Eyang perawan. Aku memanggilnya Tante Tami. Orangnya urakan, tapi ramah, dan juga perhatian. Usianya seumuran dengan ibu mertuaku. Namun, hingga kini, Tante Tami belum juga bertemu jodohnya.
Sudah 12 tahun aku mengenalnya, tapi selama itu pula aku belum sempat menyelami kepribadiannya. Setauku, dibalik sikap urakannya, ada kerinduan mendalam untuk menikah dan hidup normal seperti orang-orang pada umumnya. Pernah beberapa kali, ia bercerita ada seorang laki-laki yang mendekatinya, tapi beberapa waktu kemudian hubungan itu gagal lagi. Berkali-kali putus cinta mungkin membuat Tante mulai trauma dan mengubur dalam-dalam harapannya itu. Apalagi kini, usianya sudah merangkak senja. Fokusnya sekarang adalah menyambung hidup dengan bekerja apa saja mengingat dia hidup sebatang kara di pinggiran Jakarta.
Sempat beberapa kali loss contact, setelah aku menikah dan punya anak, akhirnya aku bisa berkomunikasi dengan Tante lagi. Anakku memanggil Tante Tami dengan sebutan “Eyang”. Tantelah yang menginginkan sebutan itu. Tak apalah, dalam batinku, sebutan itu sekadar pelipur lara baginya yang mungkin menganggap anakku seperti cucunya sendiri.
Tante oh Tante, bagiku dirimu adalah ironi zaman tapi juga hikmah kehidupan. Bagaimana seorang wanita begitu kerasnya memperjuangkan hidup sendirian tapi di sisi lain Allah swt memberi ujian, yaitu soal pendamping hidup. Sementara itu, banyak wanita muda belia, bahkan ABG yang rela mengumbar dirinya hanya demi sebuah kesenangan. Sungguh ironi.
Entah berapa kali SMS-mu yang mengungkapkan kerinduan untuk menikah, juga mengenai keluh kesah kesehatanmu, semua aku balas hanya dengan doa agar Allah permudah segala urusanmu.
Walau ‘Eyang’ hingga kini masih ‘perawan’, tapi aku yakin Allah swt pasti memberikan jodoh terbaik untuknya, kalau tidak di dunia, ya di akhirat. (ind)