ChanelMuslim.com- Akhir pekan lalu menjadi deretan hari yang menjadi saksi betapa piciknya Eropa. Mereka membakar, menendang, dan meludahi Alquran seolah sampah menjijikkan. Bagaimana mungkin masyarakat yang mengklaim sebagai pelopor kebebasan ini jauh lebih terbelakang dari negara berkembang sekali pun. Agama itu keyakinan, bukan baju yang bisa dipakai dan dilepas.
Setelah Polandia, Swedia, gelombang kebencian terhadap Islam dipertontonkan masyarakat di Norwegia. Demonstran yang sebagian besar anak muda ini meluapkan kebencian mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Terutama, mereka yang kini menjadi pendatang.
Salah satu luapan kebencian itu, mereka meludahi Alquran. Seraya meneriakkan yel-yel rasis anti Islam, sebuah mushaf Alquran mereka sobek selanjutnya mereka ludahi.
Apa yang mereka lakukan sebenarnya mengungkapkan sisi lain siapa mereka sebenarnya. Bahwa, hanya casingnya saja mereka seperti masyarakat maju, tapi nalarnya jauh sangat terbelakang.
Di negara-negara berkembang seperti kawasan Asia Tenggara, nyaris belum pernah dijumpai adanya kelompok besar masyarakat yang begitu membenci agama lain dengan cara menistakan kitab suci sebuah agama.
Kita mungkin bisa tidak percaya kalau perilaku bar-bar ini sungguh terjadi di negara-negara Eropa. Dari segi pendidikan mereka lebih unggul dari kawasan mana pun. Dan dari sisi ekonomi, kehidupan mereka jauh dari layak untuk ukuran kawasan Asia Tenggara, terlebih lagi Afrika. Apa yang salah di kepala mereka?
Kalau pun persoalannya pada ketidaksukaan terhadap agama Islam. Apakah dengan cara itu bisa menjadi jalan keluar. Kenapa harus Alquran yang dinistakan. Sudahkah mereka menemukan hal-hal yang merusak dalam ayat Alquran. Kenapa Alquran seperti narkoba yang pantas dibakar, ditendang, dan diludahi.
Persoalan kitab suci, ajaran agama; merupakan wilayah pemikiran dan keyakinan. Jika dianggap tidak sesuai dengan budaya lokal, kenapa tidak dilakukan dengan cara diskusi terbuka tentang Alquran dan Islam. Di situlah bisa diuji secara ilmiah, apa yang menakutkan dari Islam dan Alquran. Dan di situ pula, akan ditemukan titik temu dua pihak yang bertolak belakang.
Kedua, membendung sebuah ajaran agama di zaman globalisasi seperti saat ini bisa diumpamakan seperti membendung air di musim penghujan. Sebuah upaya sia-sia yang justru merugikan pelakunya.
Kenapa Eropa harus menyimpan ketakutan terhadap Islam? Apakah Eropa akan berubah menjadi Timur Tengah ketika warganya banyak menjadi muslim. Kenapa tidak menelisik tetangga mereka seperti Inggris. Apakah negara yang disegani dunia itu berubah menjadi sosok yang mereka takutkan setelah banyak warganya menerima Islam.
Ketiga, apakah mereka tidak membuka sejarah, siapa yang sebenarnya sangat berjasa menjadikan Eropa seperti sekarang ini. Sejak kapan Eropa mengenal ilmu pengatahuan dan teknologi. Siapa yang mengajarkan itu semua?
Eropa sebelum masuknya Islam di abad pertengahan tak lebih dari sekumpulan orang bar-bar yang berparas bagus dan berkulit putih. Mereka saling bunuh. Saling berperang satu sama lain. Tidak ada cara berpikir ilmiah. Tidak ada kedokteran, yang marak justru perdukunan dan sihir.
Apakah mereka bisa seperti sekarang ini jika tidak disentuh Islam? Semua tokoh-tokoh ilmuwan Eropa yang ada selalu memiliki kaitan dengan peradaban Islam di Cordoba dan Andalusia yang pernah menjadi pusat peradaban Islam di Eropa di abad pertengahan.
Apa yang salah dengan Islam dan Alquran? Semakin mereka mempertontonkan Islamofobia, semakin dunia merasa miris dengan generasi baru Eropa yang sangat memprihatinkan. Generasi yang tidak bisa berdiskusi secara ilmiah. Yang mereka bisa hanya membakar, merobek, dan meludahi Alquran.
Agama itu keyakinan. Ia hidup dalam hati dan pikiran manusia, dan terefleksikan dalam kehidupan nyata melalui tindakan dan kerja. Jadi, bukan seperti baju yang jika dipaksa bisa ditanggalkan, atau diganti dengan model baju lain sesuai selera lingkungan yang menginginkan. (Mh)