JAS Merah adalah Jangan sekali-kali melupakan sejarah. Dan Jas Hijau adalah jangan sekali-kali melupakan jasa ulama.
Jaringan Media Profetik menyelenggarakan diskusi bertemakan Jas Merah dan Jas Hijau, Selasa (23/9).
Diskusi yang dilakukan di Depok Jawa Barat ini menghadirkan tiga pembicara: Wakil Ketua MPR: Hidayat Nur Wahid, Pendiri Majalah Sabili: Ustaz Zainal Muttaqin, dan Sekjen PKS: M Kholid.
Jas Merah dan Jas Hijau
Selama ini orang diharapkan untuk tidak melupakan sejarah. Terutama sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Mulai dari awal perjuangan melawan penjajahan, hingga deklarasi kemerdekaan.
Namun begitu, ada semacam bias yang ditampilkan dalam sejarah itu sendiri. Sejarah yang ditulis dan dikenalkan pada bangsa seperti ‘menghapus’ peran ulama di balik perjuangan kemerdekaan Indonesia.
“Seperti dalam sejarah resolusi jihad yang digaungkan Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari pada 22 Oktober 1945. Tapi kenapa dalam museum Pahlawan di Surabaya, peristiwa ini tidak ada. Padahal, dari momen inilah peristiwa Hari Pahlawan 10 November itu terjadi,” ungkap Hidayat Nur Wahid (HNW).
Bagaimana mungkin, masih menurut HNW, museumnya di Surabaya, peristiwanya di Surabaya, tapi ruh atau pencetus dari peristiwa besar itu seperti dihapus begitu saja.
Dengan kata lain, ada sosok besar yang luput dari sorotan sejarah tentang Hari Pahlawan. Beliau adalah Hadratus Syaikh KH Hasyim Asy’ari yang juga pendiri Nahdhatul Ulama.
“Tidak heran jika teriakan yang digaungkan Bung Tomo di momen itu adalah ‘Allahu Akbar. Allahu Akbar. Allahu Akbar! Merdeka. Merdeka. Merdeka!’. Tapi yang sering kita dengar adalah hanya Merdekanya saja, sementara Allahu Akbarnya ‘terhapus’,” ungkap HNW.
HNW juga menyoroti banyak peristiwa sejarah lainnya. Antara lain sosok Jenderal Sudirman yang merupakan kader dan aktivis Muhammadiyah. Latar belakang keislaman ini seperti tak pernah ada dalam tulisan sejarah.
Sejarah Ditulis oleh Para Pemenang
Sementara itu, Ustaz Zainal Muttaqin menganggap hal wajar penghapusan fakta sejarah itu dari sisi yang berbeda. Menurutnya, “Sejarah akan ditulis oleh para pemenang!”
Karena itu, peran kader muda Islam harus serius untuk memenangkan pesta demokrasi. Menurut Ketua Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia wilayah DKI Jakarta ini, aktivis Islam harus menyebar dan menguasai simpul kendali yang penting.
Dalam hal ini, persatuan umat menjadi kata kunci. “Jangan lagi ada sekat atau ketertutupan antara sesama aktivis Islam. Harus saling membantu dan bekerja sama,” ungkapnya.
Sinyalemen Demokrasi Mundur
Sementara itu, Muhammad Kholid menyoroti sinyalemen yang ingin mengembalikan iklim demokrasi saat ini menjadi mundur.
“Ada sinyalemen untuk menjadikan pemilihan kepala daerah hanya di tingkat legislatif. Tidak lagi dipilih langsung. Begitu pun dengan posisi gubernur yang kemungkinan akan dipilih langsung oleh presiden karena posisi tersebut sebagai perpanjangan tangan kekuasaan presiden,” ungkapnya.
Para peserta diskusi begitu antusias untuk mengajukan tulisan fakta sejarah dari sisi yang berbeda. Hal ini agar sejarah tidak mudah diselewengkan atau diputarbalikkan menurut selera kekuasaan.
Selain itu, peserta diskuksi juga menyoroti pelemahan peran partai Islam. Bahkan, sebutan partai Islam tidak lagi sebanyak di awal reformasi, melainkan hanya segelintir saja. [Mh]