ChanelMuslim.com – Berbaik Sangka dengan Musibah
Seseorang bertanya, kenapa Allah menimpakan musibah atau hal-hal yang tidak mengenakkan kepada hamba-hambaNya yang beriman. Padahal, hambaNya sudah begitu taat, banyak amal, dan selalu menjauhi maksiat.
Pertanyaan ini kerap mengusik orang-orang soleh atau mereka yang berusaha untuk tetap menjadi soleh di setiap masa hidupnya. Bukankah jika orang soleh hidup nyaman, tidak ada gangguan, tidak ada hambatan, selalu sukses semua yang diinginkan; akan menjadikannya tambah berpeluang untuk banyak amal.
Baca Juga: Bersabar, Berikhtiar dan Berbaik Sangka dalam Menjemput Takdir
Berbaik Sangka dengan Musibah
Kalau ditanya hal yang tidak mengenakkan apa saja, jawabannya begitu mudah. Bahkan begitu akrab di telinga hampir semua orang.
Ada orang soleh yang hidupnya pas-pasan. Kalau ia ke masjid, baju dan busana itu pula yang selalu ia pakai. Warnanya mulai luntur, jahitannya mulai merenggang, lusuh, dan lainnya. Kalau saja ia banyak uang, tentu ia akan tampil menarik saat berada di masjid. Karena, busananya indah dipandang mata.
Ada orang yang rumahnya sangat minim. Ia bersama istri dan enam anaknya tinggal di rumah dengan hanya tiga ruangan: ruang tamu, kamar, dan dapur. Kalau malam hari, fungsi ruang-ruang itu menjadi samar. Karena siapa pun di keluarga itu bisa menjadikan semua ruang menjadi kamar tidur. Sesak, dan kurang layak.
Kalau saja ia memiliki rumah besar. Ada halaman luas untuk ia dan keluarganya berolah raga agar tetap sehat. Ada ruang tamu untuk memisahkan area untuk keluarga dengan tamu yang ingin duduk berlama-lama. Ada ruang tidur untuk ia dan istri, serta anak-anaknya di ruang tidur yang berbeda. Mereka pun tidak perlu berebutan untuk ke kamar mandi sekadar untuk berwudhu.
Dalam bentuk yang lain, ada juga muslimah solehah yang begitu sulitnya bertemu dengan jodoh. Padahal, ia sudah maksimal menutup aurat, menampilkan akhlak yang mulia di semua pergaulan, berdoa siang malam, dan bersedekah semampunya.
Namun, yang dinanti tak kunjung datang. Bayang-bayang hidup bahagia bersama suami tercinta tetap sebatas wacana yang terus mondar-mandir dari pikiran ke hati dan sebaliknya. Tak kunjung terwujud.
Kalau saja jodoh itu mudah, mungkin ia akan memanfaatkan anugerah keluarganya itu untuk mendulang amal soleh yang lebih banyak lagi. Ia bisa melayani suaminya dengan penuh ridho, mengurus anak-anak, dan seterusnya.
Begitu juga dengan kumpulan orang soleh yang memiliki usaha sangat pas-pasan. Gagasan dan cita-citanya yang besar kerap tersandera dengan modal yang minim. Padahal, kalau saja modal yang mereka miliki besar, boleh jadi semua gagasan dan cita-cita besarnya itu akan membuahkan amal yang luar biasa.
Ada juga orang soleh yang di-phk, padahal baru tiga bulan lalu ia kena phk. Ada yang menahan getir menghentikan cita-cita tinggi anak-anaknya kuliah karena tak ada lagi biaya. Ada lagi yang lain, yang lain, dan yang lainnya.
Sekali lagi, kenapa Allah menimpakan hal buruk dan tidak mengenakkan itu justru terhadap hamba-hambaNya yang soleh, banyak amal, dan gemar bersedekah. Kenapa? Apa ada yang salah dari iman dan solehnya itu?
Ada kesenjangan antara nalar manusia dengan apa yang Allah ajarkan. Nalar kita mungkin mengatakan, semakin tinggi cinta Allah kepada hambaNya, selayaknya, akan semakin banyak nikmat dalam hidup dunia hambaNya.
Kalau nalar itu yang diterapkan, maka orang yang paling kaya, paling banyak memiliki dunia adalah Baginda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasal[am. Karena siapa yang lebih beriman, lebih soleh, lebih banyak amalnya melebihi beliau.
Doa beliau juga makbul. Beliaulah di antara manusia yang begitu akrab dengan Malaikat Jibril. Pertemuan keduanya bisa harian. Beliau pula satu-satunya hamba Allah yang tak ada jarak dengan Yang Maha Kaya dan Sang Pemilik alam raya.
Namun, kayakah beliau shallallahu a’alaihi wasallam? Penuh suka dan nyamankah rute kehidupan beliau? Perhatikanlah, dari tujuh putera puteri beliau, enam di antaranya wafat sebelum beliau wafat. Beliau dan keluarga pernah diusir dari kampung halaman oleh kaumnya sendiri. Beliau dan keluarga pula yang pernah tidak memiliki bahan makanan selama satu bulan.
Jawaban dari pertanyaan di atas mungkin sederhana. Allah menciptakan dunia ini bukan tempat untuk menerima balasan dari amal yang mereka persembahkan. Dunia ini tak ubahnya seperti ladang di mana tempat orang menanam. Dan akhiratlah tempat mereka mendulang panen.
Jadi, kalau ada hamba Allah yang menanti-nanti balasan dari amal yang ia kerjakan saat ia masih hidup di dunia ini, ia sebenarnya telah salah alamat. Selama masih bernyawa, beramal dan beramallah, balasannya nanti di akhirat.
Dan sebenarnya, sebanyak apa pun amal yang mereka kerjakan tidak akan pernah senilai dengan balasan surga yang akan mereka dapatkan. Seseorang butuh nilai amal kualitatif dan bukan sekadar kuantitatif agar bisa senilai dengan surga yang luar biasa.
Apa itu amal kualitatif? Yaitu, amal yang balasannya tanpa batas. Sayangnya, tak banyak orang yang menyadari apa amal yang balasannya tanpa batas itu.
Allah swt. berfirman, “Innama yuwaffash shaabiruuna ajrahum bighairi hisaab.” Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahala mereka tanpa batas. (Q.S az Zumar 10)
Semua musibah yang Allah ujikan kepada hamba-hambaNya yang beriman memiliki target yang luar biasa, yaitu: sabar. Kalau pahalanya dirasa belum cukup, ia diuji musibah lagi, lagi, dan lagi, hingga tanpa ia sadari, melalui sabarnya, ia memiliki nilai yang luar biasa.
Rasulullah saw. bersabda,
مَا يُصِيبُ المُسْلِمَ، مِنْ نَصَبٍ وَلاَ وَصَبٍ، وَلاَ هَمٍّ وَلاَ حُزْنٍ وَلاَ أَذًى وَلاَ غَمٍّ، حَتَّى الشَّوْكَةِ يُشَاكُهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ
“Tidak ada satu musibah yang menimpa setiap muslim, baik rasa capek, sakit, bingung, sedih, gangguan orang lain, resah yang mendalam, sampai duri yang menancap di badannya, kecuali Allah jadikan hal itu sebagai sebab pengampunan dosa-dosanya.” (H.R. Bukhari dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘Anhu).
Jadi, kalau masih ada musibah yang kita alami, kuatkan rasa ridho kita kepada Allah swt. Karena hal itu pertanda derajat kita sedang dinaikkan. (Mh)