DIBANDINGKAN Nabi, umurnya lebih muda sekitar 30 tahun. Inilah kisah kejeniusan Abu Hurairah dalam menghafal hadis. Dia lahir di Daus, sebuah desa miskin di padang pasir Yaman.
Hidup di tengah kabilah Azad. Ia sudah yatim sejak kecil, yang membantu ibunya menjadi penggembala kambing.
Ia datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pada tahun yang ke-7 Hijriyah sewaktu beliau berada di Khaibar. Ia memeluk Islam karena dorongan kecintaan dan kerinduan.
Dan semenjak ia bertemu dengan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berbai’at kepadanya, hampir-hampir ia tidak berpisah lagi daripadanya kecuali pada saat-saat waktu tidur.
Begitulah berjalan selama masa empat tahun yang dilaluinya bersama Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yakni sejak ia masuk islam sampai wafatnya Nabi, pergi ke sisi Yang Maha Tinggi.
Kita katakan: “Waktu yang empat tahun itu tak ubahnya bagai suatu usia manusia yang panjang lebar, penuh dengan segala yang baik, dari perkataan, sampai kepada perbuatan dan pendengaran!’
Dengan fitrahnya yang kuat, Abu Hurairah radhiyallahu anhu mendapat kesempatan yang besar yang memungkinkannya untuk memainkan peranan penting dalam berbakti kepada agama Allah.
Pahlawan perang di kalangan shahabat, banyak. Ahli fiqih, juru dakwah dan para guru juga tidak sedikit. Akan tetapi, lingkungan dan masyarakat memerlukan tulisan dan penulis.
Pada masa itu, golongan manusia pada umumnya, jadi bukan hanya terbatas pada bangsa Arab saja, tidak mementingkan tulis menulis.
Dan tulis menulis itu belum merupakan bukti kemajuan di masyarakat manapun.
Bahkan Eropa sendiri juga demikian keadaannya sejak kurun waktu yang belum lama ini.
Kebanyakan dari raja-rajnya, tidak terkecuali Charlemagne sebagai tokoh utamanya, adalah orang-orang yang buta huruf, tak tahu tulis baca.
Padahal menurut ukuran masa itu, mereka memiIiki kecerdasan dan kemampuan besar.
Kembali kita pada pembicaraan bermula untuk melihat Abu Hurairah, bagaimana ia dengan fitrahnya dapat menyelami kebutuhan masyarakat baru yang dibangun oleh Islam, yaitu kebutuhan akan orang-orang yang dapat melihat dan memelihara peninggalan dan ajaran-ajarannya.
Pada waktu itu, memang para sahabat yang mampu menulis, tetapi jumlah mereka sedikit sekali, apalagi sebagiannya tak mempunyai kesempatan untuk mencatat Hadis-hadis yang diucapkan oleh Rasul.
Baca Juga: Inspirasi Dakwah Abu Hurairah kepada Ibunya
Kejeniusan Abu Hurairah dalam Menghafal Hadis
Sebenarnya, Abu Hurairah radhiyallahu anhu bukanlah seorang penulis, ia hanya seorang ahli hafal yang mahir, di samping memiliki kesempatan atau mampu mengadakan kesempatan yang diperlukan itu karena ia tak punya tanah yang akan digarap, dan tidak punya perniagaan yang akan diurus.
Ia pun menyadari bahwa dirinya termasuk orang yang masuk Islam belakangan, maka ia bertekad untuk mengejar ketinggalannya, dengan cara mengikuti Rasul terus menerus dan secara tetap menyertai majelisnya.
Kemudian disadarinya pula, adanya bakat pemberian Allah ini pada dirinya, berupa daya ingatannya yang luas dan kuat, serta semakin bertambah kuat, tajam dan luas lagi dengan doa Rasul agar pemilik bakat ini diberi Allah berkat.
Ia menyiapkan dirinya dan menggunakan bakat dan kemampuan karunia Ilahi untuk memikul tanggung jawab dan memelihara peninggalan yang sangat penting ini dan mewariskannya kepada generasi kemudian.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu bukan tergolong dalam barisan penulis, tetapi sebagaimana telah kita utarakan, ia adalah seorang yang terampil menghafal lagi kuat ingatan.
Karena ia tak punya tanah yang akan ditanami atau perniagaan yang akan menyibukkannya, ia tidak berpisah hengan Rasul, baik dalam perjalanan maupun di kala menetap.
Begitulah ia mempermahir dirinya dan ketajaman daya ingatnya untuk menghafal Hadis-hadis Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan pengarahannya.
Sewaktu Rasul telah pulang ke Rafikul’Ala (wafat), Abu Hurairah radhiyallahu anhu terus-menerus menyampaikan hadis-hadis, yang menyebabkan sebagian sahabatnya merasa heran sambil bertanya-tanya di dalam hati, dari mana datangnya hadis-hadis ini, kapan didengarya dan diendapkannya dalam ingatannya.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu telah memberikan penjelasan untuk menghilangkan kecurigaan ini, dan menghapus keragu-raguan yang menulari putra sahabatnya, maka katanya:
“Tuan-tuan telah mengatakan bahwa Abu Hurairah radhiyallahu anhu banyak sekali mengeluarkan hadis dari Nabi Shallallahu alaihi wa sallam.
Dan tuan-tuan katakan pula orang-orang Muhajirin yang lebih dahulu daripadanya masuk Islam, tak ada menceritakan hadis-hadis itu?
Ketahuilah, bahwa sahabat-sahahabatku orang-orang Muhajirin itu, sibuk dengan perdagangan mereka di pasar-pasar, sedang sahabat-sahabatku orang-orang Anshar sibuk degan tanah pertanian mereka.
Sedang aku adalah seorang miskin, yang paling banyak menyertai majelis Rasulullah, maka aku hadir sewaktu yang lain absen. Dan aku selalu ingat seandainya mereka lupa karena kesibukan.
Dan Nabi Shallallahu alaihi wa sallam pernah berbicara kepada kami di suatu hari, kata beliau:
“Siapa yang membentangkan sorbannya hingga selesai pembicaraanku, kemudian ia meraihnya ke dirinya, maka ia takkan terlupa akan suatu pun dari apa yang telah didengarnya dari padaku!”
Maka kuhamparkan kainku, lalu beliau berbicara kepadaku, kemudian kuraih kain itu ke diriku, dan demi Allah, tak ada suatu pun yang terlupa bagiku dari apa yang telah kudengar daripadanya!
Demi Allah, kalau tidaklah karena adanya ayat di dalam Kitabullah niscaya tidak akan kukabarkan kepada kalian sedikit jua pun! Ayat itu ialah:
“Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa-apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan dan petunjuk, sesudah Kami nyatakan kepada manusia di dalam Kitab mereka itulah yang dikutuk oleh Allah dan dikutuk oleh para pengutuk (Malaikat-malaikat)!”
Demikianlah Abu Hurairah radhiyallahu anhu menjelaskan rahasia kenapa hanya ia seorang diri yang banyak mengeluarkan riwayat dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Pertama: karena ia meluangkan waktu untuk menyertai Nabi lebih banyak dari para sahabat lainnya.
Kedua: karena ia memiliki daya ingatan yang kuat, yang telah diberi berkat oleh Rasul, hingga ia jadi semakin kuat.
Ketiga: ia menceritakannya bukan karena ia gemar bercerita, tetapi karena keyakinan bahwa menyebarluaskan hadis-hadis ini, merupakan tanggung jawabnya terhadap agama dan hidupnya.
Kalau tidak dilakukannya, berarti ia menyembunyikan kebaikan dan haq, dan termasuk orang yang lalai yang sudah tentu akan menerima hukuman kelalaiannya!
Oleh sebab itulah ia harus memberitakan, tak suatu pun yang menghalanginya dan tak seorang pun boleh melarangnya.
Hingga pada suatu hari, Amirul Mu’minin Umar berkata kepadanya:
“Hendaklah kamu hentikan menyampaikan berita dari Rasulullah! Bila tidak, maka akan kukembalikan kau ke tanah Daus!” (yaitu tanah kaum dan keluarganya).
Akan tetapi, larangan ini tidaklah mengandung suatu tuduhan bagi Abu Hurairah, hanyalah sebagai pengukuhan dari suatu pandangan yang dianut oleh Umar,
yaitu agar orang-orang Islam dalam jangka waktu tersebut, tidak membaca dan menghafalkan yang lain, kecuali Al-Quran sampai ia melekat dan mantap dalam hati sanubari dan pikiran.
Al-Quran adalah kitab suci Islam, Undang-undang Dasar dan kamus lengkapnya dan terlalu banyaknya cerita tentang Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam teristimewa lagi pada tahun-tahun menyusul wafatnya Nabi Shallallahu alaihi wa sallam,
saat sedang dihimpunnya Al-Quran, dapat menyebabkan kesimpangsiuran dan campur-baur yang tidak berguna dan tak perlu terjadi!
Oleh karena ini, Umar berpesan: “Sibukkanlah dirimu dengan Al-Quran karena dia adalah kalam Allah.”
Dan katanya lagi: “Kurangilah olehmu meriwayatkan perihal Rasulullah kecuali yang mengenai amal perbuatannya!”
Dan sewaktu beliau mngutus Abu Musa al-Asy’ari ke Irak ia berpesan kepadanya:
“Sesungguhnya kamu akan mendatangi suatu kaum yang dalam mesjid mereka terdengar bacaan Al-Quran seperti suara lebah.
Maka biarkanlah seperti itu dan jangan kamu bimbangkan mereka dengan hadis-hadis, dan aku menjadi pendukung kamu dalam hal ini!”
Al-Qur’an sudah dihimpun dengan jalan yang sangat cermat, hingga terjamin keasliannya tanpa dirembesi oleh hal-hal lainnya.
Adapun hadis, maka Umar tidak dapat menjamin bebasnya dari pemalsuan atau perubahan atau diambilnya sebagai alat untuk mengada-ada terhadap Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan merugikan agama Islam.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu menghargai pandangan Umar, tetapi ia juga percaya terhadap dirinya dan teguh memenuhi amanat,
hingga ia tak hendak menyembunyikan suatu pun dari Hadis dan ilmu selama diyakininya bahwa menyembunyikannya adalah dosa dan kejahatan.
Demikianlah, setiap ada kesempatan untuk menumpahkan isi dadanya berupa Hadis yang pernah didengar dan ditangkapnya tetap saja disampaikan dan dikatakannya.
Hanya terdapat pula suatu hal yang merisaukan, yang menimbulkan kesulitan bagi Abu Hurairah radhiyallahu anhu ini, karena seringnya ia bercerita
dan banyaknya Hadisnya yaitu adanya tukang hadis yang lain yang menyebarkan Hadis-hadis dari Rasul Shallallahu alaihi wa sallam dengan menambah-nambah dan melebih-lebihkan hingga para sahabat tidak merasa puas terhadap sebagian besar dari Hadis-hadisnya.
Baca Juga: Abu Hurairah, Sahabat yang Miskin Harta Namun Kaya Ilmu
Orang itu bernama Ka’ab al-Ahbaar, seorang Yahudi yang masuk Islam.
Pada suatu hari, Marwan bin Hakam bermaksud menguji kemampuan menghafal dari Abu Hurairah.
Maka dipanggilnya ia dan dibawanya duduk bersamanya, lalu dimintanya untuk mengabarkan hadis-hadis dari Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Sementara itu, disuruhnya penulisnya menuliskan apa yang diceritakan Abu Hurairah radhiyallahu anhu dari balik dinding.
Sesudah berlalu satu tahun, dipanggilnya Abu Hurairah radhiyallahu anhu kembali dan dimintanya membacakan lagi Hadis-hadis yang dulu itu yang telah ditulis sekretarisnya.
Ternyata tak ada yang terlupa oleh Abu Hurairah ra.walau sepatah kata pun!
Ia berkata tentang dirinya,
“Tak ada seorang pun dari sahabat-sahabat Rasul yang lebih banyak menghafal Hadis dari padaku, kecuali Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, karena ia pandai menuliskannya sedang aku tidak.”
Dan Imam Syafi’i mengemukakan pula pendapatnya tentang Abu Hurairah: “la seorang yang paling banyak hafal di antara seluruh perawi Hadis sesamanya.”
Sementara Imam Bukhari menyatakan pula: “Ada delapan ratus orang atau lebih dari sahabat tabi’in dan ahli ilmu yang meriwayatkan Hadits dari Abu Hurairah.”
Demikianlah Abu Hurairah radhiyallahu anhu tak ubah bagai suatu perpustakaan besar yang telah ditakdirkan kelestarian dan keabadiannya.
Abu Hurairah radhiyallahu anhu termasuk orang ahli ibadah yang mendekatkan diri kepada Allah, selalu melakukan ibadah bersama istrinya dan anak-anaknya semalam-malaman secara bergiliran;
mula-mula, ia berjaga sambil shalat sepertiga malam kemudian dilanjutkan oleh istrinya sepertiga malam dan sepertiganya lagi dimanfaatkan oleh putrinya.
Dengan demikian, tak ada satu saat pun yang berlalu setiap malam di rumah Abu Hurairah, melainkan berlangsung di sana ibadah, zikir dan shalat![ind]
(bersambung)
Sumber: http://www.islam2u.net/index.php?option=com_content&view=article&id=85:abu-hurairah-ra-otaknya-gudang-pengetahuan-&catid=14:kisah-kisah-sahabat&Itemid=75