NAMA lengkapnya adalah Abdullah bin Rawahah bin Tsa’labah Al-Anshari Al-Khazraji, biasa dipanggil Abu Muhammad. Ia adalah paman sahabat besar Nu’man bin Basyir.
Setelah tercapai Bai’at Aqabah II, ia berdiri dan menyampaikan kepada Rasulullah,
“Wahai Rasulullah, ajukanlah syarat yang kamu kehendaki untuk Tuhanmu dan untuk dirimu!”
Saat Nabi hijrah ke Madinah, ia adalah orang yang mula-mula menyambut kedatangan Beliau.
Ia menuntun kendaraan Beliau dan berkata, “Kemarilah, wahai Rasulullah, Anda akan mendapat penghormatan dan perlindungan.”
Dalam perang Badar, ia menantang orang-orang Quraisy bertarung dengan senjata pedang (anggar).
Saat itu, ia keluar bersama dua orang Anshar. Tetapi orang-orang Quraisy menolak tantangannya. Orang-orang Quraisy meminta kepada Nabi untuk mengutus petarung yang sepadan dengan mereka.
Asir bin Zaram, seorang warga Yahudi, pernah mengorganisasi beberapa kabilah untuk melawan Rasulullah.
Kemudian Beliau mengutus Ibnu Rawahah bersama beberapa pasukan berkuda untuk menumpas Asir bin Zaram.
Mereka berhasil menumpas pasukan Asir dan membunuhnya.
Kemudian mereka kembali dan melapor kepada Rasulullah. Beliau mengatakan kepada mereaka, “Allah telah menyelamatkan kalian dari kaum yang berlaku zalim.”
Suatu hari Nabi melintas di depan majlis Abdullah bin Ubay, pemimpin orang-orang munafik. Beliau duduk di majlis tersebut dan membaca Al-Qur’an.
Ibnu Ubay mengatakan kepada Nabi,
“Hei, lebih baik kamu tinggal di rumahmu saja daripada kamu membaca Al-Quran di sini.
“Jika ada orang yang datang kepadamu, maka sampaikanlah Al-Quran itu kepada mereka, tapi kalau tidak ada orang yang datang kepadamu, maka janganlah kamu mendatangi majelisnya dengan apa-apa yang tidak disukainya dari kamu.”
Baca Juga: Abdullah bin Rawahah, Sahabat yang Jenius dan Ahli Perang
Kiprah Abdullah bin Rawahah, Pemberani yang Pandai Bersyair
Mendengar ucapan Ibnu Ubay ini, Ibnu Rawahah bangkit sambil menghunus pedangnya dan berkata,
“Wahai Rasulullah, sesungguhnya apa yang Anda katakan adalah kebenaran yang tidak ada kebatilan yang datang dari arah depan dan belakangnya.
“Demi Allah, sesungguhnya apa yang Anda bacakan tadi adalah sesuatu yang paling aku sukai. Maka, datanglah Anda ke majelis dan rumah kami, karena bacaan Al-Quran itu sesuatu yang paling kami sukai.
“Biarkanlah orang-orang kafir! Sebab, segala kebaikan ada pada Rasulullah. Kami mencegah kalian untuk menakwilkannya (Al-Quran), sebagaimana kami mencegah kalian untuk mereduksi maknanya.”
Umar bin Al-Khathab khawatir kalau-kalau ucapan Ibnu Rawahah ini mendorong orang-orang kafir untuk memaklumkan perang.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengatakan kepada Umar, “Aku juga mendengar ucapannya, wahai Umar.”
Kemudian Beliau menyuruh Umar untuk mengucapkan, “La ilaha illa Alllah, shadaqa wa’dah wa nashara ‘abdah wa hazama al-ahzaba wahadah.”
Ibnu Rawahah ikut dalam perang Badar, perang Uhud, perjanjian Al Hudaibiyah, dan Umrah Al-Qadha’.
Umrah Al-Qadha’ mengatakan, Ibnu Rawahah menuntun kendaraan Rasulullah sambil bersya’ir.
Ia pernah ditugaskan Nabi untuk menggantikan Beliau di Madinah, karena Beliau pergi ke luar kota Madinah dalam rangka untuk berperang.
Ibnu Rawahah memiliki seorang budak perempuan hitam. Suatu hari, ia memarahinya dan menempeleng wajahnya.
Karena cemas, ia melapor kepada Nabi. Nabi menanyakan tentang budak tersebut.
Ibnu Rawahah menjawab, “Budak itu suka berpuasa, shalat dan berwudhu dengan baik. Dia juga bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Anda adalah utusan-Nya.”
“Kalau begitu dia adalah seorang mukminah,” kata Nabi. Ibnu Rawahah berkata, “Demi Dzat yang mengutusmu menjadi Nabi, aku akan memerdekakan dan mengawini dia.”
Ibnu Rawahah pun menepati sumpahnya dan mengawini budak tersebut setelah memerdekakannya.
Setelah itu, orang-orang musyrik mengejeknya sambil berkata, “Ibnu Rawahah menikahi seorang budak, padahal mereka (para budak) mau dinikahi hanya karena mereka ingin memperoleh keturunan yang baik.”
Lalu turunlah firman Allah, “Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walau dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)
Ia pernah datang untuk bertemu dengan Nabi dan Beliau sedang berceramah di atas mimbar. Beliau mengatakan kepada para hadirin, “Duduklah kalian!”
Ibnu Rawahah pun duduk di luar mesjid sampai ceramah beliau selesai.
Tidak lama kemudian, kabar ini sampai ke telinga Nabi, lalu Nabi mengatakan kepada Ibnu Rawahah, “Semoga Allah menambah kesungguhanmu untuk mentaati Allah dan mentaati Rasul-Nya.”
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah menugasinya sebagai salah satu komandan dalam perang Mu’tah. Nabi mendo’akan agar mereka pulang dari medan tempur dengan selamat.
Ibnu Rawahah pamit kepada Nabi sambil berkata, “Wahai Rasulullah, suruhlah aku dengan sesuatu yang dapat aku hapalkan!”
Beliau mengatakan, “Besok, kamu akan mendatangi wilayah yang penduduknya sedikit yang bersujud. Setelah kamu datang, mayoritas penduduknya akan bersujud.”
Beliau juga berpesan, “Berzikirlah kamu mengingat Allah, karena dzikir akan menjadi penolong atas apa yang kamu mohon.”
Tatkala pasukan kaum muslimin berhadapan dengan pasukan Romawi, ia berdiri di hadapan para pasukan dan berkata,
“Wahai pasukan kaum muslimin, demi Allah, kita berperang melawan mereka dengan jumlah pasukan dan persenjataan yang sangat minim;
kita tidak berperang kecuali untuk menegakkan agama yang Allah telah muliakan kita dengannya. Berangkatlah kalian!
Sebab hal itu termasuk salah satu di antara dua kebaikan, perang melawan mereka atau gugur sebagai pahlawan syahid.”
Baca Juga: Zaid bin Haritsah, Anak Rasulullah
Setelah dua panglima perang sebelumnya gugur di medan perang, Zaid dan Ja’far, ia menerima panji-setelah sebelumnya ragu- dan melantunkan syair;
Aku telah bersumpah, wahai jiwaku, kamu maju ke medan tempur atau kamu tidak akan menyukainya.
Jika kuhimpun semua prajurit dan mereka semua lari dari medan tempur, maka aku tidak melihatmu tidak menginginkan surga.
Sudah lama kamu tidak tentram dan kamu tidak apa-apa melainkan berasal dari setetes air mani yang hina.
Ibnu Rawahah akhirnya tampil sebagai panglima perang dan menyerang pasukan Romawi. Pada akhirnya, ia pun gugur di medan perang sebagai pahlawan syahid.
Ketika perang berkecamuk, ia selalu melantunkan sya’ir;
Hai jiwaku, mana yang kamu pilih mati syahid atau mati biasa? Telaga kematian telah berada di hadapanmu.
Jika kamu lakukan seperti apa yang mereka berdua lakukan (Zaid dan Ja’far) berarti kamu telah memperoleh petunjuk dan yang kamu cita-citakan selama ini akan tercapai.
Di antara hadis yang diriwayatkannya, ia berkata, “Nabi melarang seseorang mendatangi keluarganya di malam hari.”
Ia gugur sebagai pahlawan syahid tahun 8 H.[ind]
Sumber: Tokoh-Tokoh Besar Islam Sepanjang Sejarah, Syaikh Muhammad Sa’id Mursi, Pustaka Al-Kautsar