SEKOLAH Pemikiran Islam (SPI) Jakarta Angkatan 14 memasuki pertemuannya yang kedelapan dari total 10 pertemuan.
Perkuliahan ini diselenggarakan pada Rabu (25/9) di Aula Imam Al-Ghazali, Institute for the Study of Islamic Thought and Civilizations (INSISTS).
Berbeda dari tujuh materi sebelumnya di mana sesi pematerian lebih dominan daripada sesi diskusi, pertemuan ini diberi tajuk Diskusi Literasi yang di dalamnya komunikasi dua arah menjadi lebih intens antara pemateri dan peserta.
Dr. Akmal Sjafril, S.T., M.Pd.I., mengajak para murid SPI 14 untuk berdiskusi dan berdialektika dengan menanggapi sebuah tulisan hasil wawancara terhadap seseorang yang banyak sekali kesesatan berpikirnya dalam memandang agama.
Lulusan doktoral sejarah Universitas Indonesia ini secara tersirat menyampaikan urgensi diangkatnya tema diskusi literasi sebagai bagian dari kurikulum SPI.
“Sangat disayangkan di kalangan aktivis Muslim tradisi diskusi itu kurang sekali. Kita menjadi tidak terbiasa mengkritisi argumen lawan yang jelas-jelas salah dan sesat. Karena jarang berdiskusi, para aktivis tersebut merasa malu dalam menyampaikan pendapatnya. Dalam berorganisasi, setiap orang seharusnya dibiasakan berpendapat dan berbicara. Kita itu butuh keberanian dalam menyampaikan kebaikan, dan hal itu bisa dilatih di organisasi,” pungkas aktivis Indonesia Tanpa JIL tersebut.
Follow Official WhatsApp Channel chanelmuslim.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.
Dr. Akmal Sjafril: Aktivis Muslim Perlu Membiasakan Tradisi Diskusi
Baca juga: SPI Jakarta: Bongkar Tuntas Keistimewaan Konsep Wahyu dan Kenabian dalam Islam
Akmal menambahkan bahwa diskusi literasi seperti ini dapat melatih daya kritis kita dan hal ini berhubungan dengan ghazwul fikr.
“Ketika berhadapan dengan musuh, kita seharusnya otomatis menyalakan tombol kritik kita. Kita kan bukannya tidak bisa mencari kesalahan, tetapi terbiasa tidak di-setting untuk hal tersebut. Berdebat dan beretorika itu ya termasuk ghazwul fikr, dan keduanya butuh ilmu. Namun kita tetap perlu membedakan berdebat dengan musuh dan berdiskusi dengan teman. Musuh Islam itu harus dijatuhkan,” ujar dosen tetap SPI itu.
Walaupun pada awalnya Akmal menekankan sekali tradisi diskusi agar dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari kaum Muslim untuk mengaktifkan daya kritisnya, ia menyampaikan bahwa hasil akhirnya bukanlah semata-mata agar kita dapat mendebat musuh.
Tugas utama kita adalah menambah ilmu. Karena, mendebat itu butuh keterampilan, tergantung kesiapan dan kemampuan seseorang.
“Kita akan banyak menjumpai fenomena orang-orang yang berpikir berlandaskan Islamic worldview itu karya dan tulisannya lurus dan konsisten. Berbeda dengan orang yang tidak ber-Islamic worldview, pikiran mereka kacau dan inkonsisten. PR kita itu utamanya bukan pada debatnya, namun menambal ilmu. Dalam ghazwah (perang), gerak itu harus rapi. Maka jangan sampai kita asal mendebat padahal kita belum siap. Kalau memang belum mampu mendebat langsung, terus saja mencari ilmu. Miliki keberanian untuk menyampaikan kebenaran,” tutur Akmal mengakhiri perkuliahan kedelapan SPI 14.[Sdz]