ChanelMuslim.com – Kebutuhan umat atas fiqh prioritas muncul karena adanya kebingungan umat atas amalannya. Batasan-batasan antara mana yang lebih penting berdasarkan kebutuhan syari’at dan mana yang tidak penting telah menjadi kabur. Dalam masalah ibadah, baik dari sisi nilai, hukum, pelaksanaan dan pemberian beban kewajiban berbeda satu sama lain.
Sebagai contoh, tidak semua amalan wajib memiliki tingkat prioritas yang sama. Ibadah haji yang bisa ditunda pelaksanaannya tidak lebih penting dari pada menyelamatkan saudara muslim yang sedang kesusahan dan di bawah ancaman kematian. Dalam syari’at, ini telah diatur “Kewajiban yang bisa dilakukan segera harus didahulukan atas kewajiban yang bisa ditangguhkan”.
“Apakah (orang-orang) yang memberi minuman kepada orang-orang yang mengerjakan haji dan mengurus Masjidilharam, kamu samakan dengan orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta berjihad di jalan Allah? Mereka tidak sama di sisi Allah. Allah tidak memberikan petunjuk kepada orang-orang zalim.
Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah, dengan harta dan jiwa mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah. Mereka itulah orang-orang yang memperoleh kemenangan.” (Q.S. at-Taubah: 19-20)
Baca Juga: Manfaat Memprioritaskan Waktu untuk Keluarga
Kebutuhan Umat Atas Fiqh Prioritas
Kita bisa ambil contoh lain dari kondisi umat Islam di Indonesia. Penghargaan terhadap artis dan pelaku seni lebih tinggi dibandingkan terhadap ulama, guru, pendidik dan ilmu itu sendiri. Seolah neraca prioritas umat saat ini sedang rusak bahkan hilang.
Orang sibuk dengan ibadah individunya, berdzikir, shalat dll dan mati-matian menumpuk harta untuk dirinya. Alasannya melakukan itu “Untuk meraih ridho Allah”. Disisi lain, ia lupa ada saudara atau tentangganya kelaparan dan berjuang melawan kematian akibat kemiskinan. Padahal amalan yang paling baik disisi Allah adalah yang bermanfaat tidak hanya untuk dirinya sendiri.
Belum lagi, permasalahan kesehatan mental. Ada sekelompok orang yang mati-matian mempromosikan dirinya berhak untuk bahagia dengan melakukan apapun demi kesehatan mentalnya. Hingga ia lupa, ada kebahagian orang tua yang harus digadaikan. Ia pergi dari rumah (kabur) agar terlepas dari aturan orang tua, dengan alasan kesehatan mental.
Orang-orang sibuk melawan kemungkaran, menghina dan mencaci maki mereka yang melanggar syari’at dengan dalih nahi munkar. Tapi lupa, ada saudaranya yang baru menerima cahaya Islam (hijrah) yang butuh pendampingan lebih intens.
Atas kondisi-kondisi di atas, umat seharusnya memiliki kesadaran akan kebutuhan pada fiqh priotas. Kapan ibadah individu diprioritas atas ibadah sosial, dan kapan sebaliknya. Mana yang lebih penting untuk kemaslahatan umat mana yang tidak.
Kesadaran bahwa manusia saat ini lebih butuh nutrisi spiritual daripada jasmani juga dibutuhkan. Agar tidak ada lagi anggapan artis lebih terhomat daripada ulama. [Ln]