KAPAN diperbolehkan memperbanyak mahar?
Najasyi Habasyah telah menikahkan Ummu Habibah dengan Rasulullah dan memberinya mahar senilai 4000 dirham, padahal mahar istri-istri Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika itu hanya 400 dirham.
Najasyi lalu mengirimkan Ummu Habibah bersama Syurahbil ibn Hasanah untuk diserahkan kepada Rasulullah.
Kesimpulannya, manusia itu berbeda-beda dalam hal kekayaan dan kemiskinan.
Karena itu, harus dipertimbangkan baik-baik kondisi ekonomi calon suami.
Seseorang tidak diperkenankan menuntutnya untuk membayar melebihi kemampuannya sehingga ia terpaksa berutang dan sebagainya.
Jika calon suami mampu dan tidak terpaksa, bolehlah ia meninggikan harga maharnya.
Akan tetapi, tidak boleh disertai dengan niat sombong atau membanggakan diri, sebab saat itu hukumnya menjadi makruh.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Imam Syafi’i rahimahullah berkata, “Niat atau tujuan dalam mahar merupakan suatu hal yang paling kami sukai. Aku menganjurkan agar mahar itu tidak melebihi mahar Rasulullah untuk istri-istrinya, atau yang beliau tentukan untuk putri-putrinya, yaitu 500 dirham.”
Syaikh al-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Yang dianjurkan dalam mahar (jika suami mampu) hendaknya tidak melebihi mahar para istri dan putri NabiShallallahu ‘Alaihi wa Sallam, baik tunai ataupun ditunda pembayarannya. Mahar itu antara 400-500 dirham murni, atau sekitar 19 dinar. Ini adalah sunnah Rasulullah. Barangsiapa melaksanakannya, berarti ia telah mengikuti sunnah dan petunjuk beliau dalam hal mahar. Abu Hurairah berkata, ‘Mahar kami saat Rasulullah masih hidup adalah sepuluh oka, kemudian beliau taksir kira-kira sebesar 400 dirham’.”
Ibnu Taimiyah melanjutkan, “Barangsiapa tega meninggikan mahar putrinya melebihi mahar putri Rasulullah, yang merupakan makhluk Allah paling baik dan paling mulia dan wanita termulia di dunia, atau melebihi mahar para Ummul Mukminin, berarti orang ini bodoh dan tolol, kendati mampu dan kaya. Adapun jika ia miskin, sungguh tak layak ia memberi mahar kepada seorang wanita, kecuali kadar yang mampu ia bayarkan tanpa harus merugikan diri sendiri.”
Jika Suami Mampu, la Boleh Memperbanyak Mahar untuk Istrinya
Para salafussaleh dahulu terbiasa meminimalkan kadar mahar. Lihat misalnya Abdurrahman ibn Auf. Pada zaman Rasulullah, ia hanya membayar mahar berupa emas sebesar bebijian.
Menurut mereka, emas itu cuma senilai 3,5 dirham. Sementara itu, Sa’id ibn al-Musayyab menikahkan putrinya dengan mahar sebesar dua dirham saja, padahal ia adalah putri Quraisy yang paling mulia.
Terlebih lagi, peristiwa itu terjadi setelah khalifah meminangnya untuk putranya. Namun, Sa’id menolak menikahkan putrinya dengan putra sang khalifah.
Seperti itulah jejak para salafussaleh dalam soal mahar. Sayang sekali, generasi berikutnya pikirannya lebih didominasi oleh keuntungan materi.
Akibatnya, mereka cenderung mempermahal harga mas kawinnya. Bahkan usai merampungkan akad nikah, tak ada yang mereka bicarakan kecuali berapa besar mahar pernikahan.
Seolah-olah mereka baru menonton pacuan kuda atau baru keluar dari tempat pelelangan.
Bahkan sebagian wali, jika ada seorang lelaki datang untuk meminang putrinya atau anak perwaliannya, ia seolah-olah mulai mengasah pisau untuk memisahkan daging lelaki itu dari tulangnya.
Baca juga: 4 Hikmah Disyariatkannya Mahar dalam Pernikahan Menurut Dr. Yusuf Al-Qardhawi
Jika daging telah berhasil disisihkan, ia akan terus membersihkan tulang itu hingga tak ada daging yang tersisa, lalu mengambil semuanya untuk diserahkan kepada anak perempuannya.
Padahal lelaki peminang dalam keadaan fakir dan tak berdaya.
Akibatnya, ia terbeban utang menggunung yang membuatnya murung, siang dan malam tak nyenyak tidur, dan hati resah gelisah senantiasa.
Ia yang tadinya kuat menjadi lemah, yang tadinya gemuk menjadi kurus. Dalam syair dikatakan, “Saat keresahan melanda, tubuh kian mengurus rambut di kening pun ikut memutih dan menua.”
Terlalu mempertinggi mahar dan tidak memudahkan orang-orang dalam soal itu dapat membawa dampak yang parah.
Bisa-bisa banyak wanita menjadi perawan tua di rumah orangtuanya karena tak kunjung menikah.
Masa muda mereka terkikis, umur mereka bertambah tahun demi tahun.
Pernikahan pun menjadi sulit dilakukan oleh kaum muda. Mereka hanya bisa gigit jari, padahal sebenarnya sangat membutuhkannya.
Hal ini tentu bertentangan dengan tujuan syariat yang menganjurkan untuk menikah dan berketurunan.
Dari sini diketahui betapa besar bahaya akibat pelanggaran terhadap petunjuk dan sunnah Rasulullah di dunia dan akhirat.[Sdz]
Sumber: Buku Bekal Pernikahan karya Syaikh Mahmud Al-Mashri.