SEKOLAH Anak Bukan Sekolah Orangtua
Oleh: Fifi P. Jubilea
Aku… boleh berterus terang. Sesuatu yang mungkin menyakitkan tapi itu adalah kenyataan.
Anak pertamaku pilot dan obsesinya selalu punya usaha sendiri. Dia tak pernah maksa minta beli mobil mewah tapi kalau dikasih pinjam mobil alphard yang kayak gerobak senang banget dan cukup taat.
Kalau aku bilang, “Stay at home!” Padahal dia sudah siap-siap untuk tahun baruan sama temannya. Padahal, sekedar barbeque di apartement tapi kakinya kembali. Kembali ke kamar ketika melihat wajah jutekku.
Kalau berlibur, katanya tidak usah sewa kamar banyak-banyak. Aku di sofa saja atau di karpet asalkan ada bantal dan kaus kaki, cukup baginya.
Anak keduaku, manis dan penyayang. Dia juga menurut dan sedia bantu aku. Anaknya keras tapi kalau aku lebih keras pasti dia akan melemah dan siap ikut aku kemanapun. Pesanku, “Cari lelaki beriman.” Dan dia mengangguk pelan.
Baca Juga: Hari Perpustakaan Sekolah Internasional, Pentingnya Wujudkan Ruang Baca Ideal
Sekolah Anak Bukan Sekolah Orangtua
Hanya pintanya, “Let me with you more years after 8 years i had been living alone.” Aku mengangguk paham. Sehingga aku akhirnya setuju untuk menunda perjodohannya.
Maafkan aku. Anakku lama tidak tinggal dengan orangtua, hampir 8 tahun sendirian. Belum siap menikah, masih ingin dengan orangtua. Aku yang salah.
Anakku yang ketiga, hampir celaka tapi Allah tolong dan akhirnya hidupnya dari pondok ke pondok. Bahkan sudah kuliah pun masih di pondok dan menurut walau wajahnya kecut. Sudah 6 tahun selalu dapat beasiswa, terakhir dapat beasiswa dari Turky dan Saudi tapi karena covid, dia memilih mondok lagi di Indonesia.
Dan juga beasiswa, aku tak paham kemana-mana di sekolah selalu free. Padahal nggak pintar banget katanya. “Oke, aku mondok lagi di usia 17 tahun ini, jadi tahun ke-7. Deal aku ikut apa yang Umi bilang bagus untukku dan doakan aku jadi politikus.”
Anakku keempat, penyayang. Hobinya memberi aku makan, buka murotal Alquran dan memberi aku bunga. Lalu ingat semua pesanku, kalau aku bilang main hape satu jam maka 55 menit sudah diberikan walau agak cemberut.
Tapi satu yang tidak aku lakukan dalam pendidikan, yaitu tidak pernah membentak guru mereka. Aku selalu sepakat, berusaha memahami, dan mendukung guru mereka. Aku tidak pernah menghina guru mereka, tidak membicarakan kekurangan guru mereka di depan mereka, dan akhirnya anakku survive dengan apa pun yang dihadapi di sekolah.
Sekolah adalah tempat mereka bermasyarakat dan memutuskan langkah-langkah dalam hidupnya tanpa intervensi orangtua. Aku tak paham dengan orangtua yang too much intervention dalam pendidikan di sekolah anaknya.
Bahkan anakku berkata, “Setiap sekolah punya aturan sendiri yang ketika kita masuk, kita harus mematuhinya.” Sekolah itu kayak negara, punya aturan sendiri.
“Sebaiknya Umi tidak datang, aku mampu bicara dengan brother Musa. Aku akan buktikan bahwa aku tidak salah dan brother Musa bisa melihat mataku.” Begitu sms-nya ketika aku dengar dia ada terlibat dalam pembullyan di sekolah. Fighting antar negara Asia lawan Arab. Anakku badannya besar dan jadi harapan anak-anak Melayu.
Oh ya anak-anakku ada 4 orang, sekolah di; Al Hikmah, JISc, JIBBS, L Kid (Tahfidz boarding), Tadika Iman Malaysia, Cahaya Iman, Jordan, Hira Boarding Alquran Malaysia, Turkye Ihramizade, Australian Islamic College, Curtin University, Perth Royal Aviation, Cambridge College, Madinah University, dan Pondok Tahfidz Darul Ulum.
Dan dari 14 sekolah untuk 4 anakku sejak TK sampai kuliah, aku tak mengenal satu pun wali kelasnya. Apakah aku cuek? Tidak. Aku hanya percaya bahwa tak ada satu guru atau sekolah pun yang mencelakakan anak didiknya. Aku juga percaya, keberhasilan anak tergantung bagaimana dia menghadapi masalahnya sendiri di sekolah, bukan orangtua yang menyelesaikan.
Aku hanya tunggu surat panggilan dari sekolah. Apakah aku sebagai orangtua harus ikut intervensi atau tidak. Dan aku tsiqah dengan pola pendidikan yang dikelola oleh sekolah tersebut. Makanya aku taruh anakku di situ.
Alhamdulilah selama ini tidak perlu surat panggilan. Hanya satu kali surat, ketika anakku jadi student teladan di Australia dan aku ada di Jogja. Waktu itu ada gempa, aku jadi relawan kalau nggak salah. Dan gurunya bertanya apakah aku bisa datang. Aku pun menelepon anakku.
Anakku, “Tidak usah, aku pun tak mau jadi student teladan. Aku rasa biar cepat dan nggak bikin hati orangtua lain nggak enak karena anaknya nggak jadi student teladan. Nanti mereka banding-bandingkan anaknya dengan anak Umi. Umi nggak usah datang. Aku bisa sendiri.”
Yah, menurutku kalau kita sudah yakin akan satu sekolah. Tak usah terlalu intervensi terhadap pola pendidikan di dalamnya. Biarkan anak kita melalui semua masalahnya dengan caranya tanpa kita. Karena yang sekolah dia bukan kita.
Let them learn what the life is karena life-nya dia. Dia yang akan menghadapi. Let them survive without our support. Entahlah. Cuma saran berdasarkan pengalaman dan kenyataan.
Setuju kan? Semoga.
Allah berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.” (QS. An Nisa: 9)
Website:
https://ChanelMuslim.com/jendelahati
https://www.jakartaislamicschool.com/category/principal-article/
Facebook Fanpage:
https://www.facebook.com/jakartaislamicschoolcom
https://www.facebook.com/Jakarta.Islamic.Boys.Boarding.School
Instagram:
www.instagram.com/fifi.jubilea
Twitter: