SIKAP Imam An Nawawi Rahimahullah terhadap kebijakan penguasa yang mencekik rakyat.
Sulthan Zhahir Baibras ingin memerangi pasukan Tartar di Syam.
Untuk itu raja hendak meminta fatwa para ulama tentang dibolehkannya memungut harta rakyat sebagai biaya jihad melawan Tartar. Maka, para fuqaha (ahli fiqih) Syam menulis kesepakatan yang membolehkan hal itu.
Azh Zhahir bertanya, “Masih adakah yang belum menyetujui kebijakan ini?”
Seseorang menjawab, “Ya, Syaikh Muhyiddin An Nawawi.”
Azh Zhahir meminta Imam An Nawawi untuk menemuinya. Imam An Nawawi memenuhi permintaan itu.
Azh Zhahir berkata, “Tulislah kesepakatan bersama para Ahli Fiqih!”
Namun Imam An Nawawi menolaknya.
Sulthan Zhahir bertanya, “Apa sebabnya kamu tidak mau memberikan fatwa yang membolehkan seperti Ahli Fiqih lainnya?”
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Imam An Nawawi menjawab:
“Aku tahu bahwa dahulu kau menjadi budak Bandaqar, dan kamu tidak punya harta. Setelah itu Allah memberikan kenikmatan kepadamu dan menjadikanmu sebagai raja. Aku telah mendengar bahwa kamu punya seribu budak, setiap budak memiliki simpanan emas, kamu memiliki dua ratus budak wanita, dan mereka semua punya perhiasan. Seandainya kau juga infakkan semua hartamu dan harta budak-budakmu itu, niscaya aku akan fatwakan kepadamu bolehnya mengambil harta rakyat.”
Mendengar jawaban ini, Sulthan Zhahir menjadi marah, lalu berkata, “Keluarlah dari negeriku (Damsyiq/Damaskus).”
Imam An Nawawi menjawab, “Aku turuti dan taati perintahmu.” Lalu Imam An Nawawi keluar menuju daerah Nawa.
Sikap Imam An Nawawi Terhadap Kebijakan Penguasa yang Mencekik Rakyat
Lalu, para Ahli Fiqih berkata kepada Azh Zhahir, “Dia adalah salah satu ulama besar dan orang shalih kami, dan termasuk orang terpercaya dan diteladani. Kembalikanlah dia ke Damaskus.”
Akhirnya, Imam An Nawawi ditawari kembali ke Damaskus namun dia menolak tawaran itu, dan berkata, “Tidak, Aku tidak akan masuk ke sana, selama Azh Zhahir masih ada di dalamnya.”
Satu bulan setelah peristiwa itu Zhahirsyah pun wafat.
(Syaikh Wahiduddin Abdussalam Bali, ‘Ulama wa Umara, Hal. 71)
Inilah simbol keteguhan ulama, kuatnya daya kritis, dan tegar di atas prinsip, bukan sikap diam atau membeo yang selalu menjadi stempel dan bumper semua yang dilakukan dan diinginkan penguasa, sebagaimana sebagian da’i-da’i penjilat penguasa saat ini.
Da’i-da’i yang justru menyerang para aktivis Islam yang mengkritisi kezaliman penguasa. Terbalik.
Inilah ulama Rabbani, di antara bunga-bunga Ahlus Sunnah wal Jamaah yang indah, yang telah mengaplikasikan hadits:
Baca juga: Populerkan Orang Shalih dan Ulama, Jangan Orang Fasik
أفضل الجهاد كلمة عدل ( وفي رواية : حق ) عند سلطان جائر
Jihad paling utama adalah mengutarakan kalimat yang adil (dalam riwayat lain: kalimat yg haq) di hadapan pemimpin yang zalim. (HR. At Tirmidzi, Beliau berkata: hasan gharib. Abu Daud, Ibnu Majah. Lihat As Silsilah Ash Shahihah No. 491)
Saat ini ada kebijakan tidak prorakyat, kenaikan pajak dan kebijakan lainnya di tengah kesulitan rakyat, tapi mana Imam An Nawawinya ..?
Benar apa yang dikatakan Qatadah Rahimahullah:
الْعُلَمَاءُ كَالْمِلْحِ إِذَا فَسَدَ الشَّيْءُ صَلُحَ بِالْمِلْحِ وَإِذَا فَسَدَ الْمِلْحُ لَمْ يَصْلُحْ بِشَيْءٍ
Ulama itu bagaikan garam, jika ada sesuatu yang rusak maka garam akan memperbaikinya, tapi jika garamnya yang rusak maka tidak ada yang bisa diperbaikinya. (Jaami’ Bayan Al’Ilmu wa Fadlih, Hal. 190. Hilyatul Auliya, 3/67).[Sdz]