MUSIK di ruang publik kini tak lagi gratisan. Ada royalti yang harus dibayar. Jadi, jangan heran kalau kafe, restoran, hotel, bahkan bioskop pun kini sepi musik.
Masyarakat heboh setelah Mie Gacoan di Bali terkena denda royalti musik. Besarannya pun sangat mengejutkan: dua miliar rupiah lebih.
Hal ini karena merujuk undang-undang royalti musik. Yaitu, UU No. 28 tahun 2014. Undang-undang ini diikuti dengan PP No. 56 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Royalti Hak Cipta Lagu atau Musik.
Besaran Royalti
PP No. 56 Tahun 2021 menurunkan kebijakan tentang pengelola royalti. Pihak yang mengelola termasuk mengumpulkan royalti adalah LMKN, singkatan dari Lembaga Manajemen Kolektif Nasional.
LMKN inilah yang mengeluarkan besaran royalti yang harus dibayar oleh pengguna musik untuk publik, seperti kafe, restoran, hotel, dan lainnya.
Besaran royalti yang harus dibayar berbeda-beda. Misalnya, untuk kafe dan restoran, besaran royalti yang harus dibayar sebesar 60 ribu per kursi per tahun. Untuk pub dan distro, sebesar 180 ribu per meter persegi per tahun.
Sementara untuk diskotek dan klub malam lebih mahal lagi. Yaitu, sebesar 250 ribu per meter persegi untuk pencipta lagu dan 180 ribu per meter persegi per tahun untuk royalti hak terkait.
Royalti untuk konser, besarannya lain lagi. Yaitu, sebesar 2 persen dari hasil kotor penjualan tiket dan 1 persen dari tiket gratis.
Ketakutan dan Kebingungan
Sepertinya masyarakat masih belum siap dengan royalti musik ini. Mungkin wajar karena sebelumnya gratisan, kini harus bayar lumayan mahal.
Padahal, di tengah kondisi ekonomi lesu seperti saat ini, mampu bertahan saja sudah bagus. Terutama untuk kafe dan restoran yang masih tergolong UMKM. Lalu, dengan cara apa lagi kalau mereka juga harus membayar royalti yang tidak sedikit.
Selain itu, muncul juga kekhawatiran dari para pengamen yang biasa ‘konser’ di pinggir jalan. Pertanyaan lain, apakah acara resepsi pernikahan atau walimahan yang biasa diiringi musik juga terkena aturan royalti ini?
Karena masih simpang siur; kafe, restoran, dan lainnya lebih memilih ‘menyepi’ daripada was-was ditagih royalti musik. Dan hal ini, boleh jadi, juga akan berpengaruh pada minat konsumen untuk datang belanja.
Tanda Tanya tentang LMKN
Kebingungan ternyata bukan dirasakan oleh para pengguna musik seperti kafe, restoran, dan lainnya. Para artis dan pencipta lagu pun masih mempertanyakan tentang sosok LMKN yang merupakan ‘bentukan’ pemerintah.
Mereka sepertinya masih belum jelas tentang transparansi LMKN. Misalnya, tentang jumlah lagu tertentu yang diputar, dan lainnya. Pendek kata, mereka masih belum yakin kalau LMKN bisa bekerja dengan jujur dan adil.
Selain itu, jika aturan royalti ini dilakukan, para artis atau penyanyi yang bukan pencipta lagu juga akan terkena beban pembayaran yang lumayan besar. Karena tidak semua artis juga sebagai pencipta lagu yang berbagai ‘langgam’.
Dalam hal ini, artis senior Ahmad Dani memberikan tips praktis. Ia mengibaratkan seperti jual beli antara dua pihak: penjual dan pembeli.
Menurutnya, penjual dan pembeli bisa langsung bertransaksi tanpa harus melibatkan pemerintah. Mau tawar-menawar juga bisa.
Namun begitu, antar sesama artis pun tidak satu kata. Secara umum, para artis atau musisi merasa bahwa bebannya terasa lebih besar dari keuntungannya. Kecuali, pencipta lagu yang produktif dan tidak ikutan banyak bernyanyi.
Sengkarut tentang royalti ini bukan sekadar menjadikan musik menjadi tak lagi asyik di tempat publik. Tapi juga membuat para artis saling curiga satu sama lain.
Jadi, sampai kapan kafe dan restoran terus sepi tanpa musik? Ya, sampai aturan musik bisa terlaksana asyik. [Mh]