ChanelMuslim.com- Sibuk bekerja seringkali membuat sulit meluangkan waktu untuk keluarga, disisi lain ayah juga memiliki tangung jawab untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Lalu, bagaimana caranya agar ayah dapat menyeimbangkan waktu antara keluarga dan bekerja?
Berdasarkan survei, 7 dari 10 pria merasa beban mencari nafkah selalu terlintas dipikirannya. Itulah hasil riset Shaunti Feldhahn dalam buku “Foor Women Only: What You Need to Know About the Inner Lives of Men (Hanya untuk wanita: Apa yang Perlu Anda Ketahui Tentang Pria).
Buku yang dirancang agar para istri lebih memahami suaminya, menjelaskan 10 hal yang pria inginkan agar wanita mengetahui tentang mereka.
Salah satu dari 10 survei yang melibatkan responden lebih dari 1.000 pria ini meyebutkan, para pria umunyya merasakan beban yang sangat berat untuk memenuhi kebutuhan keluarganya.
Secara kuantitatif, 71 % pria merasakan bahwa beban mencari nafkah selalu atau sering menjadi bahan pikirannya. Sisanya, 29% pria merasakan beban itu, namun tak selalu sering. Misal, beban hanya muncul saat menghadapi kesulitan keuangan atau kehilangan pekerjaan.
Karena itu, Shaunti Feldhahn yang juga kolumnis khusus tentang pendidikan keluarga (parenting) di The New York Times dan Momlife Today ini menyimpulkan, semua pria secara fitrah sejatinya merasa bertanggung jawab mencari nafkah untuk keluarganya.
Karena setiap lelaki umumnya juga menyadari posisi dirinya sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Agar bisa mempimpin dengan baik, lelaki harus memiliki kemampuan mencari nafkah, jika tidak, wibawanya sebagai kepala keluarga akan hilang.
Secara internal, dalam pikiran setiap pria, umumnya juga akan merasa tidak punya harga diri jika tidak mampu memberikan nafkah yang cukup untuk keluarga. Hal ini sudah menjadi fitrah kam lelaki.
Baca Juga: Ketahanan Keluarga di Masa Pandemi
Semua Istri Matre
Pada sisi yang bersebrangan, ketika berumah tangga, fitrah seorang suami yang bertugas mencari nafkah untuk keluarga, oleh Allah Subhanahu wa ta’alaa dilengkapi dengan menciptakan istri yang memiliki fitrah selalu merasa insecure (tidak aman) dalam hal harta.
Perasaan insecure inilah yang membuat wanita umumnya menjadi matre, banyak menuntut soal uang kepada suami.
Pertanyaanya? Apakah sifat matre pada istri itu buruk? Ustadz Adriano Rusfi yang juga berprofesi sebagai konsultan SDM dan pendidikan menyatakan, sikap matre sudah menjadi fitranya seorang wanita.
Sejak lahir wanita sudah mempunyai banyak pikiran tentang bagaimaan bisa terpenuhi segala kebutuhan hidupnya.” Ini sudah menjadi insting alamiahh setiap wanita,” tandasnya
Bahkan, Ustadz Adriano Rusfi menekankan pentingnya sifat matre pada istri. “ kita sama-sama tahu , jika suami tidak memberi nafkah, kepemimpinan seorang ayah nilainya rendah di mata istri, karena harta menjadi penopang kepemimpinan suami dalam rumah tangga.
Untuk itu, para suami harus menyadari bahwa semua perempuan diciptakan Allah Subhanu wa ta’alaa untuk menjadi insan matre. Jika istri tidak matre, suami menjadi seperti kabayan semua. Malas-malasan, tidur-tiduran di rumah,” ujarnya.
Karenanya, bagi banyak pria, bekerja atau berbisnis merupakan cara romantis mengungkapkan cinta pada istri. Mengambil jam kerja lembur agar bisa lebih banyak menyetorkan penghasilan pada istri.
Apalagi jika suami sering mendengar keluhan istrinya tentang harga berbagai kebutuhan pokok naik, mahalnya uang sekolah anak dan berbagai kebutuhan lainnya, maka suami umumya akan tertantang untuk menjawab keluhan sang istri.
Nafkah atau Family Time
Yang membuat banyak suami atau ayah, menjdi pusing tujuh keliling dengan perilaku istri adalah betapa kontradiktifnya perkataan istri. Ustadz Adriano Rudfi mencontohkan, istri banyak mengeluh soal uang, soal kurangnya pendapatan, tapi pada saat yang sama ia juga mengeluh soal kurangnya waktu suami untuk keluarga. Istri menuntut suami agar memiliki lebih banyak family time (waktu untuk keluarga).
Bahkan, ada istri yang mengeluh kalau suaminya tidak mencintainya lagi karena terlalu banyak bekerja. “Kamu lebih mencintai pekerjaanmu daripada aku dan anak-anak kita,” keluh sang istri.”Lho, kamu pikir selama ini aku bekerja keras untuk siapa?” Kalimat inilah yang menjadi respons otomatis setiap suami ketika mendengar keluhan seperti ini dari istrinya.
Pertanyaanya, bagaimana cara mengatasi kontradiksi ini? Menurut Ustadz Adriano Rusfi, sumber masalhanya adalah pria seringkali menyalahartikan keluhan istri.
Fitrah seorang wanita memang sering mengeluh soal uang dan kurangnya penghasilan. Tapi rile of thumb ( aturan praktis) saat suami berinteraksi dengan isttri, seharusnya bukan mendengarkan perkataan yang ia ucapkan, tapi menggali perasaan di balik perkataan istri.
Ayah Ketahui Keinginan Istri yang Sebenarnya
Karena itu, untuk lebih memahami argumen wanita yang selalu memusingkan antara penghasilan dengan family time , kita harus menyimak hasil survei yang dilakukan jeff Feldhahn. Suami Shaunti Feldhahn ini, melakukan survei terhadap ratusan istri dengan satu tujuan, yakni memahami keinginan wanita yang sebenarnya.
Ternyata, selama ini pria, suami banyak yang salah paham tentang keluhan wanita, keluhan istri tentang uang. Kebanyakan pria memahami jika wanita membutuhkan kenyamanan dalam bentuk kemanan finansial.
Padahal, hasil riset Jeff Feldhahn menunjukan, istri lebih banyak membutuhkan kenyamanan emosional dan keakraban dengan suami. Bahkan, istri bersedia berkorban merasa insecure (tidak aman) secara fianansial agar bisa lebih dekat dengan suaminya.
Buktinya, Jeff Feldhahn mengajukan pertanyaan pada ratusan wanita yang sudah menikah: “Jika kamu harus memilih diantara dua keadaan buruk ini, kamu lebih memilih yang mana? (pilih salah satu saja).
Kekurangan dari segi finansial, atau
Merasa insecure (tak aman) karena tidak dekat dengan suami.
Hasilnya, ternyata, 7 dari 10 wanita memilih jawaban No. 1. Para istri menyatakan tidak mengapa uang yang diberikan suami berkurang, asal suami memiliki waktu lebih banyak berinteraksi dengan istri dan anak-anak di rumah.
Baca Juga: Perencanaan Keuangan Islami Penting untuk Keluarga
Empat Kewajiban Ayah dalam Keluarga
Hasil survei di atas, ternyata sesuai dengan kewajiban seorang ayah. Selain mencari nafkah, ada 3 kewajiban lain yang harus ditunaikan seorang ayah.
Bahkah, kata Ustadz Adriano Rusfi, mencari nafkah sebenarnya masuk pada prioritas terakhir. “ Kewajiban ayah nomor satu bukan mencari nafkah. Kewajiban seorang ayah seorang suami, sesuai urutannya adalah mendidik istri, mendidik anak, mengelola rumah tangga, baru yang terakhir mencari nafkah,” tandasnya.
Sesuai urutan kewajiban seorang ayah di atas, maka kewajiban mendidik istri, mendidik anak dan mengelola rumah tangga, berhubungan erat dengan keinginan istri yang sebenarnya, yakni suami yang lebih banyak waktu berinteraksi dengan istri dan anak-anak di rumah.
Tapi, jangan lupa,Islam juga mengajarkan, nafkah seorang suami pada keluarganya adalah penopang kepemimpinan seornag lelaki, seorang suami, sesuai firman Allah Subhanahu wa ta’alaa. Allah melebihkan lelaki karena tekah menafkahkan sebagian hartanya.
Mencari dan menafkahkan sebagian harta inilah yang merupakan proses kepemimpinan suami di keluarga. Tanpa memilki nafkah, kepemimpinan seorang suami tidak akan ada arti dan maknanya di mata istri dan anak-anaknya.
Karena itu, suami dan ayah yang suskes adalah suami dan ayah yang mampu menunaikan empat kewajiban ini seacra baik dan proposonal.
Allah Subhanahu wa ta’alaa berfirman, “Kaum laki-laki itu adala pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka . sebab itu, maka wanita yang shaleh ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada. Karena Allah telah memelihara (mereka). Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuz-nya, maka nasihatilah mereka dan pisaskanlah mereka di tempat tidur mereka dan pukullah mereka. Kemudian, jika mereka menaatimu. Maka janganlah kamu mencari-cari jalan untukmenyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi dan Mahabesar.” (QS. An-Nisaa’ 4:34)
Sumber : OASE No 11/th 04/November 2015