ChanelMuslim.com – Jangan mudah melaknat sesama muslim. Sangat baik mengingatkan maupun memperingatkan manusia agar tidak jatuh pada perbuatan syirik,
termasuk yang dimungkinkan terjadi dalam ziarah kubur. Tetapi menempatkannya secara adil dan seimbang juga sangat penting.
Baca Juga: Mengenal Li’an, Ketika Suami Menuduh Istrinya
Jangan Mudah Melaknat Sesama Muslim
Oleh: Ustaz Muhammad Fauzil Adhim
Namanya ‘Abdullah. Ia berjuluk Keledai (Himar). Ia suka membuat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tertawa. Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah berulang kali mencambuknya karena ia mabuk.
Suatu hari, ia ditangkap lagi dan Nabi shallallahu alaihi wa sallam memerintahkan agar dia dicambuk. Maka salah seseorang berkata, “Ya Allah laknatlah dia, betapa sering ia menjalani hukuman cambuk ini.”
RasuluLlah shallallahu alaihi wa sallam pun berkata:
لَا تَلْعَنُوهُ فَوَاللَّهِ مَا عَلِمْتُ إِنَّهُ يُحِبُّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Janganlah kalian melaknat dia, demi Allah, setahuku dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” (HR. Bukhari).
Kalian dengar perkataan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam? Jangan melaknat. Padahal laki-laki itu sudah sangat jelas kesalahannya. Ia kecanduan khamr, sedangkan meminum khamr termasuk dosa besar.
Tetapi ‘Abdullah, nama laki-laki itu, masih menunjukkan kecintaannya kepada Allah dan rasul-Nya. Maka, ia tidak boleh dilaknat. Khamr memang terlaknat, baik bagi peminum, pembuat maupun penjualnya.
Tetapi laknat itu tidak ditujukan langsung kepada orang per orang.
Perhatikan pula perkataan beliau Shallallahu alaihi wa sallam tentang ‘Abdullah. Didahului dengan sumpah, wallahi (demi Allah), beliau shallallahu alaihi wa sallam kemudian menyatakan,
“Setahuku, dia mencintai Allah dan rasul-Nya.” Alangkah santun beliau. Dan alangkah berbeda sebagian orang di masa sekarang yang mengaku mengikuti sunnah beliau shallallahu alaihi wa sallam
dengan mudah menetapkan keburukan atas diri seseorang, sekelompok orang bahkan suatu kaum serta memastikan tuduhan ke atas mereka dan melaknatnya.
Sama-sama bernama ‘Abdullah, sangat berbeda dengan ‘Abdullah Al-Qasimi. Ia memiliki pengetahuan yang sangat luas dalam agama ini, hafal Al-Qur’an semenjak kecil,
menguasai tafsir dan sejarah serta berbagai cabang keilmuan lainnya. Ia banyak menghasilkan karya, tetapi ada yang luput dari perhatiannya, yakni suka menyanjung diri dengan menulis syair tentang dirinya.
Ia juga sangat tajam perkataannya terhadap orang-orang berziarah kubur dengan menyatakan mereka melakukan kesyirikan.
Sangat baik mengingatkan maupun memperingatkan manusia agar tidak jatuh pada perbuatan syirik, termasuk yang dimungkinkan terjadi dalam ziarah kubur.
Tetapi menempatkannya secara adil dan seimbang juga sangat penting.
‘Abdullah Al-Qasimi kelak mati dalam keadaan murtad. Ia mati sebagai atheis. Bukan sekadar kafir.
Ia mati di Mesir tanggal 9 Januari 1996 dengan gelar The Godfather of Arab Atheism alias tokoh atheis paling berpengaruh di dunia Arab.
Alangkah mengerikan akhir hidupnya, mengingatkan kita kepada sebuah hadis yang juga berkenaan dengan laknat.
Dari sahabat Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَبْدَ إِذَا لَعَنَ شَيْئًا صَعِدَتِ اللَّعْنَةُ إِلَى السَّمَاءِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُ السَّمَاءِ دُونَهَا، ثُمَّ تَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ فَتُغْلَقُ أَبْوَابُهَا دُونَهَا، ثُمَّ تَأْخُذُ يَمِينًا وَشِمَالًا، فَإِذَا لَمْ تَجِدْ مَسَاغًا رَجَعَتْ إِلَى الَّذِي لُعِنَ، فَإِنْ كَانَ لِذَلِكَ أَهْلًا وَإِلَّا رَجَعَتْ إِلَى قَائِلِهَا
“Jika seorang hamba melaknat sesuatu, maka laknat itu akan naik ke langit, dan tertutuplah pintu-pintu langit di bawahnya. Kemudian laknat itu akan turun lagi ke bumi, namun pintu-pintu bumi telah tetutup.
Laknat itu kemudian bergerak ke kanan dan ke kiri. Jika tidak mendapatkan tempat berlabuh, ia akan menghampiri orang yang dilaknat, jika orang itu memang layak dilaknat.
Namun jika tidak, maka laknat itu akan kembali kepada orang yang melaknat.” (HR. Abu Dawud).
Baca Juga: 64 Dosa-Dosa yang Dianggap Biasa
Bersebab Melaknat, Seseorang Dapat Terkena Laknat
Melaknat sesuatu saja sudah besar keburukannya. Apalagi melaknat sesama muslim yang mereka bukan peminum khamr.
Bersebab melaknat, seseorang dapat terkena laknat yang ia ucapkan sendiri apabila sesuatu yang bahkan “hanyalah” angin atau hewan tunggangan tidak layak mendapat laknat.
Apalagi melaknat muslimin yang beribu-ribu jumlahnya dan mereka sedang mengalami penindasan luar biasa, melaknat dan menetapkan tuduhan kepada mereka sangatlah besar keburukannya.
Karena itulah, kita perlu berlindung dari mereka yang bermudah-mudah melaknat, bermudah-mudah menuduh. Keduanya, yakni melaknat dan menuduh, ibarat dua sisi mata uang.
Ringan di lisan maupun ujung jempol saat share, tetapi setiap laknat maupun tuduhan akan kembali kepada dirinya sendiri apabila yang dilaknat maupun dituduh tidak layak mendapatkan laknat maupun tuduhan.
Pertanyaannya, bagaimanakah kalian dapat memastikan kerusakan iman pada sangat banyak orang tanpa pernah duduk bersama,
mengetahui kehidupannya secara langsung dari tiap-tiap yang terkena tuduhan dan laknat? Padahal Usamah bin Zaid saja saat tetap mengayunkan pedangnya ketika musuh tiba bersyahadat.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegurnya dengan keras sebab ia merupakan kesalahan fatal, tetapi itu tidak menjadikan Usamah bin Zaid terhapus jalannya meraih kemuliaan.
Bahkan Usamah bin Zaid yang kelak ditunjuk oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjadi panglima perang di saat beliau shallallahu alaihi wa sallam mendekati wafatnya.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam itu ma’shum. Beliau terjaga dari berbuat dosa. Selain beliau, tidak ada yang ma’shum.
Tetapi mengapa manusia yang berkemungkinan memiliki dosa sangat banyak bertindak seolah-olah lebih ma’shum daripada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam?
Padahal, sekali lagi, tidak ada yang ma’shum selain para nabi. Artinya, sesudah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak ada lagi orang yang ma’shum.[ind]