ChanelMuslim.com- Fenomena jemput paksa jenazah Covid-19 di masyarakat kian memprihatinkan. Masyarakat seolah menganggap pihak tenaga kesehatan (nakes) sebagai lawan yang menguasai jenazah anggota keluarga mereka. Karena itulah mereka seperti ingin merebut dan mengambil alih jenazah. Kenapa?
Sejatinya, hubungan antara keluarga dengan nakes dalam penanganan wabah Covid-19 seiring dan sejalan. Nakes menolong anggota keluarga masyarakat yang menjadi korban, dan keluarga memfasilitasi nakes agar penanganan menjadi mudah. Mulai korban masih dalam perawatan atau ketika saat pemulasaran.
Namun, kenyataannya jauh dari harapan. Justru, fenomena jemput paksa anggota keluarga terhadap jenazah saat pemulasaran oleh nakes kian marak. Anggota keluarga tak khawatir jika mereka akan tertular. Mereka pun seperti tak lagi takut dengan ancaman hukuman terhadap pelanggaran itu. Kenapa?
Persoalan ini menyangkut dua sudut pandang. Pertama, kurangnya kepercayaan masyarakat terhadap proses medis rumah sakit. Ketika anggota keluarga menanyakan kepada nakes apakah jenazah keluarganya memang positif Covid-19, pihak nakes mengiyakan. Tapi ketika ditanyakan soal bukti hasil pemeriksaan seperti hasil tes Swab, masalah mulai mencuat.
Biasanya, pihak nakes memberikan hasil rapid tes yang menunjukkan pasien reaktif. Tapi, hasil ini kini sudah dipahami masyarakat sebagai hasil tidak pasti. Karena tes ini hanya memeriksa anti bodi bukan anti gen. Orang yang reaktif dari rapid tes tidak mesti positif covid. Dan sebaliknya, yang tidak reaktif dalam tes ini pun tidak jaminan bebas covid.
Kenapa tidak ditunjukkan saja hasil Tes Swab atau hasil PCR-nya? Inilah masalahnya. Pasien memang sudah dilakukan pemeriksaan dengan mengambil sampel lendir di rongga hidung dan mulut pasien. Tapi, butuh waktu berhari-hari apakah sang pasien positif atau negatif covid.
Pertanyaan kemudian, kenapa bisa begitu lama? Hingga, saat pasien wafat pun hasil tes belum dipegang pihak nakes. Dan inilah yang menjadi awal penyebab kesemrawutan hubungan antara keluarga dengan nakes.
Sebenarnya, hasil dari tes PCR hanya membutuhkan waktu paling lama 2 jam. Persoalan baru muncul ketika ada pertanyaan, ada berapa jumlah laboratorium dengan PCR ini? Dikabarkan, jumlahnya baru 57 di seluruh Indonesia. Dan, keberadaannya masih di kota-kota besar saja.
Jadi, yang lama bukan di proses pemeriksaan PCRnya. Melainkan, di lama waktu perjalanan dari sampel pemeriksaan pasien hingga sampai di laboratorium PCR. Juga, antrian proses pemeriksaan karena jumlah sampel yang begitu banyak untuk seluruh Indonesia dengan alat yang masih sangat terbatas.
TIdak heran, jika hasilnya baru diketahui setelah lebih dari sepekan. Padahal, daya rusak virus ini begitu cepat jika pasien memang dalam keadaan memiliki sakit bawaan. Pasien pun akhirnya wafat sebelum diketahui apakah positif atau negatif.
Lalu, dengan bahasa kongkrit apa pihak nakes menjelaskan kepada anggota keluarga yang umumnya tidak memiliki pemahaman yang memadai tentang bahaya covid.
Kedua, dari sudut pandang sosial kultural masyarakat bahwa jenazah memang harus diperlakukan secara terhormat menurut syariat Islam. Fatwa majelis ulama memang jelas tentang penanganan jenazah positif covid. Tapi, bagaimana dengan yang masih terduga?
Belum lagi, masyarakat tidak disuguhkan secara terbuka bagaimana jenazah covid diperlakukan secara terhormat menurut syariat Islam. Seperti, memandikannya walaupun dengan cara darurat, melakukan pembungkusan dengan bahan dari plastik yang tidak lazim, dan terakhir mensholatkan.
Masyarakat sepertinya belum melihat proses darurat ini secara terbuka. Setidaknya, pemandangan ketika jenazah covid dishalatkan. Padahal, semua ini merupakan sebuah keharusan yang lazim di masyarakat.
Hal yang mesti disadari bahwa umat Islam tetap memandang bahwa jenazah memiliki hak untuk diperlakukan secara patut menurut syariat Islam meskipun sebagai pasien covid. Terlebih jika anggota masyarakat menilai bahwa jenazah adalah orang-orang yang mereka hormati seperti orang tua, tokoh agama, dan lainnya.
Jangan sampai ada kesan di masyarakat bahwa jenazah dari pasien covid diperlakukan seperti bangkai menjijikkan yang hanya perlu dibungkus dengan plastik dan dikubur jauh-jauh dari permukiman.
Jika proses ini dilakukan secara terbuka dan terhormat, boleh jadi, masyarakat akan memaklumi bahwa proses itu tidak mengurangi hak orang-orang yang mereka hormati dan sayangi. Terlebih ketika jenazah belum diketahui pasti memang positif covid. (Mh)