ChanelMuslim.com—Suratmi hanya bisa menahan emosi. Sepucuk pesan yang disampaikan oleh generasi Muhammadiyah, Kokam, dari Kepala Desa (Kades) Pogung, Kecamatan Cawas, JW, membuat denyut jantungnya bertambah cepat.
Isteri dari almarhum Siyono yang dituding teroris oleh Densus 88, itu hanya bisa mengelus dada. Saat dirinya menolak untuk bertemu dengan Kades itu, tiga pesan ini yang dialamatkan kepada diri dan keluarganya.
Pertama, sang Kades tak memberikan ijin untuk proses autopsi jasad suaminya yang sudah dimakamkan selama 20 hari. Kalaupun terpaksa dilakukan autopsi, dia minta tak dilakukan di kampung itu.
Pesan kedua, setelah proses autopsi dilakukan di luar kampung, maka jenazah Siyono tidak boleh dikembalikan atau dikubur kembali di kampung semula. Dan pesan terakhir, seluruh anggota keluarga, mulai dari isteri dan kelima anak-anak almarhum Siyono yang masih kecil, juga harus keluar dari desa itu.
Ketiga pesan pendek itu ia renungkan. Sesaat kemudian, ia pun dengan tegar dan tegas menjawab. “Saya sedang mencari keadilan. Dan saya menitipkan usaha ini kepada Muhammadiyah. Kalaupun kemudian usaha saya mencari keadilan, membuat saya harus terusir, sesungguhnya bumi Allah itu luas.”
Suratmi dan keluarganya pasca kematian suaminya, benar-benar merasa penuh teror. Hampir setiap hari ia dapati orang-orang yang tak dikenalinya terkesan mengawasi gerak-gerik kegiatannya dan situasi di sekitar tempat tinggalnya, yang juga terdapat Raudhatul Athfal (RA/TK) Amanah Ummah yang ia kelola.
Benar-benar tak nyaman. Ini yang membuatnya minta bantuan pengamanan dari Ormas Muhammadiyah, tempat suami dan dirinya menjalankan aktivitas keagamaan.
Trauma teror yang belum hilang dari ingatannya itu juga turut dirasakan anak-anak serta murid-muridnya. Sergapan dan penggeledahan yang dilakukan pasukan Densus 88 pada Kamis (10/3/2016) lalu masih menyisakan trauma mendalam bagi murid-muridnya yang duduk di bangku TK Amanah.
M dan R, misalnya. Dua di antara puluhan murid ini yang paling merasakan ketakutan saat pasukan Densus 88 dengan persenjataan lengkap menyambangi lokasi kediaman Siyono. Traumatik ini masih dirasakan hingga saat ini. Sebagian murid lainnya masih trauma begitu melihat mobil-mobil berhenti atau melawati TK Amanah.
Mobil-mobil tamu dari berbagai kalangan memang sejak kematian Siyono hingga proses autopsi, silih berganti berdatangan. Dari aktivis Islam, tokoh masyarakat, pegiat HAM, hingga para awak media. Praktis hilir mudiknya kendaraan roda empat itu membuat murid-murid khawatir dan menjaga jarak.
“Kira-kira sepekan lalu, saat ada wartawan dari CNN Indonesia yang dengan membawa kamera lengkap dengan tiang-tiangnya (tripod), dua anak itu langsung ketakutan karena dikiranya senjata,” ujar Suratmi kepada salah seorang wartawan anggota JITU, Tommy Abdullah, di kediamannya Senin (4/4/2016).
Suratmi yang telah merintis TK sejak tahun 2005, itu menjelaskan, saat itu kedua bocah malang itu langsung lari tunggang-langgang menaiki sepeda mereka. Padahal rumah keduanya berjarak 2 kiloan meter jauhnya dari TK tersebut.
“Laporan dari orangtuanya, M begitu pulang langsung masuk ke kolong tempat tidur di rumahnya. Yang satunya, R, ngumpet di pojokan menangis sampai terkencing-kencing,” cerita Suratmi, seraya menambahkan kejadian itu membuat orang tua kedua muridnya itu tak terima dengan kondisi yang menimpa anaknya saat ini.
Suratmi prihatin. Ia hanya dapat menyerahkan masalahnya kepada-Nya. Sebagai ikhtiar ia berharap Muhammadiyah menjadi pihak yang mau menjembatani permasalahan yang melilitnya.
Muhammadiyah sudah memberikan empati dan layanan kemanusiaan kepadanya. Salah satunya proses autopsi yang berhasil dilaksanakan pada Ahad (3/4/2016). Setelah itu, masalah kematian suaminya juga sudah dibawa ke lembaga-lembaga penegakan HAM.
Kini, Suratmi tetap menjalani kegiatan sehari-harinya sebagai ibu rumah tangga dan pengajar bagi anak-anak dan murid-murid di desanya. Soal kelak dirinya akan benar-benar diusir dari desanya atau tidak, ia tak terlalu memikirkannya. Baginya, masa depan generasi ini harus diselamatkan. (mr/dari berbagai sumber)