SAAT pasukan Islam berjihad dari satu tempat ke tempat berikutnya dan kemenangan demi kemenangan diraih, di Madinah, tinggallah seorang filosof bijak penuh karisma. Setiap kata-katanya penuh hikmah bak mutiara.
Ia berkata kepada orang-orang yang ada di sekelilingnya, “Maukah kalian aku beritahu perbuatan yang paling baik bagi kalian; paling baik di sisi Allah; paling meninggikan derajat kalian; lebih baik daripada memerangi musuh, saat kalian saling menebas batang leher kalian; dan lebih baik dari uang perak dan emas?”
Orang-orang itu pun sama-sama mendongakkan kepala dan bertanya, “Apakah itu, wahai Abu Darda?”
Baca juga: Rasulullah Bertakbir Saat Jalanan Naik dan Bertasbih Saat Jalanan Menurun
Abu Darda, Orang Bijak yang Tiada Duanya
Abu Darda’ memulai pembicaraannya dengan wajah berseri-seri memancarkan cahaya iman dan hikmah, “Zikir kepada Allah, karena sesungguhnya, zikir kepada Allah-lah yang paling besar.”
Orang bijak penuh karisma ini tidak bermaksud menganjurkan orang lain menganut filsafat memencilkan diri, atau menyuruh orang lain berbuat yang negatif.
Atau, menyuruh orang lain lari dari konsekuensi agama baru ini dan konsekuensi paling utama adalah jihad untuk menegakkan agama Islam.
Benar! Abu Darda’ bukanlah tipe orang seperti itu karena ia telah ikut berjihad bersama Rasulullah saw. hingga datang pertolongan Allah dan pembebasan kota Mekah pun tercapai.
Ia adalah tipe orang yang setiap kali merenung, menyelami samudra hikmah, mencari hakikat dan keyakinan, ia mendapati dirinya dalam wujud yang padu dan selalu hidup.
Abu Darda’, orang bijak pada masanya, adalah manusia yang sangat rindu menemukan hakikat. Keimanannya kepada Allah dan Rasulnya sudah tidak bisa ditawar-tawar.
Ia sangat yakin bahwa keimanan ini dengan segala kewajiban dan pemahaman adalah satu-satunya jalan menuju hakikat.
Ia pegang teguh keimanan ini, lalu ia jadikan untuk mewarnai kehidupannya. Ia terus menapaki jalannya hingga sampai ke titik tujuan, lalu ia naiki tangga kejujuran total hingga sampai ke posisi tertinggi di barisan orang-orang yang jujur, seraya membaca firman Allah,
“Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku, hanya untuk Allah semata, Tuhan alam semesta.” (Al-An’am: 162)
Perlawanan Abu Darda’ terhadap hawa nafsu sudah mencapai tingkatan tertinggi, yakni totalitas ibadah dan penghambaan diri kepada Allah, tidak tergoda sedikit pun dengan dunia.
Semua hidupnya diserahkan hanya untuk Allah Pencipta alam semesta.
Sumber : 60 Sirah Sahabat Rasulullah SAW/Khalid Muhammad Khalid/Al Itishom