oleh: Kadar Santoso (Pegiat Literasi)
ChanelMuslim.com – Setiap tanggal 9 Februari, insan pers di tanah air merayakan Hari Pers Nasional. Dalam sejarah pers Indonesia, pers yang membawa suara dan aspirasi Islam selalu hadir di tengah masyarakat.
Parada Harahap dalam buku “Pers dan Masyarakat” menulis bahwa surat kabar pertama di Indonesia adalah “Al-Juab”, yang terbit tahun 1795-1801, menggunakan huruf Arab Melayu di bawah pimpinan seorang keturunan Arab dan isinya banyak memuat soal-soal Islam.
Kemudian pada saat perkembangan pers Melayu, pers Islam merupakan ujung tombak dari pers perjuangan. HOS Tjokroaminoto, pemimpin Serikat Islam menerbitkan “Utusan Hindia” tahun 1912, begitupun organisasi Muhammadiyah yang berpusat di Yogyakarta dan Persis di Bandung tak mau ketinggalan.
Tercatat beberapa surat kabar dan majalah Islam yang terbit di tanah air merupakan pers atau media perjuangan. Hingga kini, di Perpustakaan Nasional terdapat koleksi penerbitan Islam di zaman Hindia Belanda tidak kurang dari 25 penerbitan yang terbit sampai tahun 1942. Namun pada masa penjajahan Jepang, seluruh penerbitan pers berada dalam satu cengkraman kekuasaan militerisme Jepang.
Di masa revolusi phisik, kembali pers Islam terbit, dan umumnya menjadi terompet partai. Pada masa itu terdapat dua wilayah, yakni wilayah Republik dan wilayah Nica. Di kedua wilayah itu, boleh dikatakan pers Islam hadir sebagai alat perjuangan dan organ partai Islam.
Begitupun setelah penyerahan kedaulatan, pers Islam tetap sebagai organ partai politik. Koran harian terbesar di kala itu adalah harian “Abadi” sebagai suara partai Masyumi. Kemudian setelah Masyumi pecah dan Nahdlatul Ulama memisahkan diri, NU pun menerbitkan “Duta Masyarakat”. Namun harian Abadi dilarang terbit bersamaan dengan dibubarkannya partai Masyumi oleh pemerintahan Orde Lama.
Meskipun pers Islam senantiasa eksis di masyarakat, namun ironisnya, pers Islam sejak masa penyerahan kedaulatan atau masa demokrasi liberal tetap merupakan pers yang kecil dari segi oplah. Pers beroplah besar pada masa itu adalah pers dagang yang umumnya dimiliki kalangan Tionghoa seperti Kengpo dan Sinpo yang tetap survive hingga tahun 1965.
Memasuki masa Orde Baru di mana umat Islam memiliki andil yang sangat besar, namun situasi pers Islam mengambil berkah yang wajar. Pers Islam tetap menyandarkan diri kepada kepentingan perjuangan partai. Harian Duta Masyarakat terbit lalu mati. Harian Abadi terbit kembali namun mengalami pukulan lagi, karena terkena pemberangusan. Majalah atau penerbitan Islam kalaupun ada yang masih bertahan hanya dapat menutupi ongkos dan hidup dalam kondisi “cukupan saja”.
Pada tahun 90-an di tanah air ada sekitar 300 pemegang Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP), selain itu ada pula beberapa penerbitan dengan status Surat Tanda Terdaftar (STT). Namun hanya beberapa pers Islam yang memiliki surat tersebut, antara lain; Republika, Amanah, Ummat, Suara Muhammadiyah, Harmonis, Tabloid Jum’at, Media Dakwah. Pula dari segi oplah, media massa tersebut masih kalah jauh dibandingkan pers non Islam. Begitu pula dengan media elektronik, hanya sedikit radio dakwah seperti Radio Attahiriyah. Apalagi televisi, meski muncul televisi televisi swasta mengimbangi TVRI, seperti RCTI, SCTV, TPI, dan Metro TV, namun tak satupun bisa disebut TV Islam.
Di era reformasi, Presiden BJ Habibie mengagendakan 8 poin reformasi yang harus dilakukan meliputi (1) reformasi politik, (2) reformasi ekonomi, (3) reformasi pendidikan dan sumber daya manusia, (4) reformasi hukum dan HAM, (5) revitalisasi penguasaan teknologi, (6) reformasi kehidupan sosial budaya, (7) reformasi bidang hankam dan refungsionalisasi ABRI, dan (8) reformasi pola komunikasi, sistem informasi, dan pers.
Khusus reformasi pers, pada 5 Juni 1998, Menteri Penerangan, Yunus Yosfiah, mencabut SK Menpan Nomor 1/1984 tentang Wewenang Pemerintah Membatalkan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Begitu pula SK Menpan Nomor 47 Tahun 1975 dan SK Nomor 184 Tahun 1978 bahwa Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Serikat Penerbitan Surat Kabar (SPS) dan Serikat Grafika Pers (SGF) bukan wadah tunggal organisasi pers sehingga insan pers bebas membentuk organisasi atau asosiasi. Di era reformasi terbit UU Nomor 40/1999 yang menjamin kemerdekaan pers, menghapus sistem lisensi berupa perizinan yang membatasi kebebasan pers, dan menghapus kekuasaan pemerintah untuk melarang penerbitan pers.
Pers atau media mempunyai tanggung jawab sosial dalam mencitrakan Islam. Media Islam, khususnya, tentu dituntut mampu menyalurkan aspirasi umat Islam, hingga akhirnya tercapai perubahan. Namun kuantitas dan kualitas media Islam memang perlu ditingkatkan, baik media cetak maupun media elektronik. Tujuannya, agar kekuatannya semakin besar. Jika lebih banyak media yang mengusung isu Islam, tentu akan lebih menguntungkan umat Islam.
Di masa reformasi ini juga pernah digelar Konferensi Media Islam Internasional ke-2 di Jakarta tahun 2011 dan Konferensi Media Islam Internasional ke-3 tahun di Jakarta tahun 2013. Konferensi Media Islam Internasional yang pertama diselenggarakan di Jakarta pada tanggal 1-3 September 1980, diikuti peserta dari 49 negara.
Terkait dengan perkembangan teknologi informasi dan media sosial, mau tidak mau pers atau media Islam harus lebih berperan. Besarnya jumlah umat Islam di Indonesia, sekira 85% merupakan potensi bagi pers Islam lebih berkembang. Memang masih ada kendala, seperti minimnya daya beli umat maupun kemampuan para pengelola dalam memasarkan produk. Bagaimana dengan dana segar bagi kemajuan pers Islam? Mungkin dalam situasi perekonomian saat ini sulit untuk diwujudkan, namun bagaimanapun pers Islam harus tetap semangat, ikut berperan dalam amar ma’ruf nahi munkar dan membangun baldatun thoyyibatun wa robbun ghofur. Wallahu a’lam.[ind]