu, pekerjaannya halal dan tidak melalaikan tugas-tugasnya saat bekerja.
Dia juga tetap fokus saat bekerja dengan merujuk pada ketentuan internal perusahaan tempat bekerja.
Ketiga, memilih pilihan yang lebih hati-hati, yaitu walaupun bekerja sampingan, tetapi dilakukan di luar jam kerja.
Atau, memilih jenis penghasilan tambahan yang tidak menguras perhatian dan konsentrasi, seperti investasi dalam saham dan reksa dana syariah.
Baca Juga: Aduh, Kerja Sampingan Ibu Rumah Tangga di Karawang ini Jualan Narkoba
Hukum Kerja Sampingan saat Jam Kerja
Keempat, di antara hal-hal yang harus dipertimbangkan agar bisa fokus mengerjakan tugasnya sebagai seorang professional adalah:
a. Memilih jenis pekerjaan yang halal, dapat dijadikan sumber pendapatan, sesuai dengan passion, bisa mengembangkan skill atau kemampuannya, serta pekerjaan tersebut berkontribusi terhadap peran sosialnya agar pekerjaannya bisa dinikmati.
b. Meluangkan waktu dan perhatian yang cukup, serta tidak melakukan pekerjaan sampingan saat diprediksi akan menyita waktu dan melalaikan tugasnya
c. Bagi lembaga yang menerima jasa (pemberi pekerjaan) perlu memastikan bahwa hak-hak karyawannya, termasuk gaji terpenuhi, agar mereka bisa fokus melakukan pekerjaannya.
Kelima, hal ini merujuk pada tuntunan umum dalam melakukan sebuah pekerjaan, di antaranya hadits Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam,
“Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat baik terhadap segala sesuatu..” (H.R. Muslim)
Hadis tersebut menjelaskan tentang kewajiban untuk menunaikan pekerjaan dengan penuh totalitas dan baik sesuai target perusahaan.
Sebaliknya, melakukan pekerjaan setengah-setengah dan tidak sesuai dengan tugasnya itu bertentangan dengan hadis tersebut.
Selain itu, merujuk kepada akad ijarah yang mendasari perjanjian antara pegawai dan perusahaan tempat bekerja, karyawan mendedikasikan waktunya saat bekerja untuk perusahaan dan sebagai kompensasinya perusahaan memenuhi hak-hak pegawainya.
Sebagaimana hadis Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “….Kaum muslimin terikat dengan syarat yang mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.” (H.R. Tirmidzi)
Kemudian, perlu ada kriteria dan parameter yang menunjukkan bahwa ini dikerjakan dalam bentuk ihsan dan ada perjanjian yang ditandatangani oleh si penerima pekerjaan dengan si pemberi pekerjaan.
Karena masing-masing pihak sudah terikat perjanjian, seluruhnya harus memenuhi apa yang disepakati, termasuk jam kerja, output pekerjaan, dan lainnya.
Sebagaimana kaidah, “Sesuatu yang diketahui (berlaku) secara adat (berdasarkan kebiasaan) sama statusnya dengan sesuatu yang ditetapkan sebagai syarat.” (Ali Haidar, Durar al-Hukkam, 233).
Wallahua’lam.[ind]
*artikel ini tayang di Koran Republika, Rabu 22 September 2021 hlm. 10.