ChanelMuslim.com- Sejumlah pihak terutama para orang tua sepertinya tidak lagi tahan dengan proses Pembelajaran Jarak Jauh atau PJJ. Sejumlah kendala kian bertumpuk. Mulai dari tidak tersedianya alat, mahalnya biaya pulsa, hingga kekhawatiran dampak fisik dan psikologis anak di masa PJJ.
Melalui pesan elektronik yang disebarkan melalui media sosial, sejumlah orang tua mengungkapkan kesumpekannya terhadap PJJ untuk anak-anak mereka. Ungkapan keprihatinan itu juga disalurkan sebagai kegelisahan bersama para orang tua, baik yang tinggal di perkotaan terlebih lagi di pedesaan, baik yang mampu dan terlebih lagi yang selama ini sudah terhimpit ekonomi di masa pandemi.
Sejak pemberlakuan masa PSBB, sudah 5 bulan anak-anak mengikuti PJJ. Hingga kini pun, belum ada kepastian kapan PJJ akan diakhiri. Sementara, tumpukan kendala baik dari siswa maupun orang tua, kian besar. Tumpukan ini dikhawatirkan akan memunculkan ledakan masalah, yang bukan hanya dari sisi siswa dan orang tua, melainkan juga dari kelumpuhan kecerdasan generasi di masa depan.
Dari data menunjukkan bahwa sekitar 57 persen, tenaga pendidik tidak siap melaksanakan PJJ. Mulai dari kendala alat, skill, dan kurikulum. Data lain juga menunjukkan, selama 5 bulan bergulirnya PJJ, terjadi jurang serapan pendidikan antara yang tinggal di perkotaan dengan di pedesaan. Hal ini karena PJJ tidak bisa dilaksanakan kecuali dengan ponsel pintar atau laptop. Plus, pulsa yang masih tergolong barang mahal.
Di sisi lain, pihak pemerintah dinilai belum melakukan langkah terobosan apa pun untuk memecah masalah yang menumpuk selama 5 bulan PJJ ini. Mulai dari penyederhanaan kurikulum, hingga penyediaan alat, setidaknya jaringan internet yang murah dan memadai di lingkungan pelajar.
Sementara, pihak pemerintah melalui Kemendikbud berdalih bahwa tidak semua kendala itu di bawah wewenangnya. Seperti penyediaan jaringan internet yang merupakan wewenang kementerian lain.
Begitu pun soal anggaran pendidikan yang dianggap rakyat sangat besar: 20 persen APBN. Kenyataannya, Kemendikbud memiliki anggaran hanya berkisar 70-an triliun, seperti halnya kementerian lain seperti Kemenkes. Dan itu pun sudah habis untuk biaya rutin seperti pembayaran honor sertifikasi guru non ASN.
Keadaan buntu ini akhirnya menyentak sejumlah pihak melakukan terobosan. Antara lain, pihak sekolah yang melakukan kreativitas agar PJJ lebih menarik meskipun tanpa panduan pemerintah. Langkah lain, sejumlah kepala daerah mulai membuka pembelajaran tatap muka khususnya di wilayah zona hijau. Meskipun, pihak sekolah merasakan bahwa membuka sekolah di masa pandemi tidak semudah yang dibayangkan. Hal ini karena adanya sejumlah tuntutan protokol kesehatan yang berdampak pada pembengkakan anggaran. Duit dari mana?
Secara global, masalah pendidikan di masa pandemi ini tampaknya kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Contoh yang paling sederhana, Gugus Tugas Percepatan Penangan Covid-19 hanya berkutat pada dua hal: ekonomi dan kesehatan. Sementara, tentang pendidikannya nyaris tak terdengar.
Jika keadaan ini terus berlanjut tanpa ada jalan keluar, bukan tidak mungkin, negeri ini akan kian kehilangan generasi unggul untuk waktu yang akan datang. Tanpa pandemi saja, mutu pendidikan nasional seperti berjalan di tempat. Sebuah jurnal internasional pernah menyebut bahwa target pencapaian pendidikan Indonesia untuk tahun 2021 baru bisa tercapai di tahun 2031.
Sejatinya, kapasitas Mas Menteri yang berlatar belakang keilmuan IT, sudah sangat pas untuk menghadapi problematika PJJ ini. Tapi sayangnya, justru masalah dan masalah yang kian bertumpuk dihadapi orang tua, siswa, dan sekolah.
Jangan heran jika setelah 5 bulan PJJ ini, orang tua hanya melihat awan gelap di atas ruang pendidikan anak-anak mereka. Sementara, belum ada satu pihak pun yang bisa memberikan kepastian kapan hal ini akan berakhir.
Sepertinya, tak ada lagi yang bisa dilakukan para orang tua, selain mengangkat bendera putih, sebagai tanda bahwa mereka sudah menyerah. Jangan-jangan, bendera putih pula yang akan dikibarkan pihak pemerintah.(Mh)